Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » » KONSEP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

KONSEP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR



A.      Pendahuluan
Dalam Al Qur’an surat Luqman ayat 17 ditegaskan bahwa menegakkan sholat, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, serta bersikap tabah dalam mengadapi coban merupakan perkara – perkara yang besar dan berat ( min azmil umur). Semuanya memerlukan kekuatan dan stamina spiritual yang prima demi terlaksananya tugas penting dan srategis itu. Kita menjumpai ungkapan min azmil umur dalam tiga surat : Ali Imran ayat 186, Luqman ayat 17, dan surat As Syura ayat 43, tapi yang langsung berkaitan dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar terdapat masalah amar ma’ruf nahi munkar terdapat dalam surat Luqman di atas. Al Suyuti dalam tafsirnya memberi pengertian yang sama terhadap ungkapan min azmil umur itu, sekalipun dalam susunan redaksi yang berfariasi. Pada prinsipnya min azmil umur berarti “ semua perkara yang benar-benar memerlukan tekad, ketegaran, dan ketetapan hati untuk melakukannya.”Tugas dan kewajiban melaksanakan amar ma’ruf itu termasuk dalam golongan yangmemerlukan keteguhan mental ini. Dengan sedikit pendahuluan ini, mari kita coba melihat konsep amar ma’ruf nahi munkar terutama mengenai pengertian dan nilai – nilai dasarnya dalam prespektif reinterpretatif dan kemudian kira – kira bagaimana mensosialisasikan dan membawa doktrin itu turun ke bumi dalam ruang dan waktu yang senantiasa mencair dan berubah dengan sepat. Substansi doktrin yang berasal dari wahyu dengan sendirinya bersifat immutable (tidak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas), sementara metode dan starategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang mutable (lapuk karena hujan danleknagkarena panas). Ddengan pemahaman seperti ini, maka doktrin amar ma’rufnahi munkar akan bertahan sepanjang zaman karena untuk menegakkan suatu masyarakat yang adil dan bermoral, doktrin semacam itu memang sangat diperlukan Dapat saja mekanisme pelaksanaannya melalui negara, gerakan atau lembaga kontrol masyarakat, disamping melalui otoritas individu.



B.       Pengertian Dan Nilai Dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Kita lihat dulu makna lughawi dari doktrin itu. Apakah yang dimaksud dengan yang ma’ruf yang harus diperjuangkan dan apapula yang mungkar itu perlu dicegah? Barangkali definisi klasik yang diberikan para mufassir akan banyak menolong kita untuk memahami doktrin Qur’ani ini. Diantara definisi itu mengatakan bahwa yang ma’ruf adalah:” Apa yang diperintahkan agama (al syar’) dan dinilai baik oleh akal sehat.” Kemudian yang munkar adalah :” Apa yang dilarang agama dan dinilai buruk oleh akal sehat.” Definisi singkat ini cukup komprehensif untuk menjelaskan kepada kita muatan yang terkandung dalam doktrin itu. Perintah dan larangan agama pada esensinya hanya punya tujuan satu agar manusia secara perorangan dan kolektif tetap berada di atas jalan lurus dan dalam bingkai moral yang jelas. Bingkai moral yang kelabu dan remang-remang akan menmpatkan manusia pada posisi yang rancu antara yang ma’ruf dan yang munkar, antara yang baik dan yang buruk. Dalam ungkapan lain secara moral, posisi rancu itu sangat berbahaya, sebab akan mengacaukan persepsi manusia tentang yang benar dan yang salah. Sekali persepsi itu menjadi kacau dan menguasai arus pemikiran orang banyak, akibat desduktrif nya pasti akan dirasakan masyarakat, cepat dan lambat. Masyarakat akan meraba-raba dalam kebingungan dan kegalauan sistem nilai, apakah hal itu menyangkut masalah agama, politik, sosial, ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan budaya. Dalam kandungan definisi itu terlihat oleh kita bahwa agama dan akal sehat ditempatkan dalam satu nafas, saling mengisi, dan tidak dipertentangkan. Islam memang mengajarkan konsep utuh pula tentang keburukan, Yang baik menurut agama sebenarnya juga baik menurut akal seha . Begitu pula sebaliknya. Akal sehat adalah akal yang dibimbing iman.
Formula mengenai hubungan akal dan agama barangkali dapat digambarkan sebagai berikut: akal memerlukan agama sebagai fondasi spiritual – transendental dan agama memerlukan akal untuk memahami pesan-pesan kemanusiaannya. Tanpa agama, akal akan berpetualang secara liar. Sebaliknya agama tanpa akal tidakkan kemana-mana dan tidak membawa perubahan apa-apa. Salah satu fungsi akal ialah menumbuhkan rasa ingin tahu manusia tentang segala sesuatu. Rasa ingin tahu (kuriositas) itu yang juga mendapat dukungan wahyu membuahkan ilmu. Ilmulah kemudian yang mengenalkan agama kepada realitas kehidupan yang kongkret. Dengan bantuan ilmu, pesan-esan agama akan dapat dilaksanakan secara berencana, tepat, efisien. Ilmu, khususnya ilmu sosial, akan memberi tahu kepada manusia mengenai kondisi tertentu suatu masyarakat di mana – mana pesan wahyu akan dilaksanakan. Kaidah usul fiqih tentang urf (adat) mengatakan:”Tidak dapat disangkal bahwa hukum mengalam iperubahan dengan berubahnya zaman.” Perubahan zaman ini hanya dapat diamati melalui ilmu-ilmu sosial, dan sejarah merupakan bagian terpenting yang perlu dikaji.
Selanjutnya dalam pembicaraan ini kita perlu pula melihat fenomena akal yang berfungsi dan akal yang tidak berfungsi secara wajar dalam kehidupan manusia. Dalam Al Qur’an, akal (bahasa Arab: ‘Aql) dan dalam bentuk masdar memang tidak dijumpai, tetapi akal fungsional atau akal yang tidak fungsional terdapat 49 kali tersebut dalam bebagai surat, baik makiyyah maupun madaniyah. Seperi yang akan kita bicarakan di bawah ini. Contoh akal yang tidak berfungsional terdapat dalam surat Hud (makiyah) ayat 51 dalam dialog antara nabi Alloh ini dengan kaumnya yang musyrik dan membangkang. Kemusyikan dan pembangkangan terhadap kebenaran wahyu adalah perbuatan munkar karena jelas – jelas dilarang agama: “ Hai kaumku! Aku tidak minta balasan kepadamu (untuk nasehat) itu; karena tidak ada ganjaran untukku kecuali yang datang dari yang menjadikanku. Karena itu mengapa akalmu toidak berfungsi?” Kemusyrikan dan pembangkangan terhadap wahyu adalah pertanda dari akal liar yang tidak berfungsi secara tepat dan benar. Masih tergolong makkiyah yaitu dalam surat Al Ankabut ayat 43 dijelaskan bahwa akal berfungsional itu a.l. adalah akal para ilmuwan: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami bentangkan kepada mausia , tetapi akalnya tidak berfungsi (untuk mengungkap makna perumpamaan itu), kecuali para ilmuwan(al ‘alimun ).” Di sini posisi ilmuwan yang beriman sungguh mulia disisi Alloh menurut Al Qur’an , karena akalnya difungsikan secara baik, benar dan kreatif.
Surat Al Maidah (madaniyah) ayat 58 mengkategorikan orang yang suka mengejek mereka yang melakukan sholat sebagi orang yang akalnya tidak fungsional .” Dan apabila kamu seru (mereka) untuk melakukan sholat, mereka jadikan sholat itu sebagai bahan ejekan dan permainan. Yang demikian itu, lantaran mereka adalah kaum yang akalnya tidak berfungsi.” Dalam perspektif pembicaraan kita, ejekan terhadap orang yang mendirikan shlat termasuk perbuatan munkar, sementara perbuatan sholat itu sendiri adalah perbuatan ma’ruf. Lagi dalam surat AL Baqoroh (maaniyah) ayat 170 dijelaskan tentang orang-orang yang suka melestarikan warisan buruk nenek moyang serta menolak wahyu sebagai orang yang akalnya tidak berfungsi.” Dan apabila dikatakan kepada mereka : ikutilah apa-apa yang diturunkan Alloh. Mereka menjawab: Kami hanya menguikuti apa-apa yang kami dapati pada peninggalan nenek moyang kami, sekalipun nenek moyang mereka itu tidak mengerti suatu apapun (akalnya tidak fungsional) dan tidak pula memeperoleh petunjuk.” Dalam ayat ini berdasarkan definisi yang kita berikan, usaha melestarikan atau memuja peninggalan nenek myang yang merusak menurut pertimbangan akal sehat termasuk perbuatan munkar, sekalipun misalnya mendatangkan devisa, apalagi kalau peninggalan itu bermuatan syirik.

C.      Eksistensi Umat Dalam Perspektif Doktrin Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Bila kita berkonsultasi dengan Al Qur’an, kita akan mengetahui bahwa eksisitensi umat Islam, bermakna atau tanpa makna, akan sangat tergantung kepada kemampuan atau ketidakmampuan mereka melaksanakan doktrin amar ma’ruf nahi mungkar ini. Ini merupakan tugas yang menentang sepanjang zaman. Doktrin dalam bentuk pasangan gandengan ini dijumpai dalam delapan ayat Al Qur’an, tersebut dalam surat makiyah dan surat madaniyah. Tergolog makkiyah adalah surat Al A’rof ayat 157 yang menjelaskan bahwa diantara tugas nabi itu adalah melaksanakan kewajian amar ma’ruf nahi mungkar. Kemudian yang juga makkiyah adalah surat Luqman ayat 17 seperti yang telah dibicarakan sebelumnya. Adapun yang termasuk madaniyyah adalah surat Ali ‘Imron ayat 104, 110, dan 114. Ayat 104 mendorong muncunya suatu umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar. Bila semua fungsi itu terlaksana, maka eksistensi umat itu menjadi bermakna. Mereka dimassukkan dalam kategori umat yang menang. Bahkan ayat 110 lebih menegaskan bawa bila tugas sejarah itu dilakukan, umat itu diberi julukan sebagai umat yang terbaik (khaira ummah). Tetapi secara mafhum mukhalafah (pemahaman yang terbalik), artinya bila fungsi itu macet, umat kehilangan nyali dan keberanian dalam tugas amar ma’ruf nahi mungkar, maka mereka adalah umat yang kalah dan terpuruk, untuk tidak mengatakan syarru ummah. Ayat 114 dalam surat yang sama menggambarkan fenomena sebagai alhi kitab yang beriman serta melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi mukar itu. Mereka membaca ayat-ayat Alloh di malam hari dan mereka sujud menyembahNya.
Surata madaniyyah lainnya adalah surat At Taubah ayat 71 dan ayat 112 ayat 71 dengan sangat gamblang menjelaskan penggalangan kekuatan bersama antara laki-laki beriman dan perempuan beriman dalam beramar ma’ruf danbernahi munkar, sebab tugas ini adalah tugas umat beriman secara keseluruhan. Dalam perspektif ayat ini bila perempuan yang jumlahnya kadang-kadang melebihi laki-laki dibiarkan hanya tinggal didapur misalnya, apakah sudah menggambarkan makna historis dari ayat ini? Jawabannya jelas negatif. Selanjutnya ayat 112 kita kutip maknanya: ” Orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Alloh, yang mengembara (dalam mengembangkan agama Alloh, yang ruku yang sujud , yang beramar ma’ruf bernahi munkar ,dan yang menjaga batas (larangaN) Aloh, dan berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” Ujung ayat sebelunya yaitu ayat 111 berbunyi wadza lika huwal fauzul ‘adzim yangbererti “ karena yang demikian itu adalah kebahagiaan yang besar.” Yaitu bagi mereka yang tersebut dalam ayat 112 , termasuk yang beramar ma’ruf dan bernahi munkar. Dengan kalimat lain, orang yang betaubat, beribadah, dan seterusnya itu, tetapi tidak hirau terhadap lingkungan fisik dan non fisik yyang rusak, tidak berani beramar ma’ruf bernahi munkar, maka sama artinya dengan mengambil sepotong ayat serta melupakan yang lain, atau sebagai indikator dari ketidakberdayaan. Al Qur’an menginginka agar umat Islam memahami kebenaran dalam tugas agama secara utuh, atau tidak sepotong-potong. Kemudian ayat 67 dari surat At Taubah melukiskan tentang perangai orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan yang beramar ma’ruf fenomena sosial yang terbalik sama sekali dengan lukisan ayat 71 mengenai umat beriman, seperti yang telah dibicarakan di atas.
Terakhir yang juga termasuk madaniyah adalah ayat 41 dari surat al Hajj yang perlu dikutip maknanya ;” Mereka yang sekianya kami beri posisi yang kokoh di muka bumi (in makkannahum fi’l ardh , mereka mendirikan sholat ,mengeluarkan zakat,, dan beramar ma’ruf bernahi mukar. Dan Milik Alloh lah akibat segala urusan.” Ayat ini perlu dielaborasi lebih lanjut, kerena juga menyangkut mesin kekuasaan. Muhammad Asad mengartikan ungkapan in makkannahum fil ‘ard dengan “ if We firmly establish them on earth” (manakala Kami kokohkan posisi mereka di muka bumi ) Pertanyaannya adalah: siapakah yang punya kedudukan kokoh di muka bumi? Salah satu jawaban historis adalah mereka yang punya kekeuasaan, baik politik maupu ekonomi. Ibn Abbas menghubungkannya dengan kaaum muhajirin dan Kaum Anshar, prajurit islam masa awal, serta yang mengikuti mereka di jalan yang baik. Kemudian mufassir Al Shobuni mengeometari bahwa “ mereka itu adalah yang diberi tuga menolong Alloh, yaitu yang apabila Kami beri kekuatan, kekuasaan , dan keunggulan di muka bumi (shulthan fi’lardh wa tamallukan wa isti’lan.” ) Dari ayat ayat di atas kita dapat mengatakan bahwa melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah tugas individu, tugas kolejktif, baik umat meupun pemerintah. Bahkan menurut surat Luqman ayat 17 di atas , anak kecilpun sudah harus dikenalkan paada doktrin ini, seperti yang dicontohkan Luqman kepada Anak yang sedang ia didik. Maka di mata Alloh , umat dan pemerintah tidak boleh lengah dalam menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. bagaimana kalau pihak pemerintah tidak hirau dengan persoalan amar ma’ruf nahi munkar ini?
Jawabannya adalah agar umat tidak tinggal diam dengan membiarkan situasi semakin meluncur terpuruk. Prinsip tawashi (saling mengingatkan) seperti yang tersebut dalam surat Al ‘Ashr ( makkiyah) ayat 3 harus dijadikan pedoman untuk menasehati pihak penguasa atas kelalaiannya dalam memerintahkan yang ma’ruf dan yang munkar. Pokoknya menurut agama, umat dan rakyat wajib menunjukkan kesadaran tinggi akan tanggung jawab moral dan tanggung jawab sejarahnya. Sejarah adalah panggung untuk berbuat amar ma’ruf dan mencegah yang munkar. Keberadaan mereka di muka bumi akan menjadi tanda tanya besar bila tanggung jawab itu tidak dilaksanakan dengan baik dan bahkan dinilai tidak penting. Sudah tentu tanggung jawab itu tidak akan terakana bila unmat itu lumpuh dan tidak berdaya secara politik, ekonomi , ilmu, dan budaya, seperti yang diderita umat Islam dalam abad-abad yang panjang selama ini. Atribut Muslim saja ternyata tidak cukup menghindarkan diri dari kejatuhan dan kekalahan. Iman dan ilmu harus dipadukan sebagai syarat untuk menguibah citra umat yang belum berdaya ini (QS Al Mujadilah : 11)
D.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Perspektif Sejarah Periode Dini
Ada tiga persoalan besar yang saling terkait yang dihadapi nabi pada saat permulaan misinya di kota komersial Makkah yangsangat membebani perasaanya . Saking beratnya situas , hingga Al Qur,an dan surat al Insyirah ayat 1-3 memberikan gambaran sebagai berikut: bukankah Kami telah melapangkan bagimu dadamu? Dan kami telah mengangkat bebanmu daripadamu. Yang memberatka punggungmu “ Tiga persoalan yang berat itu adalah : (1) doktrin keesaan Alloh (tauhid) berhadapan dengan lingkungan syirik kota Makkah ;(2) prinsip keadilan sosial ekonomi politik berhadapan berhadapan dengan sistim kedzaliman dan penindasan sosial – ekonomi –politik-aristokrasi Quraisy yang begitu dominan ; (3) Doktrin eskatolgis berupa iman kepada hari akhir berhadapan kepada kepercayaan umum penduduk Makkah yang menyangkalnya, terutama kelompok elitnya. Jadi tahud kadilan, iman, kepada hari Akhir adalah bagian dari yang ma’ruf sedangkan syirik, kezaliman, dan penyangkalan terhadap hari akhir adalah bagian dari yang munkar. Dalam kalimat lain, di Makkah pada masa awal Islam telah terjadi pertarungan antara nilai-nilai ma’rufat dan nilai-nilai munkarat. Kebayakan penduduk Makkah, apabila kelompok elitnya, terlalu sibuk mengurus dunia tanpa terikat oleh tujuan tertingi berupa akhirat. Mereka sangat materialistik dan hedonistik.

E.       Penutup
Perbenturan nilai-nilai ma’rufat dengan nilai –nilai mukarat akan berlangsung abadi sampai rapuhnya dunia ini. Untuk itu stamina spiritual (iman) harus tetap prima, tidak boleh kendor. Wawasan kemanusaan harus dipertajam, mata batin tidak boleh tumpul, ilmu dan teknologi harus dikuasai, dan umat secara keseluruhan harus cerdas, disiplin, dan rendah hati , karena semuanya ini diperlukan untuk mendukung tegaknya nilai- nilai ma’rufat secara kongkret dalam kehidupan kolektif kita.



DAFTAR PUSTAKA

1. Qur’an Karim. Tafsir wa Bayan, As Suyuti, diringkas oleh Muhammad Hassan al Hamshi. Beirut: Dar al Rasyid , t.t.
2. Shofwatut Tafasir, Muhammad Ali As Shobuni, jilid 3. Beirut: Dar al Qur’an Al Karim 1980,1:221.
3. Ushul fiqh, Kamal Muchtar , Jilid 2. yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, 1:150
4. The Message of The Quran , Muhammad Asad. Gilbraltar: dar al Andalus, 1980. hlm.512.
5. Islam, Fazlurrahman. Chicao& London: The University of Chicago Press, 1979
6. Themes of The Qur’an, Fazlurrahman, Minneapolis – Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.
7. Islam and Modernity: Transformation of an Intelllectual Tradition. Chicago& london : The Universiti of Chicago Press, 1982.


 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved