Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » » AL HADITS, SUMBER KEDUA AJARAN ISLAM

AL HADITS, SUMBER KEDUA AJARAN ISLAM


Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar shuhuf – petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem.
Meskipun Al Qur’an menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu [QS An Nahl (16): 69], tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada ummat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita. Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum dalam arti senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT. Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang dillhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummat dengan cara beliau sendiri.
Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain itu, Rasul bebas melakukannya sesuai dengan kondisi dan situasi. Kadang-kadang beliau menyampaikannya dengan ucapan (disebut Sunnah qauliah); dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi, walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul. Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, (Sunnah ‘amaliah) termasuk dengan berdiam diri ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqrir atau ijin bagi yang hendak melakukan perbuatan tersebut.
Muhammad SAW meskipun menjadi Nabi yang menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan pendapat. [QS Al Kahfi (18): 110]. Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, belliau juga ber-ijtihad dengan menggunakan akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat dibantah; bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut campur apa lagi mengoreksinya.
Sebuah riwayat yang diceriterakan kembali oleh Dr. Muhammad Husain Haikal dalam bukunya “Hayat Muhammad” menuturkan peristiwa ketika beliau memimpin pasukan yang bergerak dari Madinah menjelang pertempuran Badar. Sesampai di daerah Badar, beliau turun dari unta dan memerintahkan pasukannya untuk berkemah di tempat itu. Seorang sahabat bernama Hubab bin Mudhir buru-buru mendatangi Rasul dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah Anda memutuskan untuk berhenti di sini atas petunjuk Allah atau karena pertimbangan sendiri?”. Beliau menjawab: “Ini pertimbanganku saja sebagai siasat perang”. Maka Hubab berkata: “Menurut pendapat saya, lebih baik kita maju lagi sampai ke kawasan oasis yang terakhir. Dengan demikian kita akan menguasai seluruh sumur sedangkan pasukan Qureisy tidak”. Pikiran Hubab tadi taktis dan rasional, maka setelah meminta pendapat sahabat-sahabat yang lain, beliau membatalkan perintah semula dan mengikuti saran Hubab bin Mundzir.

Tetapi pada waktu yang lain, yaitu ketika sedang berunding dengan kaum kafir Qureisy, Rasulullah SAW tidak bersedia mengubah kaputusannya. Pada tahun ke enam sesudah Hijrah, Rasul beserta rombongan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi di sebuah kampung yang bernama Hudaibiyah, orang-orang musyrik Qureisy menghadang, tidak mengijinkan rombongan itu masuk kota. Hampir terjadi pertempuran di antara kedua kelompok, padahal kaum Muslimin sama sekali tidak siap untuk berperang. Mereka datang tanpa membawa perlengkapan tempur, dan mengenakan pakaian ihram yang pasti sangat tidak sesuai untuk berlaga.

Tetapi kemudian berkat diplomasi yang dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan, kaum Mukminin dan kaum Qureisy berunding. Dalam perundingan itu Suhail bin Amr yang mewakili kaum musyrik Qureisy mengajukan butir-butir ketetapan yang bila dipandang secara harfiah bukan saja merugikan Rasul dan kaum Mukminin tetapi juga menghina mereka. Namun Rasulullah justru menyetujui apa yang dia usulkan. Maka Umar bin Khattab mendatangi Rasul dan menyatakan ketidakpuasannya. Rasul menjawab: “Aku hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia tidak akan menyusahkan kita”. Dengan kata-kata itu Rasul menegaskan bahwa beliau menerima usulan kaum Qureisy karena Allah memerintahkan demikian. Mendengar keterangan itu Umar tidak bicara apa-apa lagi kecuali menyatakan ketaatannya.

>> Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an. Yang pertama: merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya membicarakan pokoknya saja. Misalnya Al Qur’an memerintahkan orang yang beriman untuk menunaikan shalat [QS Al ‘Ankabut (20): 45], Al Hadits menerangkan tatacara Rasul dalam menunaikan shalat. Beliapun menegaskan: “Shalatkah kamu dengan cara sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Al Qur’an menyuruh manusia agar menegakkan keadilan di dalam masyarakat [QS Al Maidah (5): 8], Al Hadits menerangkan bagaimana tindakan-tindakan Rasulullah SAW di dalam menerapkan prinsip tersebut di negara Madinah.
>> Fungsi kedua Al Hadits adalah menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran. Misalnya Al Qur’an menerangkan bahwa tanda permulaan dan akhir puasa Ramadhan adalah ketika orang menyaksikan hilal – bulan baru [QS Al Baqarah (2): 185], Al Hadits menandaskan hal tersebut.
>> Fungsi Al Hadits yang ketiga adalah menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an. Contohnya, Al Qur’an mewajibkan orang-orang beriman membayar zakat [QS At Taubah (9): 34], Al Hadits menerangkan bahwa membayar zakat merupakan prosedur seorang Mukmin untuk membersihkan harta dari yang bukan haknya.

> Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena Rasul sendiri pernah melarangnya. Sebuah hadits riwayat Muslim mengutip sabda beliau: “Janganlah kamu menulis dari aku, kecuali Al Qur’an. Barangsiapa telah menulis dariku, hendaknya dihapus. Tidak ada keberatan jika kamu menceriterakan apa yang kamu dengar dari aku”.
Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
> Penyebab kedua: Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri. Jenis dan pakaian yang beliau kenakan, makanan yang beliau konsumsi, tentunya berkenaan dengan tradisi lokal dan selera Muhammad sendiri, yang tidak usah ditiru oleh kaum Mukminin.
> Penyebab ketiga: Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.

> Penyebab keempat: Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya langsung kepada beliau.
Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitan di kemudian hari, ketika Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal ummat memerlukan pengetahuan tentang Sunnah Rasul di dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadist, dengan menyusun metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H). Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits.

> Yang pertama adalah Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan maupun perbuatan Rasul secara beranting sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.

> Unsur kedua yang diteliti adalah Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya dalam arti kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.
Ø  Unsur yang ketiga yang dicermati adalah Matan atau isi hadist, yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih tinggi tingkat kepercayaannya.

Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits itu mutawatir – dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhur – dinyatakan di dalam cukup banyak sanad, atau ahad – hanya ditemukan dalam sedikit jalur sanad. Hadist mutawatir tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi hadits ahad.
Ø  Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat ditetapkan mana hadits yang shahih – valid, mana yang hasan – cukup baik tetapi tidak sampai pada taraf shahih, dan mana yang dhaif – lemah.
Ø  Perlu dipahami bahwa karena yang melakukan penelitian dan penilaian hadits adalah manusia, tetap ada kemungkinan bahwa judgement seseorang itu keliru, dan banyak pula kemungkinan bahwa pendapat para ahli tentang tingkat kepercayaan sebuah hadist berbeda-beda. Perbedaan penilaian ini acap kali menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap keterangan Al Qur’an dan juga dalam penetapan norma hukum di dalam fiqh. [Sakib Machmud]


 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved