Tidak Mampu Membedakan Simbol Keagamaan
Keberadaan imigran di Prancis sedemikian unik, selain masih berpegang
pada kultur budaya juga keyakinan agama tidak luntur dalam diri mereka.
Agama Islam dianut oleh banyak imigran dan jumlah pemeluknya bertambah
setiap tahun. Menurut kajian Kementerian Dalam Negeri Prancis, Islam
setiap tahun mencapai pertambahan 3.600 orang. Sayangnya, bertambahnya
pemeluk tak diimbangi oleh kebijakan pemerintah Prancis yang inklusif
(terbuka).
Pemerintah Prancis terkadang dicap mengidap Islam fobia karena rasa
takut yang berlebihan terhadap terorisme yang sering mengatasnamakan
Islam. Di Prancis, simbol-simbol keagamaan tak boleh digunakan di ruang
publik.
Pada abad ke-8 Islam menyebar di Prancis, dimulai dari wilayah selatan
seperti Toulouse, Narbonne, dan Bourgogne. Dari sana Islam menyebar ke
beberapa kota di selatan Prancis, yaitu Roussilon, Bearn pada abad ke-12
dan ke-15 Masehi, disebarkan oleh Muslim Spanyol yang lari dari
negerinya karena penindasan Kerajaan Spanyol terhadap para pemeluk Islam
pada tahun 1492 Masehi.
Setelah perang dunia I dan II berakhir, imigran Muslim semakin bertambah
banyak. Mengadu nasib di Prancis karena sikap pemerintah yang cenderung
terbuka terhadap pada pendatang. Bahkan imigran yang berasal dari
beberapa negara jajahan Prancis pun datang untuk membantu Prancis
berperang, terutama menghadapi invasi Nazi Jerman.
Membludaknya imigran pada akhirnya menjadi masalah bagi pemerintah
Prancis. Timbul permasalahan sosial seperti kemiskinan, akses
kesejahteraan yang tidak merata dan sentimen ras dan agama yang
mengancam setiap saat.
Prancis yang dikenal sebagai negara yang mengagung-agungkan kebebasan
pun memilih membatasi kebebasan. Keanekaragaman budaya, ras dan agama
yang dibawa para imigran tidak disikapi melalui pendekatan persuasif.
Ketidakmampuan membedakan antara simbol keagamaan dan radikalisme
membuat Prancis rentan dilanda konflik. Pelarangan jilbab oleh
pemerintah misalnya, adalah kasus yang mengemuka mengenai simbol agama
yang dilekatkan pada gerakan fundamentalisme.
Kondisi politik, sosial, dan ekonomi memiliki peran yang tidak sedikit
dalam menciptakan bibit radikalisme bermotif keagamaan. Radikalisme yang
tumbuh subur kelak berubah menjadi tindakan terorisme karena
negara-negara Erofa termasuk Prancis tidak menggunakan pendekatan
persuasi dan memandang imigran sebagai warga kelas dua. Dengan akses
kesejahteraan yang minim, konflik yang mengkristal bisa pecah kapan
saja.