Perkembangan
pemikiran dan kajian empirik di kalangan para ahli tentang perkembangan
anak telah melahirkan berbagai teori yang beragam sesuai dengan
perspektif pemikiran dan pengalaman pribadi para ahli yang membangun
teori tersebut.
Teori
dapat diartikan sebagai model tentang kenyataan yang membantu kita
untuk memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol tentang
kenyataan tersebut. Teori juga dapat diartikan sebagai sekumpulan atau
seperangkat asumsi yang relevan dan secara sistematis saling berkaitan.
Keragaman
teori mengenai studi perkembangan membuat pemahaman terhadap
perkembangan anak menjadi tugas yang menantang. Pada saat kita berpikir
tentang satu teori yang memberikan penjelasan tentang perkembangan anak,
tenyata teori lain juga berbicara tentang perkembangan anak dengan
pandangan yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan oleh latarbelakang
para tokoh dan keilmuannya yang berbeda-beda tentunya. Hal inilah
terkadang yang membuat kita ragu, teori mana yang harus diikuti dan
dijadikan sebagai patokan yang pasti.
Untuk
mencegah rasa frustasi, ingatlah bahwa perkembangan anak merupakan
topik yang rumit dan memiliki banyak aspek yang harus dijelaskan. Tidak
ada satu pun teori yang dapat menjelaskan semua aspek perkembangan anak.
Setiap teori menyumbangkan satu keping penting bagi puzzle perkembangan
anak. Meskipun teori-teori tersebut bertentangan, banyak informasi dari
teori tersebut yang saling melengkapi satu sama lainnya. Teori tersebut
secara barsama-sama membuat kita melihat seluruh situasi perkembangan
dan kekayaan akan ilmunya.
Dari
begitu banyaknya teori yang berusaha menjelaskan bagaimana perkembangan
anak, ada beberapa teori yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan anak diantaranya yaitu teori psikoanalisa, teori kognitif,
teori belajar dan sosial-kognitif, teori etologi, dan teori ekologi.
Setiap teori ini memberikan pandangan yang berbeda tentang perkembangan
anak.
Dalam
penjelasan makalah ini, penulis tidak akan menjelaskan semua teori yang
telah disebutkan diatas. Tetapi penulis hanya akan memfokuskan
pembahasan secara mendalam terhadap teori psikoanalisa. Teori
psikoanalisa merupakan teori yang muncul pada abad ke-18 yang dipelopori
oleh Sigmund Freud, namun tidak pernah ditinggalkan dan masih digunakan
hingga abad ini. Teori ini menggambarkan perkembangan sebagai sesuatu
yang biasanya tidak sadar dan diwarnai oleh emosi. Hal inilah yang
menyebabkan konsep yang terkandung dalam teori psikoanalisa tersebut
sangat mendalam dan masih menjadi misteri. Banyak pertentangan yang
muncul akibat teori ini, namun sejalan dengan pergantian waktu konsep
Freud ini secara perlahan-lahan dapat diterima oleh ilmuan modern
terutama yang berkiprah didalam keilmuan psikologi.
Untuk
lebih memahami bagaimana konsep Freud dalam teori psikoanalisanya, mari
kita lihat dalam pembahasan selanjutnya yang akan membahas tentag
riwayat hidup tokoh, konsep dasar teori, dan tahap-tahap perkembangan
psikoseksual yang akan menjadi fokus kita dalam makalah ini.
PEMBAHASAN TEORI PSIKOANALISA
A. Riwayat Hidup Tokoh
Freud
(baca; froid) merupakan sebuah nama yang sudah tidak asing lagi kita
dengar didalam dunia psikologi, dengan nama lengkapnya ialah Sigmund
Freud. Freud lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di kota Moravia dan meninggal
dunia pada tanggal 23 September 1939 di Londom.
Dia merupakan putera pertama dari ibu yang berusia 20 tahun dan putera
ketiga dari ayah yang berusia 40 tahun. Selain Freud, ayah Freud telah
memiliki dua putera lain yang sudah dewasa dari pernikahan sebelumnya.
Ayah
Freud adalah seorang pedagang kain wol yang tidak pernah berhasil
didalam bisnis, sehingga masalah-masalah keuangan memaksa keluarga itu
pindah dua kali ketika Freud masih kecil, pertama ke Leipzig dan kedua
ke Wina saat dia berumur 4 tahun.
Disinilah Freud menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya. Jika kita
lihat keadaan keluarganya, Freud merupakan golongan keluarga menengah
kebawah secara ekonomi. Jadi menurut saya, keadaan ekonomi tersebut juga
menjadi salah satu faktor pendorong keberhasilan Freud didunia keilmuan
psikologi. Yang mana faktor ekomomi tersebut secara tidak sadar
mempengaruhi pikiran Freud untuk menjadi seorang ilmuan terkenal.
Sewaktu
kecil Freud termasuk siswa yang cerdas. Ketertarikan intelektualnya
meliputi beragam topik, sehingga dia mengalami kesulitan untuk
memutuskan bidang studi apa yang akan dipilih ketika ingin masuk
universitas. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Freud memutuskan
untuk memilih ilmu kedokteran. Di sekolah kedokteran ini, Freud
melakukan beberapa penelitian penting tentang otak depan Petromyzon, salah satu jenis ikan.
Setelah
lulus pada bidang kedokteran, Freud memperdalam bidang Neurologi dan
melakukan penyelidikan dalam bidang tersebut. Pada tahun 1885 Freud
pergi ke Paris dan selama setahun dia belajar pada Piere janet dan Jean
Charcot –Charcot sedang menyelidiki misteri hysteria di laboratoriumnya-
dalam teknik menyembuhkan para penderita hysteria yakni dengan teknik
hipnotis. Studi tentang penyimpangan ini yang menjadi titik awal kontribusi terbesar Freud bagi psikologi.
Istilah hysteria kemudian
diaplikasikannya kepada penyakit-penyakit ringan seperti kelupaan.
Seorang wanita bisa saja mengeluh sering ‘lupa sarung tangannya’, sebuah
perasaan yang mendorongnya berpikir sudah kehilangan telapak tangan
sampai pergelangannya, meskipun secara fisiologis tidak mungkin dia
merasakan sensasi kehilangan pada bagian tubuh semacam itu.
Setelah
kembali ke Wina, Freud bekerja dengan Joseph Breuer dalam menyembuhkan
penderita hysteria dengan teknik hipnotis. Breuer telah banyak
menyembuhkan para penderita hysteria dengan teknik hipnotis, yaitu
dengan cara; pasien yang berada dalam keadaan terhipnotis disuruh
mengemukakan hal-hal yang emosional yang dialami pasien. Kepada pasien
diberikan kesempatan untuk meluapkan segala hal yang dirasakan tidak
enak dan menimbulkan ketegangan. Menurut Breuer dan Freud (1895) pasien-pasien hysteria memiliki suatu penghalang (block-off) atau sesuatu yang merepresi, bagi
harapan dan emosi kesadaran seseorang yang sedang mengalami hysteria.
Energi yang terhalang ini kemudian berubah menjadi gejala-gejala fisik.
Pada
awalnya Freud ikut menggunakan teknik hipnotis dalam menyembuhkan para
penderita hysterianya. Namun kemudian dia segera merubah teknik ini
dengan menyuruh pasien mengemukakan masalah-masalahnya tanpa dalam
keadaan terhipnotis. Freud menemukan bahwa, selain metode hipnotis itu
hanya dapat digunakan terhadap beberapa kasus saja, juga hanya
menghasilkan kesembuhan sementara. Maka dari itu, Freud mengganti teknik
hipnotis dengan metode asosiasi bebas (free association). Dalam
teknik ini pasien disuruh membiarkan pikirannya berjalan kesana kemari
dan melaporkan apapun yang muncul termasuk perasaan-perasaan yang tidak
enak dan yang telah dengan sengaja ataupun tidak telah dilupakan, tanpa
berusaha memerintahkan untuk muncul apalagi menyensornya.
Freud
mengamati bahwa dengan asosiasi bebas, para pasien bisa mengeluarkan
ingatan-ingatan yang sudah dilupakan ataupun dorongan-dorongan yang
terletak di bawah kesadaran dan dengan demikian maka akan terjadi
pengurangan ketegangan-ketegangan yang dialami oleh pasien.
Karya
awal Freud (1895) tentang hysteria dapat diilustrasikan lewat kasus
seorang wanita yang disebutnya Elizabeth von R. Elizabeth menderita rasa
sakit hysteria di pahanya. Rasa sakit itu semakin buruk setelah
berjalan-jalan bersama kakak iparnya, yang terhadapnya “dia merasakan
rasa simpati yang ganjil…. namun kemudian hilang begitu saja, karena hal
itu hanya dianggapnya sebagai kedekatan keluarga”. Akhirnya kakak
perempuannya (istri dari kakak iparnya) itu meniggal dunia, dan
Elizabeth pun datang ke pemakamannya. Namun ketika Elizabeth berdiri
disamping ranjang almarhumah kakaknya itu, tiba-tiba terlintas
dibenaknya sebuah pikiran yang kemudian diiringi oleh kata-kata: ‘sekarang dia sudah bebas dan aku bisa menikahinya’.
Keinginan ini tidak bisa diterima oleh pemahaman moralnya, sehingga ia
merepresi pikirannya itu. Karena penekanan pikiran, maka Elizabeth pun
jatuh sakit dengan penderitaan hysteria yang sangat menyakitkan. Ketika
Freud merawatnya, dia sudah lupa dengan pikirannya yang pernah muncul
saat berada disamping ranjang kakak perempuannya dulu. Setelah dilakukan
penanganan psikoanalisa oleh Freud, akhirnya dia sanggup mencapai
kesadarannya kembali dan ketika dia bisa menerima memori-memori
tersebut, maka hal-hal itu tidak lagi memunculkan gejala-gejala gangguan
pada tubuhnya.
Freud
menemukan bahwa, meskipun asosiasi bebas akhirnya berhasil menyingkap
pemendaman pikiran dan perasaan seperti yang kita lihat dari ilustrasi
diatas, namun asosiasi ini tidak sepenuhnya bebas. Ketika membangun
teorinya, Freud berspekulasi bahwa tidak hanya hysteria dan
pasien-pasien lainnya yang menderita konflik internal seperti itu. Namun
kita semua juga memiliki pemikiran dan keinginan untuk tidak membuka
aib diri sendiri. Di dalam neurosis, represi dan konflik jadi mendalam
dan tidak bisa diatur lagi, sehingga menimbulkan gejala-gejala yang
tidak menyenangkan. Dari konflik inilah kita tahu kondisi orang yang
kita hadapai.
Pada tahun 1895, Breuer dan Freud menerbitkan buku bersama dengan judul ‘Studies on Hysteria’, merupakan
sebuah buku yang menjadi karya klasik pertama di dalam teori
psikoanalisa. Breuer tidak melanjutkan penelitiannya setelah itu,
sementara Freud semakin menemukan bahwa emosi utama yang dihalangi oleh
penderita hysteria dari kesadaran ialah hasrat seksual.
Dengan
temuan itu, secara pribadi Breuer merasa tidak nyaman dan terganggu,
ditambah lagi teori seksual ini dianggap konyol oleh komunitas ilmiah.
Hal ini sangat melukai hati Breuer, sehingga ia menyerahkan kepada Freud
untuk meneliti wilayah ini sendirian. Ketika Freud menggali lebih dalam
bidang ini, dia menemukan bahwa memori-memori terpendam pasiennya
mengarah kemasa lalu yaitu masa kanak-kanak mereka. Freud sangat bingung
dengan temuannya ini. Pasien-pasiennya berulang kali menceritakan kisah
bagaimana orang tuanya telah melakukan perbuatan seksual kepada mereka
sewaktu masih kecil. Cerita ini akhirnya disimpulkan Freud sebagai
fantasi. Namun kemudian dia menyimpulkan bahwa fantasi juga mengatur
hidup kita. Pikiran dan perasaan bisa menjadi sama pentingnya dengan
peristiwa-peristiwa aktual.
Ketika
Freud masih kebingungan untuk menemukan kebenaran dari memori-memori
pasiennya, maka pada tahun 1897 Freud kembali melakukan penyelidikan
dengan metode ‘analisis diri’. Termotivasi oleh gangguan yang
dirasakannya ketika sang ayah meninggal. Freud mulai menguji
mimpi-mimpi, memori-memori dan pengalaman-pengalaman kanak-kanaknya
sendiri. Malalui analisis ini, Freud meraih konfirmasi independen atas
teori seksualitas kanak-kanaknya dan menemukan apa yang dianggapnya
sebagai Oedipus complex, artinya Freud menyatakan bahwa dia
mengembangkan sebuah persaingan mendalam dengan orang tua sejenis
kelamin yang sama untuk memeperoleh afeksi dari orang tua dari jenis
kelamin yang berbeda. Freud pertama kali menerbitkan teorinya itu di
dalam interpretation of dream. Disitu dia menyebut interpretasi mimpi ini sebagai ‘jalan raya menuju ketaksadaran’.
Berkali-kali
Freud tidak sanggup berpikir atau menulis karena mengalami kelumpuhan
intelektual. Apalagi temuannya tentang seksualitas pada masa kanak-kanak
tidak diterima oleh komunitas ilmiah pada masa itu. Kebanyakan para
ahli mengatakan bahwa seksualitas dimulai pada masa pubertas bukan pada
masa kanak-kanak seperti yang dikatakan Freud. Menghadapi reaksi ini,
Freud merasa begitu terkucilkan dan mengatakan bahwa dia sering kali
kehilangan keyakinan.
Pada
tahun 1901 ketika Freud berusia 45 tahun, dia akhirnya bangkit dari
pengucilan intelektualnya. Penelitinnya menarik beragam ilmuan dan
penulis muda, bahkan beberapa mereka bertemu dengan Freud untuk
melakukan diskusi mingguan. Kelompok-kelompok diskusi ini yang kemudian
berkembang setahap demi setahap sehingga menjadi asosiasi resmi
psikoanalisa. Diantara murid-murid pertama Freud adalah Alfred Adler dan
Carl Gustav Jung, yang kemudian memisahkan diri karena tidak sependapat
dengan konsep yang dikemukan Freud.
Perbedaan pendapat dalam keilmuan merupakan hal yang wajar, karena lain
kepala lain pula cara pandangnya, asalkan apa yang dikemukakannya itu
bisa dipertahankan.
Freud
terus mengembangkan dan merevisi teorinya sampai akhir hayatnya, yang
mana 16 tahun terakhir adalah masa hidupnya yang penuh penderitaan
akibat kanker menggerogoti rahangnya. Pada 1933 Nazi membakar
buku-bukunya di Berlin, dan pada tahun 1938 dia harus pergi dari Wina ke
London, di mana dia menjalani tahun akhir hidupnya dan meninggal pada
usia 83 tahun.
B. Konsep Dasar Teori
Setelah
kita membahas riwayat hidup Sigmund Freud, maka sekarang kita akan
beralih ke pembahasan berikutnya yaitu tentang konsep dasar teori Freud.
Meskipun teori Freud sangat sulit diterima oleh komunitas ilmiah, namun
Freud tetap bangkit dari pengucilan itu. Freud percaya bahwa di dalam
diri seseorang mempunyai tiga struktur yaitu id, ego dan superego yang
sering disebut sebagai struktur kepribadian.
Tanpa membahas struktur kepribadian ini, rasanya ada sesuatu yang
kurang dari penjelasan kedepannya. Maka alangkah lebih baiknya kita
membahas dulu struktur kepribadian tersebut, agar kita lebih mudah untuk
memahami konsep tahap-tahap perkembangan psikoseksualnya Freud.
a. Id (Das Es)
Id merupakan komponen kepribadian yang primitif, instinktif dan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id menurut Freud terdiri dari insting-insting yang merupakan tempat penyimpanan energi psikis individu. Selain itu, id juga merupakan bagian kepribadian yang pada awalnya disebut Freud sebagai ‘ketidaksadaran’. Dalam pandangan Freud id seluruhnya tidak sadar; id tidak memiliki kontak dengan kenyataan.
Jadi id ini merupakan bagian kepribadian yang paling primitif yang
mengandung refleks-refleks dan dorongan-dorongan biologis dasariah.
Freud membayangkan id seperti lubang yang “penuh kesenangan
menggelegak”, semuanya saling mendesak untuk menyembul keluar. Jika
diselidiki motovasinya, maka id bisa dikatakan didominasi oleh prinsip
kesenangan (Pleasure Principle) dengan tujuannya ialah mengurangi tekanan.
Struktur kepribadian id ini terdapat pada bayi, yang mana bayi masih
dikuasai oleh prinsip-prinsip kenikmatan pada bermacam-macam dorongan
yang terjadi secara berulang-ulang; satu dorongan terpuaskan maka akan
timbul lagi dorongan lain yang menuntut pemuasan baru dengan segera dan
begitu seterusnya.
b. Ego (Das Ich)
Ego
merupakan eksekutif dari kepribadian yang membuat keputusan tentang
insting-insting mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Peranan
utama ego adalah sebagai mediator yang menjembatani antara id dengan
kondisi lingkungan atau dunia luar yang diharapkan. Ego merupakan bagian
dari id yang kehadirannya bertugas untuk memuaskan kebutuhan id, bukan
untuk mengecewakannya, dan bertujuan untuk menemukan cara yang realistis
dalam rangka memuaskan id.
Menurut Freud, ego adalah struktur kepribadian yang berurusan dengan tuntutan realitas, berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Selain itu, Freud juga menyebut ego ini seperti joki penunggang kuda yang harus memahami kekuatan kuda.
Untuk menghidari terjadinya masalah, maka ego harus berusaha
menjinakkan dorongan-dorongan id yang tak terkendali. Dalam upaya
memuaskan dorongan, ego sering bersifat pragmatis dan kurang
memperhatikan nilai atau norma. Namun demikian, ego juga berupaya untuk
mencapai tujuan-tujuan jangka panjang dengan cara menunda kesenangan
sesaat.
c. Super Ego (Das Uber Ich)
Super
ego merupakan komponen moral kepribadian yang terkaid dengan standar
atau norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Menurut Freud, super ego mengandung dua bagian. Yang pertama yaitu “suara hati” atau “hati nurani”.
Ini merupakan bagian yang bersifat menghukum, negative dan kritis yang
mengatakan kepada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan menghukum
dengan rasa bersalah jika melanggar tuntutannya. Sedangkan bagian yang
kedua dari super ego tersebut ialah “ego ideal”, karena terdiri
dari aspirasi-aspirasi positif. Contoh ego ideal ialah: ketika anak
laki-laki ingin menjadi seperti pemain basket terkenal, maka atlet
adalah ego idealnya. Tapi ego ideal bisa juga lebih abstrak. Dia bisa
berisi ideal-ideal positif kita seperti keinginan untuk menjadi lebih
murah hati, berani, atau berdedikasi tinggi bagi prinsip-prinsip
keadilan dan kebebasan.
Mekanisme terbentuknya suara hati dan ego ideal itu disebut introjeksi, yaitu proses penerimaan anak terhadap norma-norma moral dari orang tuanya.
Dengan terbentuknya super ego, berarti pada diri individu telah
terbentuk kemampuan untuk mengontrol diri sendiri yang menggantikan
pengontrolan dari orang tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa super ego
berfungsi:
- Untuk merintangi dorongan-dorongan id, terutama dorongan seksual dan agresif, karena dalam perwujudannya dikutuk oleh masyarakat.
- Mendorong ego untuk menggantikan tujuan realistik dengan tujuan moralistik.
- Mengejar kesempurnaan.
C. Tahap-Tahap Perkembangan Psikoseksual
1. Masa Oral (0 – 1 tahun)
Masa
oral merupakan tahap pertama perkembangan psikoseksual, yang mana bayi
memperoleh dan merasakan kepuasan melalui mulutnya. Kepuasan dan
kenikmatan tersebut, timbul karena adanya hubungan rasa lapar, kemudian
gelisah dan minuman atau makanan yang diberikan kepada bayi.
Pada masa ini, libido didistribusikan ke daerah oral, sehingga
perbuatan mengisap dan menelan menjadi metode utama untuk mereduksi
ketegangan.
Ketidakpuasan
pada masa oral dapat menimbulkan gejala regresi yaitu berbuat seperti
bayi atau anak yang sangat bergantung kepada orang tuanya dan juga
perasaan iri hati atau cemburu. Reaksi dari kedua gejala tersebut dapat
dinyatakan dalam beberapa tingkah laku, misalnya mengisap jempol,
mengompol, membandel, dan membisu seribu bahasa. Menurut Freud, fiksasi
pada tahap ini dapat membentuk sikap obsesif yaitu makan dan merokok pada masa remaja dan dewasa, yang mana pada tahap ini dorongan agresi sudah mulai berkembang.
2. Tahap Anal (1-3 tahun)
Pada
tahap ini libido terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan mengalami
ketegangan ketika duburnya penuh dengan ampas makanan. Peristiwa buang
air besar yang dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan
dan pencapaian kepuasan, rasa senang atau rasa nikmat yang mana
peristiwa ini disebut dengan erotic anal.
Ketika sudah dapat mengontrol otot-otot dubur ini, kadang-kadang mereka
belajar untuk menahan gerakan perutnya, dengan maksud untuk
meningkatkan tekanan di dubur yang dapat menimbulkan kenikmatan saat
fesesnya terlepas.
Pengeluaran
kotoran merupakan kegiatan otot-otot pada daerah anus dan merupakan
sumber kepuasan bagi anak untuk “mengotori” lingkungannya sebagai reaksi
terhadap sikap-sikap orang lain yang dianggap tidak menyenangkan. Ia
ingin menentang dan ingin menunjukkan kebebasannya sendiri.
Beberapa
orang tua mungkin mengizinkan anaknya bermain dengan fesesnya dalam
waktu tertentu, namun lebih banyak orang tua merasa jijik dengan keadaan
seperti itu dan segera membuat anak mereka merasakan hal yang sama.
Namun Freud juga tertarik dengan reaksi yang berlawanan dari
tuntutan-tuntutan orang tua ini. Dia mengamati bahwa sejumlah orang
mengembangkan tuntutan berlebihan didalam masalah kebersihan,
keteraturan dan reliabilitas.
Dalam kehidupan ini, tentu ada yang mempengaruhi cara kehidupan
seseorang baik keluarga, lingkungan, maupun budaya. Sehingga menimbulkan
pola asuh yang berbeda-beda pula terhadap anak-anaknya.
3. Tahap Phalik (3-5 tahun)
Pada tahap ini anak mulai senang memainkan alat kelaminnya sendiri. Dimana sumber kenikmatan berpindah ke daerah kelamin.
Pada masa ini terjadi perkembangan berbagai aspek psikologis, terutama
yang terkait dengan perlakuan orang tua kepada anak. Pada masa ini anak
juga mulai menaruh perhatian terhadap perbedaan-perbedaan anatomic
antara laki-laki dan perempuan, terhadap asal-usul bayi dan hal-hal yang
ada kaitannya dengan seks. Hal lain yang muncul pada masa ini adalah
tokoh ibu yang dijadikan sumber segala kasih sayang, terutama oleh anak
laki-laki. Hal ini disebabkan karena semenjak lahir ibu sering bersama
anaknya. Melalui keadaan inilah timbul keinginan yang bersifat seksual
pada anak terhadap orang tuanya, khususnya anak laki-laki terhadap
ibunya.
a. Masa phalik pada anak laki-laki
Freud
percaya bahwa ibu adalah obyek untuk melakukan hubungan seks bagi anak
laki-laki pada masa ini. Oleh Freud ketertarikan anak laki-laki terhadap
ibunya ini disebut dengan Oedipus kompleks. Nama Oedipus diambil dari
tokoh mitologi Yunani kuno, yang nekat membunuh ayahnya sendiri kemudian
mengawini ibunya.
Ketertarikan
anak terhadap ibunya terhalang kerena kehadiran tokoh ayah
dihadapannya. Tokoh ayah bagi anak laki-laki adalah saingan untuk
mendapatkan cinta ibunya dan karena itu muncul sikap-sikap negarif
terhadap ayahnya, seperti takut dihukum karena berusaha menyaingi ayah
untuk mencintai ibu. Ketakutan ini menimbulkan sikap menyerah pada anak
dan memilih untuk mengidentifikasi dirinya dengan ayahnya. Apabila cinta
anak terhadap ibunya tidak berhenti, maka timbul semacam ikatan antara
anak laki-laki dengan ibunya, dan anak akan menjadikan ibu sebagai tokoh
identifikasi bagi dirinya. Menurut Freud inilah yang menjadi dasar
timbulnya homoseksualitas pada pria, karena telah mengidentifikasi sosok
ibu.
b. Masa phalik pada anak perempuan
Seperti
pada anak laki-laki, menurut Freud anak perempuan juga mengalami hal
yang sama. Anak perempuan juga mempunyai keinginan untuk melakukan
hubungan seks dengan ayahnya.
Bagi
perempuan tokoh ibu merupakan penghalang cintanya terhadap ayah.
Ketidaksamaan antara kelamin anak perempuan dengan laki-laki, meyebabkan
anak perempuan iri hati terhadap struktur kelamin laki-laki yang
dikenal dengan istilah penis envy. Karena iri hati kelamin, maka
anak perempuan akan mengidentifikasi sosok ibunya. Hal inilah yang akan
menjadi dasar munculnya perilaku lesbian ketika sudah dewasa.
5. Masa Laten (6-12 tahun)
Setelah
melewati masa phalik, yang mana kenikmatan berpusat pada alat kelamin.
Maka perkembangan selanjutnya ialah masa laten. Masa ini disebut juga
dengan masa sekolah dasar.
Karena masa-masa ini memang anak-anak mulai masuk sekolah. Selama masa
ini, anak mengembangkan kemampuannya melalui tugas-tugas sekolah,
bermain olah raga dan kegitan-kegitan lainnya yang dapat menigkatkan
potensi dirinya. Pada masa ini terjadi perkembangan yang hebat pada
seluruh aspek-aspek diri anak, seperti perkembangan kognitif melalui
pendidikan formal disekolah, perkembangan sosial dan moral, serta ia
juga mempelajari dasar-dasar untuk bisa menyesuaikan diri dalam
lingkungan sosial.
Oleh
karena itu, proses identifasi anak pun akan mengalami perluasan atau
pengalihan objek. Yang pada awalnya objek identifikasi anak adalah orang
tua, sekarang meluas kepada guru-guru mereka, tokoh-tokoh sejarah, atau
para bintang seperti bintang film, musik, dan olah raga.
6. Masa Genital (12 > tahun)
Tahap
ini merupakan tahap yang terakhir, yang berlangsung pada masa pubertas
sampai masa dewasa. Tahap ini merupakan masa kebangkitan kembali
dorongan seksual, dimana sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang
yang berada di luar keluaraga.
Masa ini ditandai dengan matangnya organ reproduksi anak. Anak mulai
mengembangkan motif untuk mencintai orang lain atau berkembangnya motif
untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Motif-motif ini mendorong
anak untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dan persiapan
untuk memasuki dunia kerja, pernikahan dan berkeluarga.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori
psikoanalisa dipelopori oleh Sigmund Freud. Freud lahir di Freiberg,
Moravia pada tahun 1856 dan meninggal pada tahun 1939 di London pada
usia 83 tahun. Freud membagi struktur kepribadian kedalam tiga komponen
yaitu id, ego dan super ego. Perilaku seseorang merupakan hasil
interaksi antara ketiga komponen tersebut. Id berorientasi pada prisip
kenikmatan, ego berorientasi pada prinsip realitas sedangkan super ego
bersifat moralitas.
Selain
teorinya tentang struktur kepribadian, Freud juga mengembangkan teori
perkembangan psikoseksual. Freud berpendapat bahwa perkembangan
kepribadian manusia sebagian besar ditentukan oleh perkembangan
psikoseksualnya. Freud membagi perkembangan psikoseksual kedalam lima
tahap, yaitu tahap oral, anal, phalik, laten, dan genital. Tahapan
perkembangan psikoseksual akan memberikan dampak yang beragam terhadap
perkembangan anak ketika ia pada masa dewasa. Menurut Freud indikator
dari karakter yang sehat adalah kesenangan dalam bercinta dan bekerja.
B. Kritik dan Saran
Dalam
menyusun makalah ini penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tetapi jika
terdapat kekurangan dalam makalah ini, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, demi kesempurnaan
makalah ini, dan besar harapan saya agar makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa,Singgih D. 2003. Dasar dan Teori Perkembangan anak. Jakarta: Gunung Mulia.
Mukhlis & Hirmaningsih. 2010. Teori-Teori Psikologi Perkembangan. Pekanbaru: Psikologi Press.
Crain,William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Papalia,Diane E.,Wendkos Old,Selly., & Duskin Feldman,Ruth. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan, bagian I s/d IV Terjemahan). Jakarta: Kencana.
Santrock,John W,. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Monks,F,J,R.,Knoers,A,M,P., & Haditono, Siti Rahayu. 2006. Psikologi Perkembanga: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.