Di
tengah jamaknya vonis bebas murni untuk terdakwa kasus korupsi,
Pengadilan Negeri Palu dengan tegas menyatakan bersalah terhadap AAL
(15) atas tuduhan mencuri sandal jepit seorang polisi. Ketukan palu
hakim tunggal Rommel F Tampubolon seperti menegaskan, pisau hukum hanya
tajam bagi rakyat kecil, tapi tumpul bagi aparat negara.
Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/1)
pukul 20.45, sontak riuh oleh teriakan kekecewaan pengunjung. Hakim
tidak menyebutkan siapa yang dirugikan dari perbuatan AAL. Dalam
persidangan, AAL didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43 milik
Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun, dalam
persidangan, barang bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor
9,5.
Hakim tak menyebutkan AAL bersalah lantaran mencuri sandal Briptu Rusdi.
Namun, AAL divonis bersalah karena telah mengambil milik orang lain.
Karena itu, AAL harus dikembalikan kepada orangtuanya.
Putusan hakim seolah membuyarkan harapan pengunjung sidang dan aksi
solidaritas yang marak di sejumlah daerah. Mereka terenyak karena hakim
sampai setega itu.
AAL tertunduk lesu begitu mendengar ketukan palu hakim. Matanya
berkaca-kaca. Wajahnya lesu. Ia tampak lelah, terlebih setelah seharian
sidang diulur-ulur hingga malam hari. Saat meninggalkan ruang sidang, ia
berjalan dengan dipapah oleh pendamping, diikuti sang ayah, Ebert
Nicolas Lagaronda (55), dan ibunya, Rosmin Landegawa (51).
Siswa SMK Negeri 3 Palu itu tak kuasa berucap sepatah kata pun. Yang
terdengar lirih hanya kalimat dari sang ayah. ”Pengadilan telah
menimpakan sanksi sosial bagi masa depan anak saya,” ujar Ebert yang
bekerja sebagai pegawai Pemprov Sulteng.
Komentar Ebert relevan dengan tinjauan Tahir Mahyuddin, aktivis dari
Lembaga Perlindungan Anak Sulteng. ”Hakim menafikan dampak psikologis
kelak pada anak ini. Putusan mengembalikan dia kepada orangtuanya tidak
akan menghapus stigma yang akan muncul pascavonis. Putusan ini tidak
memulihkan harkat dan martabat AAL sebagai anak,” katanya.
Tahmidi Lasahido, pengamat sosial dari Universitas Tadulako,
menambahkan, ”Ada apa dengan sistem hukum di Indonesia. Sejak awal
mestinya kasus ini bisa dicegah masuk pengadilan, tetapi malah
dibiarkan.”
Putusan itu seakan menafikan harapan publik yang tengah mengusung
tegaknya keadilan sosial. Sejak kasus ini disidangkan dua pekan silam,
aksi solidaritas terhadap AAL terus mengalir di sejumlah wilayah Tanah
Air, termasuk aksi pengumpulan 1.000 pasang sandal jepit di Jakarta.
Tim penasihat hukum dan keluarga AAL menyatakan masih berpikir-pikir
untuk menyatakan banding. ”Karena terdakwa adalah anak di bawah umur,
kami akan meminta pertimbangan orangtuanya untuk menentukan sikap,” kata
Elvis DJ Katuwu, penasihat hukum AAL.
Dalam sidang yang dihadiri Jaksa Penuntut Umum Chandra itu, setidaknya
ada 15 pengacara yang mendampingi AAL, di antaranya Syahrir Zakaria,
Elvis DJ Katuwu, dan Johannes Budiman Napat. Bagi PN Palu, inilah sidang
pertama dengan kasus sandal jepit. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362
KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Walau sidang ditutup untuk umum, ratusan pengunjung sidang memadati
kompleks pengadilan sebagai bentuk simpati kepada AAL. Halaman
pengadilan diramaikan aksi unjuk rasa berbagai organisasi
kemasyarakatan, LSM, pelajar-mahasiswa, seniman, dan PNS.
Dari Jakarta, Ketua Dewan Pembina Komnas Anak Indonesia Seto Mulyadi
datang langsung ke Palu dan mendampingi AAL sepanjang sidang
berlangsung. ”Tujuan kita semua sama, yakni menuntut pembebasan AAL.
Saya meminta AAL dikembalikan ke orangtuanya. Sebagai seorang anak,
tempatnya adalah di rumah dan sekolah, dalam bimbingan dan perlindungan
orangtua dan guru, bukan di penjara. Namun, saya juga meminta harkat dan
martabat AAL dipulihkan,” kata Seto.
Di luar pengadilan, posko sandal jepit yang di antaranya dibuka di Taman
GOR Palu sudah menampung sekitar 400 pasang sandal sejak dibuka Selasa
sore. Warga dari berbagai latar sosial, termasuk sopir angkot, rela
memberikan sandal mereka sebagai bentuk simpati kepada AAL. Tak jarang
pengendara motor yang lewat singgah memberikan sandalnya dan rela
melanjutkan perjalanan dengan bertelanjang kaki. Kasus sandal jepit ini
telah menyatukan berbagai kalangan dalam keprihatinan bersama.
Kejadian pencurian yang didakwakan kepada AAL terjadi pada November
2010, saat AAL masih berusia 14 tahun. Namun, Briptu Rusdi belakangan
menyoalnya hingga pengadilan pada Mei 2011.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo di Jakarta mengatakan, penegakan
hukum kasus ini seharusnya menjadi introspeksi bagi kepolisian untuk
melakukan perbaikan ke dalam. Dalam kasus ini, polisi tidak boleh hanya
mengajukan kasus pencurian itu ke pengadilan, tetapi seharusnya juga
lebih memprioritaskan penuntasan kasus pidana penganiayaan yang
dilakukan oknum anggotanya terhadap AAL.
Menurut Bambang, aksi pengumpulan sandal itu dapat dilihat sebagai
ungkapan protes rakyat kecil yang selama ini merasa diperlakukan
sewenang-wenang oleh polisi.
Kasus ini ternyata juga mendapat perhatian Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan,
Presiden terus mengikuti pemberitaan kasus itu dan aksi pengumpulan
1.000 sandal, yang juga santer hingga ke luar negeri. Namun, Presiden
belum berkomentar mengenai kasus tersebut.
Sumber: www.kompas.com