SENI, BUDAYA, DAN IPTEK DALAM PANDANGAN
ISLAM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan ridho-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Seni, Budaya
Indonesia dan Perkembangan IPTEK dalam
Pandangan Islam”.
Makalah ini disusun guna
memberikan informasi tambahan kepada para pembaca agar dapat lebih memahami
Agama Islam baik makna Agama Islam maupun sejarah Agama Islam.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak,
terutama Bapak Dr. Kaelany HD., MA selaku dosen mata kuliah Agama Islam di
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia tahun 2009. Penulis ucapan terima kasih atas bimbingan,
arahan, dan bantuannya, semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah
SWT. Tak hanya itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang sumbernya berupa artikel, tulisan, dan buku telah penulis jadikan
referensi guna penyusunan makalah ini, semoga dapat terus berkarya guna
menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan yang
lebih baik.
Penulis berharap, semoga
informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya.
Tak ada gading yang tak retak,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maafkan jikakalau
banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis setulus hati menerima kritik dan saran
yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.
Depok, 14 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 4
1.1. Latar Belakang……………………………………………. 4
1.2. Rumusan Masalah………………………………………… 5
1.3. Tujuan Penulisan………………………………………….. 5
1.4. Metode Penulisan………………………………………….. 5
1.5. Sistematika Penulisan……………………………………... 5
BAB II Animisme, Dinamesmi dan Kejawen Dalam Pandangan
Islam……………………………………………………………………… 6
2.1 Pandangan
Islam Terhadap Animisme dan Dinamisme………… 7
2.2
Konsep Aliran Islam
Kejawen……………………………….. 11
BAB III Seni, Budaya Indonesia
dan Perkembangan IPTEK dalam
Pandangan Islam…………………………………………………..30
BAB IV PENUTUP………………………………………………………....81
4.1. Kesimpulan…………………………………………………...81
4.2. Saran………………………………………………………….81
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….......82
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Jombang sebuah kota di
Jawa Timur kembali menghebohkan Indonesia
setelah pada tahun kemarin heboh dengan Sang Jagal Ryan kini Jombang punya artis
baru yaitu Ponari. Ponari yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai
penyakit hanya dengan batu yang dimilikinya telah menyedot pelanggan hingga
ribuan orang bahkan kabarnya dia mendapat penghasilan dari praktiknya tersebut
sebesar 60 juta rupiah/hari.
Namun aku sedikit kuatir dengan praktik tersebut
karena takut orang yang datang berobat itu tiba-tiba saja akan berkata
atau berpikiran “GARA-GARA PONARI ATAU GARA-GARA BATUNYA AKU BISA SEMBUH”
sesuatu yang menurutku akan menyimpang dari akidah islam sendiri karena kita
tahu bahwa kesembuhan yang kita dapat semua berasal dari Allah swt sedangkan
manusia hanya sebagai perantara yang hanya bisa berusaha tapi tidak bisa
menentukan sembuh tidaknya orang. Kalau kata-kata itu atau pikiran itu terjadi
maka praktik-praktik itu bagiku sama bahayanya bahkan mungkin lebih berbahaya
dari aliran sesat yang selama ini ada di Indonesia. Karena kalau aliran
sesat jelas ia punya fakta yang tersurat tapi praktik tersebut menyimpan
hal-hal tersirat yang pada akhirnya hanya bisa dikatakan semuanya tergantung
diri pribadi. Semoga orang yang datang berobat itu tidak pernah berkata atau
berpikir seperti itu karena dia akan jadi orang yang rugi untuk urusan akhirat
karena termasuk dalam kategori musyrik.
Selain itu sulit untuk membuktikan secara medis
walaupun segala sesuatunya mungkin saja bisa terjadi kalau Allah berkehendak
tapi secara logika-logikaan sulit mencari hubungan antara batu yang dimiliki
ponari dengan kesembuhan yang di dapat pasien. Namun para dokter sering berkata
kesembuhan seperti itu biasanya karena sugesti yang kuat yang dimiliki oleh
pasien hingga berakibat kesembuhan itu bisa menjadi cepat.
1.2.
Rumusan
Masalah
Makalah ini
terfokuskan pada empat masalah yang akan dibahas penulis yaitu :
1.2.1.
Bagaimana pandangan Islam Terhadap Animisme dan
Dinamisme ?
1.2.2.
Apakah definisi kejawen dan hubungannya dengan syirik ?
1.2.3. Bagaimana seni dalam pandangan ajaran
Islam ?
1.2.4.
Bagaimana pandangan Islam terhadap budaya Indonesia
?
1.2.5. Bagaimana peranan Islam dalam perkembangan
iptek ?
1.3.
Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan :
1.3.1.
Mengetahui
pandangan islam terhadap animism, dinamisme, dan kejawen
1.3.2.
Mengetahui
pandangan islam terhadap Seni, budaya Indonesia, dan perkembangan iptek
1.4.
Metode
Penulisan
1.4.1. Metode Problem
Based Learning
1.4.2.
Metode
Literatur / Kepustakaan
Penulis menggunakan study kepustakaan dari berbagai sumber berupa buku, media cetak,
maupun media elektronik yang memuat informasi berkaitan dengan makna Agama
Islam dan Sejarah Agama Islam.
1.5.
Sistematika
Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis terdiri dari
4 bab :
BAB I Pendahuluan
yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Animisme,
Dinamisme, dan Kejawen dalam pandangan Islam
BAB III Seni, budaya Indonesia, dan perkembangan iptek dalam pandangan Islam
BAB IV Penutup
yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ANIMISME, DINAMISME, DAN KEJAWEN DALAM PANDANGAN ISLAM
Pandangan Islam
Terhadap Animisme dan Dinamisme
Sampai
sejauh ini telah dibicarakan secara ringkas kepercayaan animisme, dinamisme dan
gagasan tentang Tuhan tertinggi. Animisme dan dinamisme yang dibicarakan sejauh
ini adalah sebagian kecil saja dari apa yang biasanya disebut agama
bangsa-bangsa primitif dan secara keseluruhan merupakan gambaran yang bulat
tentang agama bangsa-bangsa primitif.[i]
Sebagai
telah dibicarakan diatas, bahwa dinamisme dan animisme adalah kepercayaan yang
khayal belaka. Islam tidak membenarkannya, sebab hal itu termasuk syirik
(menyekutukan Tuhan), orang yang menjalankannya disebut Musyrik.[ii]
Islam
mengajarkan bahwa orang tidak boleh menghormati dan menyembah selain Allah,
sebagaimana ditegaskan dalam syahadat yang pertama yang artinya ; saya bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Hanya Allah sajalah yang Maha Menjadikan,
Maha Kuasa dan Maha Tinggi serta Maha Bijaksana.
Allah
berfirman, yang artinya : “Janganlah kamu sujud bersembah kepada matahari
dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakan
matahari dan bulan, jika kamu benar-benar ingin menyebah kepada-Nya”(QS.
Fush-shilat : 37)
Kita
sebagai kaum muslimin harus waspada, jangan sampai iman kita dikotori
oleh anasir-anasir animisme. Benda adalah tetap benda, apakah benda itu
berwujud sebutir batu, sepotong besi atau secarik kertas yang ditulisi,
nilainya sama saja. Kesemuanya tak mungkin mengandung kekuatan ghaib, tak
mungkin mengandung gaya sakti lebih dari apa yang telah ditentukan oleh
sunnatullah atau hukum alam.
Tentang
meminta pertolongan kepada roh yang telah mati dan mendatangkan roh tersebut,
haruslah kita jauhi karena hal ini dilarang oleh agama. Menurut ilmu spiritisme
(Ilmu Arwah Modern), memanggil roh orang telah mati memang mungkin, akan tetapi
apakah gunanya kita memanggil roh itu, bahkan akan mengganggu ketenangan roh
bila saban-saban kita panggil, sedang roh itu tak dapat memberi faedah apa-apa
kepada kita.
Apalagi
kalau kita ingat bahwa roh yang mudah dipanggil hanyalah roh-roh jahil (roh
yang dalam keadaan bingung), roh-roh pendusta, roh-roh pembohong saja, yang
kesemuanya itu jelas tidak dapat memberikan manfaat kepada kita.
2.1.
Teori Animisme dan Teori Roh Dalam Al-qur’an
Teori
animisme yang dikemukakan, mula-mula oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917)
didalam bukunya “Primitive Culture (1873), secara singkat adalah sebagai
berikut :
Dengan adanya
peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang dialami oleh
orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada
adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu mereka
membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat
bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati.
Bila
orang meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaan akan roh
orang mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup di dalam
mimpinya. Lama-kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi
dewa-dewa.
Roh
manusia yang telah mati menurut paham bangsa-bangsa premitif pindah ke tubuh
binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu besar fetish dan sebagainya.
Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak, gigi
binatang dan sebagainya.
Suatu
fetish adalah suatu kepercayaan yang lebih disukai berdasarkan karya-karyanya.
Karena fetish itu berkarya, maka barang-barang yang bersangkutan itu mempunyai
jiwa atau roh. Roh itu adalah suatu kekuatan yang tampak, kekuatan yang dapat
membawa pemiliknya terhindar dari bahaya. Pandangan fetish dapat bersifat
pemiliknya dapat berwujud manusia, orang-perorangan, ataupun kelompok, suatu
keluarga ataupun seluruh rakyat. Fetish yang terdapat pada tentera Omaka
(Indian) yang dapat berbuat luar biasa atau ajaib.
Teori
roh sebagaimana dikemukan oleh Al-Qur’an pada hakikatnya dapat didefenisikan
menjadi dua, yaitu :
1.
Suatu rahasia Tuhan yang dengan itulah hidupnya tumbuh bagaikan air yang
meresap ke dalam pohon yang hidup.
2.
Suatu rahasia yang menjadi makanan hai, sehingga dengan demikian hiduplah
hai manusia.
Berdasarkan
arti ini dapatlah Al-Qur’an itu kita namakan roh sebab Al-Qur’an itu merupakan
nur, cahaya dan tuntunan yang dapat menyembuhkan dan menghidupkan hati manusia.
Dalam Al-Qur’an dikatakan :“Demikianlah kami wahyukan padamu Al-Qur’an dari
perintah kami dan roh kami”. Jadi disini roh itu berarti Al-Qur’an, untuk
makanan, untuk menghidupkan hati manusia dan demikian juga Jibril dinamakan
roh, karena dialah yang membawa kebaikan dan rahasia-rahasia kerahmatan (Al-Qur’an)
kepada nabi. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Katakanlah wahai Muhammad, bahwa
yang menurunkan Al-Qur’an itu adalah roh (Jibril) dari Tuhanmu”.
Demikianlah sebabnya Al-Qur’an, Malaikat dan Rasul itu dinamakan roh. Dengan
makna dan maksud bahwa semuanya itu memberi rahmat dan menghidupkan semua hati
manusia di permukaan bumi.
Para
menganut animisme ini adalah manusia yang tersesat yang belum menemukan jalan
yang semestinya dilalui. Allah bukanlah roh sebagaimana anggapan mereka, bahkan
Allah SWT yang menciptakan semua benda-benda, tumbuh-tumbuhan, binatang. Allah
menciptakan dunia, pencipta manusia termasuk nenek moyang atau leluhur mereka,
dan roh itu sendiri adalah termasuk salah satu ciptaan-Nya.
Memang
masalah kehidupan sehari-hari mempunyai arti serta nilai religius. Hidup adalah
keutuhan, karena itu masalah kepercayaan dipandang tidak terlepas dari
hidupnya, namun terlepas sama sekali dari kebenaran agama yang sebenarnya
dikarenakan oleh tidak adanya pengertian bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya
yang terpilih untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya kepada seluruh umat
manusia di dunia ini.
2.2.
Beberapa Ayat Al-Qur’an Tentang Teori Roh (Animisme)
Teori
animisme (roh-roh) banyak kita dapat unsur-unsurnya dalam Al-Qur’an. Seperti
soal kebebasan kemauan dan terpisahnya (roh) manusia dari badan dan roh hewan
dalam kehidupan ini, bertempatnya roh manusia sesudah mati dalam alam barzakh,
yaitu tempat yang terdapat antara dunia dan akhirat, dan pertalian-pertalian
roh-roh orang yang telah meninggalkan kehidupan di dunia. Kesemuanya itu kita
dapati dalam Al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat berikut :
1.
Tuhanlah yang mematikan (menidurkan) engkau diwaktu malam, dan dia
mengetahui apa yang engkau perbuat pada siang hari. Kemudian dia membangkitkan
engkau pada hari itu (kiamat) , agar dijalani masa yang telah ditentukan (Q. 6
: 60).
2.
Tuhan mematikan jiwa-jiwa ketika (tiba masanya) matinya, dan bagi yang
belum mati yaitu diwaktu tidurnya (Q. 39 : 42).
3.
Janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh karena jalan Allah itu
mati, melainkan karena mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rezeki,
gembira atas apa saja yang diberikan Tuhan kepada mereka berupa anugerah,
dan optimislah (mereka gembira) terhadap mereka yang menyusuli mereka dan
berada di belakangnya (Q. 3 : 169 - 170).
Di
samping itu Al-Qur’an menyebutkan adanya roh-roh lain yang terpisah dari
manusia, tetapi mereka berhubungan dengan kehidupannya, kadang-kadang untuk
menolong manusia dan kadang-kadang tidak. Roh-roh tersebut adalah
Malaikat-malaikat.
Bagi
orang yang mengartikan teori animisme sama dengan teori kejiwaan,maka teori
kejiwaan dipakai juga oleh Al-Qur’an, ketika menujukkan kelemahan manusia untuk
mencapai segala tujuannya dan kelemahannya ketika menghadapi keputusan Zat Yang
Maha Tinggi, serta keharusan menyerah kepada-Nya, sebagai yang tercantum dalam
ayat berikut ini, yang artinya : “Adakah bagi manusia segala yang
diinginkannya? Bagi Tuhan adalah yang pertama dan terakhir” (Q. 53 : 24 -
25)
Kalau
animisme dimasukkan dalam golongan agama dengan pengertian obyektif, yaitu
agama dalam segala apa yang dipercayai maka mempercayai segala nyawa berarti
mempercayai segala Tuhan. Jadi kalau demikian artinya, maka animisme berarti
mempunyai Tuhan banyak.
Bahkan
Al-Qur’an menambah ukuran baru yang besar artinya bagi soal-soal ketuhanan,
yaitu membelokkan kemauan dari tujuan, ketika kebencian menjadi kasih sayang
dan rasa permusuhan menjadi kerukunan tanpa adanya campur tangan yang nyata
dari alam terhadap perpindahan itu.
2.3.
Dinamisme dan Teori Kekuatan Luar Biasa Dalam
Al-Qur’an
Perkataan
dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos
dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga
diterjemahkan dengan daya.
Selanjutnya
dinamisme ada yang mengartikan dengan “sejenis paham dan perasaan keagamaan
yang terdapat diberbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan
banyaknya persamaan-persamaan”. demikian Honig mengartikannya. Dr. Harun Nasution
tidak mendefenisikan dinamisme secara tegas hanya menerangkan bahwa “bagi
manusia premitif, yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap
benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang
misterius”.
Dalam
Ensiklopedi umum dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan
premitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme
disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau
makhluk mempunyai mana (percaya adanya kekuatan yang maha yang berada
dimana-mana).
T.S.G.
Mulia menerangkan dinamisme sebagai suatu kepercayaan bahwa pada berbagai benda
terdapat suatu kekuatan atau kesaktian, misalnya dalam api, batu-batu,
tumbuh-tumbuhan, pada beberapa hewan dan juga manusia.
Dinamisme
sendiri dapat juga diartikan lebih lanjut sebagai kepercayaan kepada suatu daya
kekuatan atau kekuasaan yang teramat dan tidak pribadi, yang dianggap halus
maupun berjasad yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda,
binatang dan manusia.
Kalau
kita pindah dari teori kekuatan luar biasa seperti yang dikemukan oleh Max
Muller (1823 - 1900) dalam bukunya The Growth of Religion (1880), maka
sebenarnya dalam Al-Qur’an banyak kita dapati menyebutkan gejala-gejala alam
yang mendasyat dan luar biasa.
Gejala-gejala
yang luar biasa ini mungkin juga ada diisyaratkan dalam Al-Qur’an seperti
terdapat dari ayat-ayat berikut :
1.
Diantar tanda adanya Tuhan ialah dia memperlihatkan kepada engkau sekalian
kilat, untuk menimbulkan ketakutan dan harapan (Q. 30 : 24).
2.
Guntur menyucikan keagungan Tuhan dan Malaikat-malaikat juga, karena takut
kepada-Nya, dan Tuhan menurunkan petir-Nya kemudian menimpakan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya (Q. 13 : 13).
Bahkan
Al-Qur’an tidak hanya mencukupkan dengan mengingatkan peristiwa-peristiwa yang
mendasyat dan terjadi benar-benar, tetapi Al-Qur’an juga memperingatkan
kejadian-kejadian mendatang sewaktu-waktu atau hal-hal yang mungkin terjadi
tanpa dinantikan. Antara lain disebut dalam ayat berikut ini :
“Tidaklah mereka
melihat apa yang ada di depan dan di belakang mereka, berupa langit dan bumi.
Kalau kami menghendaki tentu kami membalikkan bumi di atas mereka, atau kami
jatuhkan atas mereka gumpalan-gumpalan dari langit”.
Agama
dalam arti obyektif ialah segala apa yang kita percayai, sedang agama dalam
arti subyektif ialah dengan cara bagaimana kita berdiri di hadapan Tuhan dan
bagaimana kita harus berkelakuan mentaati segala perintah-Nya dan meninggalkan
segala larangan-Nya.
Dalam
uraian tentang dinamisme terdapat beberapa pengertian atau defenisi yang
diberikan terhadap dinamisme itu yang menghubungkannya langsung dengan agama.
Ada yang mengatakan dinamisme sebagai sejenis paham dan perasaan keagamaan, ada
juga yang mengatakan sebagai kepercayaan keagamaan dan juga sebagai salah satu
macam bentuk struktur dari agama premitif.
Semua
pengertian ini memperlihatkan suatu sikap yang sama yaitu keragu-raguan dalam
menetapkan apakah dinamisme itu termasuk agama atau bukan, dengan kata lain
orang tidak berani (tentu dengan alasan-alasan yang objektif) berkata bahwa
dinamisme itu adalah agama atau sebaliknya, dinamisme itu bukan agama.
Kembali
kepada dinamisme, maka dinamisme timbul dari perasaan takjub, takut dan merasa
bahwa dirinya kecil sebagai manusia dan bergantung kepada daya-daya kekuatan
sekitarnya. Mereka melihat sesuatu yang bersifat ilahi di dunia ini, tapi tidak
dilukiskannya dalam pikiran sebagai sesuatu yang berpribadi.
Oleh
sebab itu selamanya tidak terjadi hubungan engkau dan aku, tidak ada hubungan
kepribadian antara dia dengan benda pujaannya. Sebab itu segala pengertian
khusus yang ada di dalam agama seperti do’a, kurban, puasa dan sebagainya itu
dalam arti tertentu, dalam dinamisme diubah bentuknya. Do’a menjadi mantera,
suatu perbuatan yang mengandung daya kekuatan dan menimbulkan
keajaiban-keajaiban, hilang sifatnya memohonnya kepada Allah. Do’a menjadi
rumus yang sakti, yang di Jawa disebut Japamantra. Kurban menjadi suatu
perbuatan magis yang mengeluarkan daya kekuatan sendiri, lepas dari ikatan
ketuhanan. Begitu juga puasa diganti dengan tarak atau bertapa untuk
mendapatkan daya kekuatan yang luar biasa.
Di dalam
dinamisme pemujaan dan takut kepada daya-daya gaib yang luar biasa yang
terdapat di dunia dan pada benda-benda itu dapat dibandingkan dengan agama
pagan (agama suku, agam daerah atau agama etnis-premitif). Akan tetapi jika
pemujaan itu berbalik menjadi praktek magis, maka dia menjadi lain sama sekali,
karena penyembahan berubah menjadi menggagahi dan atau memperalat secara paksa.
Maka, sepanjang dinamisme tetap
kepada kepribadiannya, yaitu memuja dan mempercayai kekuatan gaib, tidak
berbalik menjadi magis yang memperkosa kekuatan gaib itu, dapatlah kiranya dia
dimasukkan ke dalam kelompok agama pagan, syirik dan tidak ada ampunan Allah
bagi orang-orang yang menyembah selain kepada Allah
Konsep Aliran
Islam Kejawen
Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan
seseorang. Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang
sangat dasyat sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan
manusia biasa. Perilaku tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah
rohani. Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipebuhi untuk
mendapatkan suatu ilmu.
Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan bekas pada
seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa
yaitu Penabungan Energi. Jika bandan fisik anda memerlukan pengisian 3 kali
sehari melalui makan agar anda tetap bisa beraktivitas dengan baik, begitu juga
untuk memperoleh kekuatan supranatural, Anda perlu mengisi energi. Hanya saja
dalam Ilmu Gaib pengisian ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup.
Penabungan energi ini dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung
jenis ilmu yang ingin dikuasai. Cara-cara penabunganenergi lazim disebut
Tirakat.
Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat mendapatkan ilmu)
yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu. Tirakat tersebut
bisa berupa bacaan doa. wirid tertentu, mantra, pantangan, puasa atau
penggabungan dari kelima unsur tersebut. Ada puasa yang disebut patigeni (tidak
makan, minum, tidur dan tidak boleh kena cahaya), nglowong, ngebleng dan
lain-lain. Biasanya beratnya tirakat sesuai dengan tingkat kesaktian suatu
ilmu. Seseorang harus banyak melakukan kebajikan dan menjaga bersihnya hati
ketika sedang melakukan tirakat.
Khodam. Setiap Ilmu Gaib memiliki khodam. Khodam adalah mahluk ghaib yang
menjadi “roh” suatu ilmu. Khodam itu akan selalu mengikuti pemilik ilmu. Khodam
disebut juga Qorin, ialah mahluk ghaib yang tidak berjenis kelamin artinya
bukan pria dan bukan wanita, tapi juga bukan banci. Dia memang diciptakan semacam
itu oleh Allah dan dia juga tidak berhasrat kepada manusia. Hal ini berbeda
dengan Jin yang selain berhasrat kepada kaum jin sendiri kadang juga ada yang
“suka” pada manusia.
Sebelum membahas
Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen, kita akan memperjelas dulu pengertian Ilmu Gaib
yang kita pakai sebagai istilah di sini. Ilmu Gaib adalah kemampuan melakukan
sesuatu yang tidak wajar melebihi kemampuan manusia biasa, sering juga disebut
sebagai Ilmu Metafisika, Ilmu Supranatural atau Ilmu Kebatinan karena
menyangkut hal-hal yang tidak nampak oleh mata. Beberapa kalangan menganggap
Ilmu Gaib sebagai hal yang sakral, keramat dan terlalu memuliakan orang yang
memilikinya, bahkan menganggap wali atau orang suci.
Perlu diterangkan, bahwa keajaiban atau karomah yang ada pada Wali (orang
suci kekasih Tuhan) tidak sama dengan Ilmu Gaib yang sedang kita pelajari. Wali
tidak pernah mengharap mempunyai keajaiban tersebut. Karomah itu datang atas
kehendak Allah karena mereka adalah orang yang sangat saleh dan rendah hati.
Sementara kita adalah orang yang meninta kepada Allah agar melimpahakan
kekuasaan-Nya untuk keperluan kita.
Dalam hasanah perkembangan Ilmu Gaib di Indonesia, kita mengenal dua aliran
utama yaitu Aliran Hikmah dan Aliran Kejawen. Aliran Hikmah berkembang di
kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab
(kebanyakan bersumber dari Al-Quran). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang
sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan
tradisi islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian
dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu, saya menyebutnya Ilmu Gaib
Aliran Islam Kejawen. Tradisi islam-kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai
keilmuan Silat Rohani.
Aliran Islam Kejawen
Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari alkulturasi (penggabungan)
budaya jawa dan nilai-nilai agama islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa
yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri
dengan dua kalimat sahadad. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang
kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).
Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat jawa sebelum islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan suparantural. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjata dakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami,
misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do’a
kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya
berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran
yang baru mereka kenal.
Di Indonesia, khususnya orang jawa, pasti mengenal Sunan Kali Jaga (Raden
Said). Beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang
dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali jaga menjadikan kesenian dan
budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam
penyebaran ajarannya adalah melalu tembang / kidung. Kidung-kidung yang
diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga.
Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan.
Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi”
yang menurut saya bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena
ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan
supranatural.
Macam-macam Ilmu Aliran Islam Kejawen
Berikut adalah klasifikasi ilmu gaib bedasarkan fungsinya menurut Erlangga.
Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut
Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku
tentang klasifikasi ilmu Gaib.
1. Ilmu Kanuragan
atau Ilmu Kebal
Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara
supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan
dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya ilmu
Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.
2. Ilmu Kawibaan
dan Ilmu Pengasihan
Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi kejiwaan
dan perasaan orang lain. lmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah daya
kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai Ilmu
Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun orang
yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda
memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut
perintah Anda tanpa berpikir panjang.
Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu yang
berkaitan dengan maslah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju
menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat
pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat
lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan
memulangkan orang yang minggat.
3. Ilmu Trawangan
dan Ngrogosukmo
Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat kemana-mana
tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan berfungsi
untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus, melihat
jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah
kelanjutan dari Ilmu Trawagan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang
berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo
seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau.
Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit
dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi
oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.
4. Ilmu Khodam
Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut
bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah
makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan
perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin / Setan,
meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis
kelamin.
5. Ilmu Permainan
(Atraksi)
Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan
di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa
memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air
keras. Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertaruang pada keadaan
sesungguhnya. Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6. Ilmu Kesehatan
Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran
pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural
lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh manusia.
Tiga Cara Penurunan Ilmu Ghaib
Ada tiga hal yang menyebebkan seseorang memiliki kemampuan supranatural. Yaitu:
1. Menjalankan
Tirakat. Tirakat adalah bentuk olah rohani khas jawa yang tujuannya untuk
memperoleh energi supranatural atau tercapainya suatu keinginan. Tirakat
tersebut bisa berupa bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari
kelima unsur tersebut. Inilah yang disebut belajar ilmu gaib sesungguhnya,
karena berhasi atau tidaknya murid menjalankan tirakat hingga menguasai ilmu,
tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri. Dalam hal ini guru hanya memberi
bimbingan.
2. Pengisian.
Seseorang yang tidak mau susah payah juga bisa mempunyai kemampuan
supranatural, yaitu dengan cara pengisian. Pengisian adalah pemindahan energi
supranatural dari Guru kepada Murid. Dengan begitu murid langsung memiliki
kemampuan sama seperti gurunya. Pengisian (transfer ilmu) hanya bisa dilakukan
oleh Guru yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.
3. Warisan
Keturunan. Seseorang bisa mewarisi ilmu kakek-buyutnya yang tidak ia kenal atau
ilmu orang yang tidak dikenal secara otomatis tanpa belajar dan tanpa
sepengetahuannya. Maka ada yang menyebutnya “ilmu tiban” yang artinya datang
tanpa disangka-sangka.
Mitos Tentang Efek Samping
Beberapa orang masih menyakini bahwa
pemilik Ilmu Gaib akan mengalami kesulitan hidup dan mati, susah dapat rezeki,
bisa sakit jiwa (gila), menderita saat akan mati dll. Saya membantah
mentah-mentah argument tersebut. Bukankah masalah rizqi dan nasib adalah Allah
SWT yang menentukan. Memang ada banyak pemilik ilmu
gaib adalah orang yang tak punya uang alias miskin, tapi saya yakin itu bukan
disebabkan oleh ilmunya, melainkan karena dia malas bekerja dan bodoh.
Kebanyakan orang yang memiliki ilmu gaib menjadi sombong dan malas bekerja,
hanya mengharapkan orang datang meminta pertolongannya lalu menyelipkan
beberapa lembar rupiah ketika bersalaman. Jadi bukan karena Ilmunya. Sebetulnya baik buruk efek Ilmu Gaib tergantung pemiliknya. Bisa
saja Allah menghukum dengan cara menyulitkan rezeki, menyiksa saat datangnya
ajal atau hukuman lain karena orang tersebut sombong dan suka menindas orang
lain dengan ilmunya, bukankah kita selalu dalam kekuasaan Allah.
Sunan
Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen.
Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah Sunan
Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang
benar tentang sosok ini.Ada beragam versi tenta ng nama asli Kalijaga. Sejumlah
sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain
ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang
mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’.
Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko
Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban
hingga masa kini.
Joko
Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati
Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris
Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta
sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat
taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia
menetapkan pajak tinggi kepada rakyat. Joko Said muda yang tidak setuju pada
segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada
kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai
puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari
dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat
kemarau panjang. Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’
untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena
alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk
makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan
kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko
Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian
mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh
pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci
Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia
sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan
bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang
perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok,
Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang
kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu,
sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita
Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau.
Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya
kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko
Said bertemu dengan seorang ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias
Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan
baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat
dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya
bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan
Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan
bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk
menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati
untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada
‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya
dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon
yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena
banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu
justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu,
klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa
Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam
di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat
Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh
bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang
terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film
‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham
dengan kedua pendapat ini.Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau
Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan
kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku
sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga
bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang
menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari
kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah
kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya
namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”. Kemudian secara logika,
silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu
dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i
yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat
beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun
non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal.
Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan
shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya,
kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah
bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama
aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’
(Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian)
Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di
Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri. Masyarakat Jawa memiliki riwayat
kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah
Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari
Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak
istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi
‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga
alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan
yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai
Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam
Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia
adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam,
Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan
Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami
masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon,
Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan
Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua
ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon
saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah
pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh
Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat
itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di
Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta
menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang
atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana
Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih
berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak
menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan
sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau
bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir
bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita
pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak
manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang
gemar sihir. Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha
serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan
Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah
perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik
mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan
Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi
–bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula
Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan
Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar
dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana
yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada
budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama
budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia
secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu
mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan
mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram
hukumnya. Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian
keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau
sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak
dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau
berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam
dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan
pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga
dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata,
Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa,
Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang
Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat.
Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan
karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan
yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat
dengan muatan Keislaman.
- Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)
- Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
- Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
- Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
- Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni
ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta
seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan
budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai
ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah
yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah
Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode
da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar
berdeklamasi.
Tak
dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan
gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai
filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn
Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan
memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini
memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki
karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam
sejati, bukan ahli Kejawen.
Budaya
sebanarnya dapat dijadikan media untuk memahami agama, apalagi untuk bangsa
atau daerah yang mempunyai kebudayaan local yang begitu kental. Di daerah
pedalaman atau yang peradabannya sedikit tertinggal biasanya kebudayaan local
lebih memiliki dampak yang serius dibandingakan agama, peraturan pemerintah dan
lain-lain.
Akan
mudah diterima jika kita mengajarkan hal yang baru kepada seseorang ataupun
kepada suatu kelompok bila ajaran itu tidak berbau pemaksaan. Bila lebih lembut
dan mengikuti apa yang dianut oleh orang yang kita ajarkan akan lebih mudah. Karena mereka akan merasa nyaman dan
secara tidak langsung mereka akan terbawa apa yang kita ajarkan.
Begitu juga dalam mengajarkan agama.
Sebagai islam adalah agama yang moderat, tidak ada pemaksaan dalam penyebaran
dan memahami islam. Semua dilakukan dengan lemah lebut dan tindakan yang baik.
Metode ini pun diterapkan oleh tokoh terkemuka di Indonesia, yaitu para wali
songo yang mengajarkan islam dengan menggunakan budaya local untuk memudahkan
pemahaman agama islam.
Harian Duta Masyarakat mengungkap,
sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan
literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab
Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab
menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam
secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007). Masa itu adalah masa
dakwah Walisongo.
Dakwah Kultural
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika,
dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara
damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya
(percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah
kultural.
Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa
budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini
dijelaskan—baik semua atau sebagian—dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo
dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam;
Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam
dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar
Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya karya Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya
Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama
Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga
budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh
Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan
tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama
tak ada larangan dalam nash syariat.
Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal,
memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat.
Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai
kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan
menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan
wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya
menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat.
Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah
kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan
sedekah. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati-hati—menyebut shalat
dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan
menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak
Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara
dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai,
Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip
padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon
pemimpin agama.
Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menimbulkan
kontraversi, mencari sensasi atau provokasi Aceh dengan Jawa. Dan tulisan ini
juga tidak bermaksud menggores kembali luka ketidak harmonisan sebagian bangsa
Aceh dengan bangsa Jawa yang pada saat ini suduh mulai sembuh. Tapi tulisan ini
hanyalah sebuah review perkembangan sejarah masuknya Islam di Nusantara yang di
mulai dari Perlak dan Pasei(Aceh) hingga berkembang maju di negeri Jawa dan
Asia Tenggara .
Kedudukan manusia dan kebudayaan di bumi Aceh senantiasa menyatu antara satu dengan lainnya. Sebelum Islam datang ke Aceh, orang-orang Aceh dengan baiknya tunduk dan patuh kepada ajaran agama Hindu dan Budha yang menjadi kepercayaan mereka. Sebaliknya setelah Islam dating sampai ke hari ini seratus persen bangsa Aceh menerimanya dan mengamalkan dalam kehidupan mereka secara sempurna sehingga susah mau dipisahkan antara Aceh dengan Islam, demikian menyatunya Islam dengan Aceh dan bangsanya.
Kedudukan manusia dan kebudayaan di bumi Aceh senantiasa menyatu antara satu dengan lainnya. Sebelum Islam datang ke Aceh, orang-orang Aceh dengan baiknya tunduk dan patuh kepada ajaran agama Hindu dan Budha yang menjadi kepercayaan mereka. Sebaliknya setelah Islam dating sampai ke hari ini seratus persen bangsa Aceh menerimanya dan mengamalkan dalam kehidupan mereka secara sempurna sehingga susah mau dipisahkan antara Aceh dengan Islam, demikian menyatunya Islam dengan Aceh dan bangsanya.
Penyatuan ini disifatkan oleh para pakar sejarah Aceh sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan di antara keduanya. Karena keadaan yang demikian dekat maka mereka menukilkannya sebagai hokum Islam di satu sisi dan adat Aceh di sisilain, keduanya senantiasa menyatu dan tak boleh dipisahkan sampai kapan pun. Hadih Maja (pepatah Aceh yang mengandung makna hukum) mengisyaratkan suasana ini sebagai Hukôm ngön adat lagèè zat ngön sifeute (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat)
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam pertama bertapak adalah di Perlak (sekarang Peureulak) Aceh Timur. Dari sinilah Islam dan kebudayaan Islam itu bermula serta menyebar ke seluruh tanah melayu dengan berbagai aktivitas yang dijalankan ummatnya. Masyarakat Aceh pada masa itu dengan mudah sahaja dapat menerima dan menyatu dengan Islam serta budaya yang dibawa Islam itu sendiri. Keadaan ini sangatlah berbeda dengan kondisi dan situasi masyarakat pulau Jawa yang lebih memilih Hindu dan lari ke pulau Bali ketika Islam dibawa Falatehan dari Pasai ke sana. Sampai sekarang keadaan orang jawa masih sangat terikat dengan kebudayaan Hindu dan Jawanya. Inilah yang membuat seorang perwira muda Republik Islam Aceh (RIA) S.S Djuangga Batubara menyayangkan :”Adalah sangat menyedihkan kiranya bagi orang Islam Jawa, ikatan darah Jawa lebih kental daripada ikatan Islam”. Apabila berhadapan antara Islam dengan Jawa, mereka tetap memilih Jawa dan meninggalkan Islam, seperti kasus penerimaan azas tunggal Pancasila sebagai pengganti Islam di masa Orde Baru pimpinan Soeharto. Penolakan B.J. Habibie yang bukan Jawa yang terkenal dekat dengan Islam coba maju untuk menjadi Presiden RI ketiga, maka ramai-ramai orang Jawa mengganjalnya dengan menolak pertanggung jawabannya sebagai presiden pengganti Soeharto. Sebaliknya orang-orang Jawa tersebut berlomba-lomba mempersiapkan Abdurrahman Wahid yang sekuler dan plin plan lagi buta menjadi presiden RI keempat. Selanjutnya ketika berhadapan antara Hamzah Haz dengan Megawati Soekarnoputri dalam rangka merebut kursi wakil presiden, maka semua orang Jawa di MPR termasuk Amin Rais menggalang kekuatan untuk memilih Megawati dan membiarkan Hamzah Haz karena Mega orang Jawa dah Hamzah orang Kalimantan. Dan terakhir Golkarnya Jawa lebih ikhlas memperjuangkan Sosilo Bambang Yudoyono yang Partai Demokrat sebagai Presiden dengan menempatkan Yusuf Kalla sebagai Wapres karena bukan Jawa walaupun GOLKAR. Kondisi seumpama ini masih banyak terjadi dalam persoalan dan tempat yang berbeda.
Akulturasi budaya di Indonesia yang
menyebabkan banyaknya aliran agama yang timbul. Sebut saja perbedaan –
perbedaan yang kecil dalam puasa di agama Islam. Bisa jadi hal ini merupakan
produk budaya baru, hasil dari akulturasi budaya yang sudah ada. Bahkan bukan
saja berbentuk asimilasi, tetapi lebih rumit lagi. Menurut Yos Rizal dalam
artikelnya yang bartajuk
“Kesusastraan Islam Melayu dan
"kejawen" di Indonesia”, mengungkap Islam masa lampau. Beliau
menyebutkan bahwa jika ditilik ulang mengenai sejarah, maka sejarah datangnya
Islam pada abad ke- 13 masehi, atau mungkin sebelumnya, menunjukan bahwa agama
Islam yang tersiar di Indonesia adalah Islam yang mentradisi, yang telah surut
pemikirannya. Artinya Islam yang datang adalah Islam kelas dua, disiarkan dan
dikelola ulama-ulama kelas pengikut (tabi'); bukan kelas mujtahid.
Maka wajar hingga abad ini, dimana Islam telah menyebar selama berabad-abad di
Indonesia, belum bisa melahirkan seorang mujtahid ulung. Dan hingga kini
pendidikan Islam masih mengutamakan kuantitas, bukan kualitas.
Masih juga menurut Yos Rizal, salah satu
penyebab timbulnya hal ini dikarenakan, pegangan para ulama terdahulu Indonesia
adalah kitab-kitab sastra budaya ekspresif, yang irrasional, berdasarkan
perasaan, intuisi dan imajinasi. Sedangkan sastra budaya Islam (kitab-kitab
agama) yang bermuatan progresif dan ilmiah belum mendominasi pendidikan agama.
"Kejawen" yang merupakan sebuah
produk percampuran dari berbagai agama, sudah mentradisi dan melekat dalam
sebuah kepercayaan baru, khususnya bagi orang jawa, atau orang luar jawa yang
hidup di sekitar pulau jawa. "Kejawen" yang disebut oleh seorang ahli
antropologi Amerika Serikat , Clifford Geertz the religion of java
atau "Agami Jawi" ini bukan saja merupakan sebuah aliran kepercayaan,
namun khsusunya bagi orang jawa, "kejawen" merupakan gaya hidup dan
sebuah aturan norma yang sakral. Pada kenyataannya, "kejawen" ini
banyak bersinggungan dengan agama-agama, dan lebih melekat dengan budaya Islam.
Yakni berdasarkan pada percampuran Islam dan budaya "kejawen" yang
dianut oleh orang jawa. Hal ini memang melahirkan suatu budaya baru, yang
'mengeruhkan' budaya-budaya awal. Sehingga tidak dapat diketahui siapa yang
hitam dan siapa yang putih, karena "kejawen" berwarna abu-abu. Jadi
jikalau kita menghendaki warna yang hitam, maka salah satu dari 2 pilihan harus
kita hilangkan. Dan kejawen adalah pilihan warna ketiga yaitu abu-abu, dimana
kejawen adalah percampuran dari warna hitam dan putih.
Ada sebuah tulisan di mayapadaprana@yahoogoups.com tentunya dari internet, yang menyatakan bahwa KEJAWEN! Sekte ini juga
ISLAM, sering disebut sebagai "ISLAM KEJAWEN", terkadang hanya
disebut sebagai "Kejawen". Jika Sunny mempunyai 1 nabi yaitu
Muhammad, juga Syiah mempunyai satu nabi yaitu Hussain, berbeda dengan
Ahmadiah, mereka punya dua nabi yaitu Muhammad dan Ghulam Ahmad, maka KEJAWEN
MEMILIKI 10 NABI, yaitu: Muhammad dan 9 nabi lagi yang dinamakan Wali Songo. Dizaman
sekarang Walisongo memang tidaklah dianggap nabi, namun dimasa kehidupan
beliau, sebenarnya mereka merupakan nabi-nabi yang sejati meskipun dizaman
sekarang tidak diceritakan seperti demikian. Pernyataan diatas ditulis oleh Ny.
Muslim binti Muskitawati yang mungkin kecewa dengan sikap kita terhadap
"kejawen". Akan tetapi terlepas dari beberapa hal diatas,
"kejawen" tetaplah "kejawen", bukan merupakan Islam atau
bagian dari Islam.
Ada lagi pendapat dari tokoh Islam Kejawen
Bojonegoro,Soenarjo dalam dialog intraktif tentang Islam Kejawen seusai
pelantikan PR IPNU dan IPPNU Gunungsari masa khidmat 2007-2008 di Balai Desa
Gunungsari. Beliau menyatakan bahwa "Nenek moyang menilai budaya Indonesia
beragam. Sehingga perlu ada akulturasi agar Islam dapat diterima masyarakat
Jawa”. Islam kejawen juga merupakan Islam percampuran antara Islam dan adat
istiadat Jawa. Dalam "Islam kejawen" tokoh yang menjadi rujukan
adalah Sunan Kalijaga. Oleh karena itu, masih menurut Soenarjo, Sunan Kalijaga
dijadikan rujukan "Islam Kejawen" karena dinilai mampu membaca alam
semesta secara benar. Dalam ajaran Jawa, memang menekankan anjuran mempelajari
alam semesta. Selain itu, juga menekankan aspek perilaku. "Yakni, lelakon
yang harus dilakukan manusia, bukan hanya tekstual, "tambah lulusan STAI
Sunan Giri Bojonegoro ini. Karena itu, dia menganjurkan generasi muda untuk
mendalami nilai-nilai Jawa yang bermuatan filosofis dan berguna sebagai pedoman
hidup.(Sumber:Radar Bojonegoro).
Saat ini, jika pertanyaan yang diajukan
adalah mengapa ada "kejawen" di Indonesia, kiranya paparan diatas
sudah ikut melengkapi jawaban-jawaban yang akan hadir. Namun jika pertanyaan
yang diajukan adalah, benarkan aliran "kejawen" ini? Maka, jawaban
benar ataupun salah dapat kita cerna sendiri, salah satunya dari paparan di
atas.
”Menungsa urip teng dunya niku mboten nyantri
nggih nyandi.” Peryataan ini berarti bahwa manusia hidup di alam ini terbagi
menjadi dua, yaitu ”nyantri” dan ”nyandi”. Dua istilah ini di gunakan untuk
memilah antara kelompok yang notabene muslim dengan pengalaman rukun islamnya
yang lima secara utuh, yang sering mereka sebut dengan islam lima waktu, dan
kelompok muslim yang pengamalan rukun islamnya hanya tiga ( syahadat, puasa,
dan zakat ) tanpa melakukan shalat lima waktu. ”Nyandi” berarti poros
keyakinannya mendasarkan pada punden,yaitu tempat-tempat suci. Tempat yang
paling dianggap suci adalah makam Kyai Bonokeling.
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme ) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang, yaiyu Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama islam. Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam. Meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi-tradisi Jawa asli sehingga dapat dikayakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at,dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam. Dikalangan para peniliti, istilah aliran kepercayaan. Adapun Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islami Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial-agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varia, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Islam Jawi atau Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hind-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sama dengan agama Islam.
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme ) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang, yaiyu Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama islam. Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam. Meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi-tradisi Jawa asli sehingga dapat dikayakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at,dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam. Dikalangan para peniliti, istilah aliran kepercayaan. Adapun Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islami Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial-agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varia, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Islam Jawi atau Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hind-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sama dengan agama Islam.
Buku ini mengajak Anda membedah anatomi Islam
Kejawen, lengkap dengan filosofi, sistem kenyakinan dan ritual yang dilakukan.
Dengan membaca buku ini, Anda akan memiliki perspektif yang lebih luas tentang
pluralitas keyakinan manusi Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, dan menjadi
cermin bening seberapa mendalam religiositas kita masing-masing, guna
menghadapi zaman yang semakin memateri ini.
BAB III
SENI, BUDAYA INDONESIA, DAN PERKEMBANGAN IPTEK DALAM PANDANGAN ISLAM
Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang
tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan
yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula
yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali
membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan
kita sehari-hari.
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) .
Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang
terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem
religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya
manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur
kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar
untuk berubah.
Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari
keseluruhan gagasan dan karya manusia.
Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam
sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam
sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit,
ia berproses dalam sejarah
Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam.
Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme,
dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk dari
kerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak
dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori
tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi
kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan
keleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.
Islam dan Kebudayaan
Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii).
Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat
alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk
menjelaskannya.
Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”.
Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang
kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang
diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal
budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan
kepada teori Kuntjaraningrat di atas.
Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah.
Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia
untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena
akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal.
Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
…maka insaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha
Besarnja Jang Ada itu. Maka menjerahlah
dia dengan segala rela hati. Penjerahan
jang demikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).
Lebih jauh
Syed Naquib Al-Attas menyatakan:
…Maka dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti
yang biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat
dikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnya
merupakan keagamaan belaka— bukan hasil
renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan
dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti kata
yang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi
Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan
dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan
amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang
sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan
timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan
sebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama
Islam(vi).
Sementara
Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:
Di Barat, agama
adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh
agama(vii).
Islam
bukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd Abu
Zayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.
Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup
yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh
karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam
bahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam li
al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di
atas, kita dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita.
Kita pun dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal
dari Islam pula.
Sebagai sebuah
kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena
keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai
ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya
manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata
lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama
adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak
mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat
partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang
sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak
akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama
dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah
kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,
agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan
hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol
agama[2].
Agama dan kebudayaan
mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol
dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam
perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah
konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan
struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia
sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa
manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan
religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun
kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi
kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam
menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk
melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut,
sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji
memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama,
yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan
ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama
maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara
pandang dalam menyikapi orang yang meninggal [3].
Oleh karena itu,
biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama
memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi
kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni
tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi,
budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama
sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Epistemologi Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi
Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada
tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang
berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga,
tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan
masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses
mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari
akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan
timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru
agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan
untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian
memang tidak terhindarkan[4].
Pribumisasi Islam
telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud
dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik
dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan
antara agama dan budaya.
Pada konteks
selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan
konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam
Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam
setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap
wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur
Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama
mengalami historisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat
dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana
digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya
lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya,
dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan
dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan,
kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini
jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq
yang mulia[6].
‘Islam Pribumi’
sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama,
‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran
yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan
wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam
akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua,
‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai
ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi
dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga,
‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi
ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa
melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid
dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah,
‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk
pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan
identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi
kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7],
yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang
memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat
tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang
oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi
terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya
apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam.
Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi
sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan
Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek
bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini
berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam
Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam
memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi
Islam.
Ambillah contoh
misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak.
Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai
kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering
menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris
resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia
meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah
penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk
memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu
menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya
Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun
pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan
mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun
Kuntowijoyo[8]
menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara
keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang
dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor
kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang
diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo
kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu
membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan
sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang
dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse
untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm
masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai
pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang
komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai
kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam
pandangan Mark R. Woodward[9]
tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak
al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara
komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek
keagamaan lainnya.
Sistem-sistem
doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya
bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada
penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak
lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at
semikanonik [10].
Hadis dan syari’at
termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11]
mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang
pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau
apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat
menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial
keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke
Nabi[12].
Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya
prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang
bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk
pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi
inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis
dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting
kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda
dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa
salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan
kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak
mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak
terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh
karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis
dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam
enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an,
merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur
hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi
tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya
prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan
tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan
menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk
skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad).
Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama
pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran
penafsiran.
Sama halnya dengan
peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14]
melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab
tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi
Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an,
(2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 :
68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an
atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku
keagamaan dan sosial.
Karakter syari’at
bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip
penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas
dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema
yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.[15]
Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan
dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa
(javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan
dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa
bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong
berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang
tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang
paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang
menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi
seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang
mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi
historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam
ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap
dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah
demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan
ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir
itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.
Dakwah dan Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba
mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan
pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang
dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia
tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama
Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan
keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan
nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau
idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat
setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab,
sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi
nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang
mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di
Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama
seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di
kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang
nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja
dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha),
dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab
pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi
Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi
Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan
gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan
seterusnya.[16]
Berbeda dengan
agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu
yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk
bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai
Islam).
Dapat kita lihat,
masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur
lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap
warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa
stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan
demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah
(Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk
memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan
halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen
setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa
dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam
karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam
racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan”
yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga
misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir,
tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan
memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang
lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di
Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena
orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan
hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di
masa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas,
dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat
dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk
Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya
lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan
mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit
keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang
yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang
Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau
ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara
agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di
Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur
yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah
Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali
untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara
penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten.
Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan
dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan
budaya Jawa
Wujud dakwah dalam
Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu
sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori
budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi,[18]
sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur
itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat,
bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan
kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan
mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat
hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan
ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan
pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu
rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan
berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya,
bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif–
digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan
ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan
melukiskan gejala (ideografik). [19]
Dengan demikian,
mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya
dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu
dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas
asal makna masih sama.
Demikian pula dengan
ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan.
Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol
pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna
’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas
pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai
syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan
imanen.
Dengan kata lain high
tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin
ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang
niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi
tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub
ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang
dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol
kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan
Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak
dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak
menikmati agamanya.
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri
bahwa masuknya Islam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan
jalur-jalur kultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para
saudagar Arab dan Gujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di
wilayah-wilayah pesisir Nusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen
sejarah membuktikan bahwa pada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah
nusantara ini. Bahkan diasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara
kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan
Tiongkok telah terjalin dengan baik. Meskipun secara pelan, justru para
penyebar Islam itu tidak memiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu
ekspansi politik. Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan
terjadinya perebutan suatu wilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan
seperti yang terjadi di Timur Tengah.
Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik
dengan tradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan
ajaran serta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke
pusat-pusat kekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat
dekat dengan raja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah
mengantarkan Walisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya.
Islam telah merambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh
Nusantara. Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya.
Islam nyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog,
forum pengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya
lainnya, yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai
menumpahkan darah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak,
tepatnya di daerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan
penguasaan wilayah itu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan
momentumnya menjadi sebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit.
Seketika itu juga Walisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V
menjadi rajanya. Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah
kerajaan Islam pertama di Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu
benar-benar menjadi kekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam,
Timur Tengah. Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang
cukup penting, tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan
Islam yang kemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya.
Benar, pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak
ditemukan data sejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau
menerapkan syari?at Islam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk
direnungkan, kenapa bukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden
Fatah yang masih memiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya
Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus
diperjuangkan secara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk
menjalankan perilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca
bagaimana bentuk kerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses
saling mengambil, belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi
budayanya. Para walisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk
keberagamaan bagi rakyat dengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya
saat itu. Munculnya kasus Siti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks
penyelarasan yang memang saat itu sangat penting bagi komunitas muslim yang
masih baru terbentuk. Proses penyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun
penekanannya lebih pada kesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi
masyarakat yang berbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan
strategi akomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi
proses-proses inkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di
Samudera Pasai, Sumatera dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di
Sumatera memiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat.
Proses akomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan
toleransi yang dikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang
terjadi lebih disebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali
lagi, tidak ada dokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara
paksa dengan kekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di
Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya.
Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu.
Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru'
dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan
Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru
beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan
jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan
arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih
toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa,
demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol
budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah
disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua
unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya,
sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh
arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai
bercokol di bumi Nusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis
bagi mereka. Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan,
kekerasan dan penguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan
perlawanan. Namun, dalam konteks penyebaran Islam tetap melakukan
proses-proses inkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya
yang ada di bumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi
perkembangan Islam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis
menyikapi para kolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu
kerajaan di Nusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa
masyarakat Islam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis
kemudian mengarah ke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi
keberagamaan Muhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak
kolonialis yang telah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika
terjadi perdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan
syari?at Islam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian)
Islam dan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harus
menyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum
1945 yang didirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalu
mengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yang
ingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakan
dan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidak
perlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam
padam. Sejarah mencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di
berbagai daerah di Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka
kembali ketika arus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap
komunitas Islam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan
Islam di Indonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an
kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas
menunjukkan bahwa pandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai
fenomen modernitas paling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari
bentuk Islam melainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan
sebagai alternatif dari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling
siginifikan antara modernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah
apakah masing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu
dalam konteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan
yang esensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan
tuntutan orang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahan
pernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dan
kepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagi
berlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran
yang penting sebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren
adalah salah satu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat
kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur,
sebuah kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya
sendiri sebagai bagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada
umumnya di pedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam)
tradisional, maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang
secukupnya. Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang
diperhitungkan karena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan
bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok
tradisionalis yang cukup banyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan
kekuatan tradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala
kemodernan. Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam Ahlusunnah
Waljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompok
Islam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan keras
menyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yang
dilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihak
memberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan di
lain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan
bahwa seolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yang
represif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untuk
memilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung di
bawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harus
mengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatif
untuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntut
kemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyata
memiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU.
Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apa
yang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruh
ekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasi
apapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU lebih
mengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisi
lain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para
ulama tradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus
menerus oleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda
melakukan represi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara
kalangan Islam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek
keagamaan. Semua ini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat
luas, yaitu kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik,
serta kegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat
maupun dalam pertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti
oleh sebagian besar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam
modernis dan Islam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam
yang sedang hangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional
sehubungan dengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa
Kemalis Republik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi
Islam untuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan
bahkan pengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal
yang juga dipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama
mayoritas di Indonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang
penetrasi budaya yang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di
dalamnya antara doktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan
tata nilai lokal yang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama
nabi Muhammad tersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang
penampakan historisnya pada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh
gaya dan corak kehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami
ekskelektisasi kultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai
agama masyarakat Indonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di
Indonesia? maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis
keras telah mewarnai halaman sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar
jihad dan dalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring
wajah Islam di Indonesia menjadi garang dan radikal. Sehingga banyak
kalangan menyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia.
Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendung
fenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang
secara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an
dan Hadis sebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa
masalah ketika terbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab
sendiri dan bangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup
bervariasi. Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
Persebaran Islam telah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah
yang panjang sehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan
demikian, variasi keberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami
dan menafsirkan teks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam
historisitas peradaban Islam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang
inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak
disertai dengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi
(keberbedaan) selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta
sosial ini ternyata juga sangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan
persebaran tradisi kultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya,
pandangan universalisme Islam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya
sesuai tradisi kultural Arab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud
untuk diterima tradisi kultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values)
yang menyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah
bahwa pesan yang dibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang
sama, Islam juga merupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah
Arab. Oleh karenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir
sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi
sehingga kemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal
adalah Islam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada
waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang
berkembang di sana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari
kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu
diyakini wahyu Tuhan yang universal, yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si
pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem
budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam komunitasnya.
Dengan demikian, memang justru kedua dimensi ini perlu disadari yang tidak
mungkin di satu sisi Islam sebagai universal, sebagai kritik terhadap budaya
lokal, dan kemudian budaya lokal sebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk
di dalam memahami dan menerapkan Islam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam
bisa dipahami di dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.?
Sehingga klaim standarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada,
akan tetapi Islam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia
maupun Islam di Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa
karakteristiknya tentu sangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain
meskipun subtansialisnya sama. Karena tradisi merupakan domain Islam historis,
maka sejarah telah mengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu
dengan proses-p9roses pemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks
itu sehingga telah membentuk suatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa
dipertahankan atau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam
bentuknya yang ada, sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari
peraturan-peraturan hidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial
tertentu yang sudah ketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya.
Tetapi masih perlu ditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern
untuk memodifikasi syariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental
tanpa, pada kenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada
riwayat-riwayat hadis tradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka
tersebut. Namun riwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an
semenjak al Qur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia,
sebagai tafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh mana
riwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan dari
al-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkan
harapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yang
didukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang
serupa juga terjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup
menyeluruh yang dikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat
adanya cara yang berbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya
nada atau gaya yang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja
diasimilasikan dengan gaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral
sebagai sebuah budaya yang menyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas,
integritas budayanya sebagai suatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan
cara menelusuri semua ranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai
fondasi-fondasi yang tidak bisa ditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian
dijalani sebagai Islam, dalam hal-hal tertentu, malah melanggar integritas
kehidupan Islami: yakni, ia ternyata tidak konsisten dengan
prasangka-prasangka budaya yang lebih fundamental dari Islam, ketika Islam
telah dikembangkan; dan karena itu, mau tidak mau ia menimbulkan konflik yang
akan membutuhkan semacam resolusi psikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang
dari sudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalam
implikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi.
Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akan
pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satu
waktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam dan
pandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural,
atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengan
sendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu
menjadi semacam "penengah" di antara umat agama-agama lain dan
dituntut mampu mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan
kelompoknya sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup
sebagai tetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap
keberagamaan yang kritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung
nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society tampaknya harus
terus mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat
diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah
"laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan
kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis
kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa
kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh
perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini
demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa
memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas
dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks
sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam
beragama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini
pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik
masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama
pemerintahan Orde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat
melihat kecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama,
kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua,
kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untuk
menjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik
yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakat
dan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi
intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam
radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema
ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar",
yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam
dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur
masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang
modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi
politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan
sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak
ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan
politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun
nilai-nilai demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai
krisis tersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup,
membawa pengaruh munculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang
demokratis. Di antara harapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah
berdirinya partai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah
48 buah; dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagian
dari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegas
menggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masuk
dalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidak
mau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umat
secara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan
sendirinya menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu.
Memang hal ini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta
memberikan pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini
juga bisa membawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi
umatnya untuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem
dan budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih
tampak gejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh
para tokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini
ada kalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money
politics; dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang
untuk mengikuti partai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan
penyerangan fisik terhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi
dalil-dalil agama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai
tertentu adalah partai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan
berdosa, dan sebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak
memisahkan antara agama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk
memperjuangkan aspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran
Islam. Namun, seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan
tindakannya yang benar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang
tidak proporsional. Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan,
hal ini seharusnya hanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar
menunjukkan kemaslahatan dan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap
persoalan yang masih diperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable,
hanya untuk men-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun
masyarakat umum memegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang
terlibat dalam politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk
membudayakan etika politik ini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait
dengan pembinaan akhlak atau moralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka
seharusnya melakukan tugas: (a) tetap mendorong terciptanya persatuan dan
persaudaraan di antara warga negara, (b) menghindari upaya
"mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasi sikap mereka, (c) tidak
mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkan emosi dan agresivitas
massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agama ras dan antargolongan
(SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memang belum dewasa dalam
berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis. Tugas-tugas ini
akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujur dan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik
praktis tetap memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat,
sebagai perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa
melakukan tindakan politik meski dengan jalan non-politik (political action
in the non-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amr
ma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengan
komitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalam
melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang
berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteks
ini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madani
yang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan
paradigma perjuangan Islam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur
kultural, yang dalam bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker
(makelar budaya), di tengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah.
Garis perjuangan ulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik
di Tanah Air. Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik
praktis) dengan segala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar
kembali ke habitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau
makelar budaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi
sebagai kekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai
agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan
memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk
membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal
dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai
penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan,
menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat
memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil
society melalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap
pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama
sebagai agen penguatan civil society. Karena ciri pokok civil
society adalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan
tersedianya ruang publik yang bebas (a free public sphere). Civil
society memang diarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state
aotonomy) yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civil
society) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dan
kegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung.
Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaan
generasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat.
Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya dan
modalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang
berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung)
mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki
konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value)
dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan
tema-tema semaam itu, wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap
berbagai hal tanpa harus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep
langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif
dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu
sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh
karenanya, segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih
progresif dan visioner baik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia
banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga
seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam
kebudayaan populer di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak
mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah
kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu
juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu
pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah
istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya
tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di
Indonesia menafikan kenyataan historis dan kultural tersebut?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
agama Islam adalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih
di "langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi
ketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan
budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi
Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi
tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam
yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan
yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke
kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah
tidak ada relevansinya dengan Islam.
Nilai
Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan,
tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep,
keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku
mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus
diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya
dengan
apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia
berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia
merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.
Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan
kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu :
ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.
1.
Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas
benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi
pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep
dalam proses penilaian atas alam sekitar.
2.
Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau
kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan,
yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup.
Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju
disebut aspek progressip dari kebudayaan.
3.
Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan
kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
kekudusan
dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal
nilai
agama.
4.
Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal
nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-
sama
menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek
ekpressip
dari kebudayaan.
5.
Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
fikiranya,
norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia
mengenal nilai kuasa.
6.
Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta,
persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang
lain,
dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal
nilai solidaritas.
Enam nilai budaya itu
merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya
menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat.
Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan
menentukan "sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun
bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang
memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori
cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung
tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh
nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada
sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga
ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang
rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.
Budaya progressip akan mengembangkan
cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan
puncak dari budaya ekpressip bermuara
pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya
dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan
baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional,
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.
SENI DALAM PANDANGAN AJARAN ISLAM
Nilai dan makna seni
Formulasi
seni yang terungkap dalam bentuk yang nyata dan sangat inderawi, dalam
perspektif
masyarakat awam seringkali “hanya” dimasukkan dalam kategori menghibur,
dan
merupakan pelengkap dari sebuah sisi kehidupan sosial bermasyarakat. Artinya
bisa
ada dan
bisa tidak usah ada, bila dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan modern yang
sering diasosiasikan
dengan hal-hal yang harus efektif dan efisien, serta jauh dari pernikpernik
yang
identik dengan apa yang disebut dengan pemborosan. Bahkan, pernah suatu
saat pada
tahun 1997 di sebuah desa di Eretan Pamanukan, seorang kuwu dengan bangga
menyatakan
bahwa di wilayahnya tak lagi ada kesenian. Di sini sang kuwu mencoba
menerjemahkan
slogan “efektif dan efisien” dengan tak memberi kesempatan adanya
sebuah
kehidupan kesenian di wilayahnya. Kita semua tahu bahwa tahun itu adalah awal
dari
krisis multidimensi di mana soal perut menjadi “satu-satunya“ prioritas
pemecahan
masalah
yang kemudian berdampak besar pada munculnya sikap ironis dari seorang
kuwu di
atas.
Hal di
atas tidaklah seutuhnya bisa dipersalahkan. Bahkan di masyarakat modern
sekalipun,
di Amerika misalnya, ada seorang teman yang tidak mau dititipi televisi di
rumahnya
sekaitan dengan alasan yang sama, yaitu efisiensi waktu. Ia tak bisa produktif
menulis
novel, yang notabene juga karya seni, karena waktunya akan banyak tersita
untuk
nongkrong di depan televisi menikmati karya-karya film mutakhir yang ditawarkan
agendanya
oleh sang pemilik televisi. Di sini karya seni memang berkaitan dengan waktu
luang yang
harus disediakan oleh seseorang untuk menikmatinya, dan bagi masyarakat
tradisional
tertentu, waktu luang yang dalam perspektif mereka kadang juga disebut
dengan
waktu sakral, memang kemudian ditetapkan justru untuk kebutuhan terlaksananya
sebuah
peristiwa seni.
Kebutuhan
akan terselenggaranya sebuah peristiwa seni/kesenian memang sangat
beragam
seiring dengan keragaman bentuk seni tersebut. Bahkan dalam kehidupan
sehari-hari
pun kita sudah didera dengan tampilan pop art yang mengejawantah dalam
berbagai billboard
iklan yang terserak di mana-mana. Ambil contoh penciptaan citra
tentang
produk minuman Coca Cola yang maknanya kemudian berkembang berlipat-lipat
dalam
berbagai perspektif kritis serta merujuk pada permasalahan keremajaan,
hedonisme,
Amerika, modernitas, imperialisme kultural, dsb. (Berger, 2006: 49).
Kekuatan
makna citrawi dari produk tersebut ternyata sangat berpengaruh pada gaya
hidup
remaja kota yang tak jauh dari pernik-pernik ubarampe kegiatan yang kemudian
menjadi
inheren dengan pencitraan produk tersebut.
Representasi
citrawi yang terjadi pun juga beragam pula; dewasa ini ada
kecenderungan
dunia ipteks mendominasinya menjadi dunia representasi konseptual dan
abstrak
atas realitas. Realitas yang kompleks yang amorf diformulasikan dalam sebuah
fenomena
hiperelis yang memukau; sebuah copy lebih indah dari aslinya. Seni, yang
memang
merupakan produk persentuhan pengalaman pribadi seorang seniman dengan
realitas
kehidupan di sekitarnya, bisa mengalamai transformasi nilai dan makna melalui
sebuah
proses baru yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu
bagaimana dengan
dinamika komunal yang masih kental dengan ekspresi kolektif di
masa lalu.
Di sinilah uniknya. Masih banyak bentuk formulasi seni yang belum disentuh
baik dalam
jelajah perwilayahan tertentu yang bersifat khas maupun dalam spesifikasi
wilayah
yang ditengarai oleh keterbukaan kontak ruang antar etnis, baik sebelum maupun
sesudah
adanya realita deteritorialisasi, h realita yang menafikan keterbatasan ruang
dan
waktu
dalam dunia virtual.
Pandangan Islam Tentang Seni
Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam tentang seni? Seni merupakan ekspresi
keindahan. Dan keindahan menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada
penciptaan jagat raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia
memandang seluruh jagat raya dengan segala keserasian dan keindahannya. Allah
berfirman:
“Maka
apakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?”
[QS 50: 6].
Allah juga mengajak manusia untuk melihat
dari perspektif keindahan, bagaimana buah-buahan yang menggantung di pohon dan
bagaimana pula buah-buahan itu dimatangkan. Jika manusia memerhatikan dan
menikmati dengan pandangan yang indah, saat arak-arakan binatang ternak saat
masuk ke kandang, juga saat dilepaskan ke tempat penggembalaan, sesungguhnya
pada peristiwa itu ada unsur keindahannya.
Ajakan-ajakan kepada manusia tersebut
menunjukkan, pada dasarnya manusia dianugerahi
Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakan fitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untuk melakukan kegiatan berkesenian.
Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakan fitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untuk melakukan kegiatan berkesenian.
Nabi Muhammad Saw sangat menghargai
keindahan. Suatu ketika dikisahkan, Nabi menerima hadiah berupa pakaian yang
bersulam benang emas, lalu beliau mengenakannya dan kemudian naik ke mimbar.
Namun tanpa menyampaikan sesuatu apapun, Beliau turun kembali. Para sahabat
sedemikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Nabi
Saw bersabda:
“Apakah
kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah
melihat pakaian yang lebih indah dari ini.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya
saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.”
[M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an].
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga
menuliskan bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan
kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya
telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
Kehati-hatian dalam Seni
Kalau memang demikian pandangan Islam
tentang seni, mengapa pada masa awal perkembangan Islam [zaman Nabi Saw dan
para sahabatnya], belum tampak jelas ekspresi kaum muslim terhadap kesenian.
Bahkan, terasa adanya banyak pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan
seni? Menurut Sayyid Quthb, pada masa itu, kaum muslim masih dalam tahap
penghayatan nilai-nilai Islam dan memfokuskan pada pembersihan gagasan-gagasan
jahiliyah yang sudah meresap dalam jiwa masyarakat sejak lama. Sedangkan sebuah
karya seni lahir dari interaksi seseorang atau masyarakat dengan suatu gagasan,
menghayati dengan sempurna sampai menyatu dengan jiwanya. Karena itu, belum
banyak karya seni yang tercipta pada masa awal perkembangan Islam itu.
Pembatasan-pembatasan terhadap kesenian
karena adanya sikap kehati-hatian dari kaum Muslim. Kehatihatian itu
dimaksudkan agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam yang menjadi titik perhatian pada waktu itu. M Quraish
Shihab menjelaskan bahwa Umar Ibnul Khaththab, khalifah kedua, pernah berkata,
“Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir
terjerumus ke dalam haram [riba].” Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga
dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian
[Wawasan Al-Qur’an].
Atas dasar kehati-hatian ini pulalah
hendaknya dipahami hadits-hadits yang melarang menggambar atau melukis dan
memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia,
memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai
luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan
dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salah
satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah
dalam bukunya Ma’âlim Al-Manhaj Al-Islâmi yang penerbitannya disponsori Dewan
Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-’Âlami lil
Fikr Al-Islâmi [International Institute for Islamic Thought].
Kesenian Islam baru berkembang dan
mencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara,
Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebut didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium,
India, Mongolia, dan Seljuk. Di
daerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilah
pertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragam
seni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya.
Dasar
Seni Islam
Seni
yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilah yang menjadi
pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. Titus Burckhardt,
seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islam sepanjang
ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuan ini bisa
jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya dari suatu
filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakini bahwa
hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur dari sejauh
mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta. Dengan
begitu, para seniman muslim memunyai makna dan tujuan seni yang luhur dan
sakral.
Apakah seni Islam harus berbicara tentang
Islam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab tidak. Kesenian Islam tak harus
berbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuran
berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seni
yang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indah
serta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepada
pertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran.
Seni
sebagai sarana untuk mengenal Islam
London –
Bukanlah sebuah kebetulan yang menggembirakan bahwa galeri seni Islam di Museum
Victoria dan
Albert yang baru diperbaharui dengan indah harus dibuka bulan lalu bertepatan
dengan saat Timur Tengah sekali lagi terbakar.
Biar bagaimanapun,
salah satu tujuan galeri tersebut adalah untuk mempertunjukkan kepada para
pengunjung yang sebagian besar orang Barat suatu gambaran yang berbeda dari
dunia Islam, gambaran yang begitu hidup tentang kecanggihan cita rasa
keindahannya yang begitu berbeda dengan gambaran umum keradikalan yang sering
ditampilkan dalam halaman muka berbagai harian.
Tentu saja, dengan
pemikiran seperti ini di kepala maka Mohammed Jameel, seorang Saudi kaya, mau
menanamkan uang sebesar $9,8 juta untuk menampilkan kembali koleksi Islami Victoria dan Albert
untuk pertama kalinya dalam setengah abad. Tempat pameran terletak di lantai
utama museum yang sekarang diberi nama Galeri Seni Islam Jameel untuk mengenang
orang tua sang dermawan.
Namun gejolak
politik di Israel, Gaza, Lebanon,
Irak dan seterusnya hanya menggarisbawahi tantangan penggunaan masa lalu untuk
menerangi masa kini. Dengan kata lain, dapatkah 400 benda seni yang telah
dipilih dengan hati-hati, beberapa di antaranya berasal dari abad ke-11 M,
memberikan kita pandangan yang baru tentang apa yang sedang terjadi di Timur
Tengah dewasa ini?
Pertanyaan tersebut
penting karena, terutama sejak 11/9, banyak museum di Eropa dan Amerika Serikat
yang mulai menyoroti berbagai koleksi dan pameran seni Islam sebagai cara untuk
mendorong pemahaman lebih besar dan menjembatani kesenjangan antara dunia
Yahudi-Kristen dan Muslim.
Di Eropa Barat,
strategi ini juga mengesankan pengakuan atas Islam, yang karena besarnya
imigrasi dari Afrika Utara, Turki, Pakistan, dan Bangladesh, sekarang juga
merupakan agama Eropa – dan karenanya penting baik bagi orang Eropa untuk
menunjukkan rasa hormat kepada budaya Islam dan bagi para imigran Muslim dan
anak keturunan mereka untuk berbangga dengan masa lalu mereka.
Tetapi apakah kita
berharap terlalu banyak dari seni, dengan memberikannya beban politik yang
begitu besar?
Namun buktinya,
kebudayaan selalu menjadi alat politik. Dan tidak terkecuali di Timur Tengah.
Seperti halnya ketergantungan seni Eropa kepada kerajaan dan gereja hingga masa
pencerahan kembali (Renaissance), seni Islam dari abad ketujuh hingga jatuhnya
Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I tidak dapat dipisahkan dari sistem
kekuasaan politik dan agama.
Bahkan dewasa ini, misalnya, Perancis tanpa malu-malu berusaha menarik perhatian negara-negara dunia ketiga dengan mendirikan Musée du Quai Branly yang bernilai $ 295 juta untuk seni rupa dari kebudayaan non-Barat. Dan, dengan sasaran umat Muslim di tanah air dan luar negeri, Louvre akan menghabiskan $ 60 juta untuk sebuah sayap bangunan baru yang ambisius, rencananya dibuka pada 2009, untuk menampung koleksi Islaminya.
Tujuan Victoria dan Albert lebih sederhana: untuk menceritakan seni Islami dengan cara yang ringkas dan dapat dicerna – tanpa merujuk ke masa ini. Namun pendekatan ini juga mengandung makna: dengan mengintip dari lubang kunci kesenian, kita dapat melihat sebuah dunia yang lebih kompleks dan halus daripada teokrasi-teokrasi yang kaku, yang menindas dan berpandangan sempit yang didukung oleh beberapa kelompok eksremis Muslim seperti sekarang.
Selama pembangunan Galeri Jameel, Victoria dan Albert menampilkan sebagian dari koleksi Islaminya di Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris bagian utara dalam sebuah pameran keliling bertajuk "Istana dan Masjid". Dan judul ini memberikan kerangka konseptual tentang pameran terbarunya di sini: melayani baik istana dan masjid, seni Islam mengambil bentuk sekuler sekaligus keagamaan.
Bahkan dewasa ini, misalnya, Perancis tanpa malu-malu berusaha menarik perhatian negara-negara dunia ketiga dengan mendirikan Musée du Quai Branly yang bernilai $ 295 juta untuk seni rupa dari kebudayaan non-Barat. Dan, dengan sasaran umat Muslim di tanah air dan luar negeri, Louvre akan menghabiskan $ 60 juta untuk sebuah sayap bangunan baru yang ambisius, rencananya dibuka pada 2009, untuk menampung koleksi Islaminya.
Tujuan Victoria dan Albert lebih sederhana: untuk menceritakan seni Islami dengan cara yang ringkas dan dapat dicerna – tanpa merujuk ke masa ini. Namun pendekatan ini juga mengandung makna: dengan mengintip dari lubang kunci kesenian, kita dapat melihat sebuah dunia yang lebih kompleks dan halus daripada teokrasi-teokrasi yang kaku, yang menindas dan berpandangan sempit yang didukung oleh beberapa kelompok eksremis Muslim seperti sekarang.
Selama pembangunan Galeri Jameel, Victoria dan Albert menampilkan sebagian dari koleksi Islaminya di Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris bagian utara dalam sebuah pameran keliling bertajuk "Istana dan Masjid". Dan judul ini memberikan kerangka konseptual tentang pameran terbarunya di sini: melayani baik istana dan masjid, seni Islam mengambil bentuk sekuler sekaligus keagamaan.
"Karakter
politik seni Islam bangkit karena, dengan ketiadaan pendeta, peran formatif
dalam pengembangannya jatuh kepada mereka yang secara politik berkedudukan
kuat," Tim Stanley, kurator senior koleksi Timur Tengah di Victoria dan
Albert, menulis dalam sebuah katalog yang menemani pameran "Istana dan
Masjid". Dengan kata lain, seni Islam selalu mencerminkan
kenyataan-kenyataan politik.
Variabel-variable
ini memasukkan dunia luar. Setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 A.D., seni
rupa Islam mewarisi dua tradisi artistik yang berbeda: Mereka yang memilih
Byzantium Kristen ke barat dan Kekaisaran Sassanian ke timur. Kemudian, seiring
dengan Kekaisaran Muslim baru menyapu barat hingga ke Spanyol dan, kemudian,
hingga ke Asia, ia menyerap berbagai pengaruh baru, khususnya dari Cina.
Namun demikian,
walaupun seni Islam mencerminkan tingkah rezim-rezim yang terus berganti, dari
zaman awal Khalifah Umayyad dan Abbasid hingga yang terakhir dinasti Safavid,
Qajar, dan Ottoman. Dan di sini, larangan Islam atas seni yang menampilkan
figur seseorang diterjemahkan secara berbeda.
Seni bernafas agama
menghormati aturan tersebut tanpa kecuali, dengan mengandalkan kutipan
kaligrafi dari Al Qur'an dan bentuk abstrak, sering kali bentuk geometris dan
ornamentasi. Tetapi seni sekuler, termasuk di dalamnya benda-benda yang
bermanfaat seperti permadani, vas keramik, peti gading, kendi kaca, dan metal,
sering menampilkan bentuk tanaman dan hewan. Beberapa penguasa Muslim bahkan
memesan potret mereka sendiri. Dan walaupun kaligrafi tetap penting, ia juga
menggunakan bait-baik puisi selain
ayat-ayat Al Qur'an.
ayat-ayat Al Qur'an.
Eklektisisme dengan
baik tergambarkan dalam pilihan kecil dari 10.000 koleksi benda seni Islam Victoria dan Albert.
Galeri Jameel sendiri telah dirancang dengan menampilkan permadani yang dikenal
dengan sebutan Ardabil, yang oleh museum
digambarkan sebagai "permadani tertua di dunia." Berukuran 36 kali 16
kaki, atau sekitar 11 kali 5 meter, dan terdiri atas 30 juta ikatan tangan,
permadani tersebut dibuat pada sektitar 1539-1540 M untuk Masjid Ardabil di
barat laut Iran.
Di masa lalu,
permadani tersebut tergantung secara vertikal dan sulit untuk dinikmati.
Sekarang, ia terbentang di tengah galeri dan diletakkan di dalam suatu bingkai
yang dibuat khusus dengan pencahayaan yang tepat. Sebagai permadani yang
digunakan untuk beribadat, rancangannya yang rumit dengan menggunakan 10 warna
tidak menampilkan figur apapun sama sekali. Sebaliknya, tergantung tidak jauh,
terdapat sehelai permadani yang dikenal sebagai permadani Chelsea, juga berasal
dari abad ke-16 M Persia, yang tampak hidup dengan bunga-bungaan, buah-buahan,
dan hewan, seperti membangkitkan kesan surga di bumi.
Yang lebih tidak terduga adalah sebuah jubah Kristen dari abad ke-17 M yang menggambarkan penyaliban, yang dibuat dalam gaya seni rupa Islam untuk digunakan oleh para pendeta Armenia yang hidup di kota Isfahan di Iran. Ini juga mengingatkan kita bahwa dunia Islam memiliki warga beragama Kristen dalam jumlah besar, demikian juga Yahudi.
Benda-benda lain tidak membutuhkan penjelasan untuk dikagumi: sebuah mangkuk batu kristal abad ke-11 M dari Mesir; sebuah lampu masjid tembikar Iznik abad ke-16 M dari Istanbul; sebuah mangkuk abad ke-15 M yang menggambarkan sebuah kapal Portugis yang sedang berlayar yang dibuat di Spanyol dengan menggunakan teknik pengilapan yang diciptakan di Irak berabad-abad sebelumnya; sebuah mimbar kayu setinggi 19 kaki yang dibuat pada akhir abad ke-15 M untuk sebuah masjid di Kairo.
Yang lebih tidak terduga adalah sebuah jubah Kristen dari abad ke-17 M yang menggambarkan penyaliban, yang dibuat dalam gaya seni rupa Islam untuk digunakan oleh para pendeta Armenia yang hidup di kota Isfahan di Iran. Ini juga mengingatkan kita bahwa dunia Islam memiliki warga beragama Kristen dalam jumlah besar, demikian juga Yahudi.
Benda-benda lain tidak membutuhkan penjelasan untuk dikagumi: sebuah mangkuk batu kristal abad ke-11 M dari Mesir; sebuah lampu masjid tembikar Iznik abad ke-16 M dari Istanbul; sebuah mangkuk abad ke-15 M yang menggambarkan sebuah kapal Portugis yang sedang berlayar yang dibuat di Spanyol dengan menggunakan teknik pengilapan yang diciptakan di Irak berabad-abad sebelumnya; sebuah mimbar kayu setinggi 19 kaki yang dibuat pada akhir abad ke-15 M untuk sebuah masjid di Kairo.
Relasi
antara Islam dan budaya
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi
alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan
manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana
yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) :
“ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar
kam menjadi susah “.
Artinya bahwa umat manusia yang
mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan
mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang
membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami
kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran
Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala
aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam
ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan
Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini
berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat
mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.
Arti dan
Hakekat Kebudayaan
Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah
pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan
dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan
adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan
kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan
kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat
kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan
kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan
sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan
Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan
Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek
moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga
mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan,
kematian )
Adapun aspek
bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat
dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing
arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan
( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan ,
perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan
Islam dan Budaya
Untuk
mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya,
kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia
cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia
untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk
selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli
kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik
ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan
karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan
filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya
sebagian ahli, seperti Pater Jan
Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa
tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama
merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan
ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan,
sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa
ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai
akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan
berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas
dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing
agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan
kemampuan yang ada.
Di sinilah, ,
bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku
keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari
kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci
tersebut.
Dari keterangan
di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang
berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok
pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata
lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat
ini diwakili oleh Hegel. Kelompok
kedua, yang di wakili oleh Pater Jan
Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama
sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan
bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat
manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja.
Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah
dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas
di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 :
“ (
Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan
keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain
menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat,
yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur
cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat ,
karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas,
merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam
suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik
dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan
pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang
terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik.
Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah
yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat
kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu,
selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran,
penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia
mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka
bumi ini.
Allah
telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya,
berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam
mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah
pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian
Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar
bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk
selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam
satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,
mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori
seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islam
terhadap Kebudayaan
Islam,
sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing
masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian
Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat,
akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini
jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat
di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing
kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan
berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip
semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari
situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama :
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah
fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “
artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi
yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu
syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus
diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk
hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar
hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah
antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah
antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar
kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah
menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan
seorang kafir.
Kedua :
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “
rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi
Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan
ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang
sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk
meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan
aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan
syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,
tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga:
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya
“ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat
yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang
meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat
Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat.
Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu
lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan
digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang
besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang
luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan
biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban
yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa
tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang
dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada
Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan
selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal
di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya,
karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada
kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan
derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia.
Dalam
hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab
hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada
tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang
telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini,
yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada
malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya,
maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah
mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia
secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi
dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “
apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
PERANAN
ISLAM DALAM PERKEMBANGAN IPTEK
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni
dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri,
komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Dengan
ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan
jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23
tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Spanyol) di abad XVI
perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar
penemuan benua Amerika oleh Columbus (?). Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2
minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada
1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk
mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang
naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke
Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja.
Subhanallah…
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek
berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat
manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan
Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia,
lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal.
Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan
kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995).
Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukan
dari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk
mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya
mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam
beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang
sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan
pada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara,
dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah
dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga
diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan
teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber
crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman
hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberi
tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya
mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam
dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini
bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi
tersebut.
Pengertian IPTEK
IPTEK merupakan
singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan
rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup
pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Lalu pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Sedangkan teknologi atau pertukangan memiliki
lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong
manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas
manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik. Kata teknologi
sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses
penemuan saintifik yang baru ditemukan. Akan tetapi, penemuan yang sangat lama seperti roda dapat disebut teknologi.
Peran Islam dalam perkembangan iptek
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada
dasarnya ada 2 (dua).
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai
paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat
Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah
fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi
Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi
standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan
Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya,
wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang
lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan
sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat
Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada
sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek,
didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam
boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya
jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat
Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Pandangan Islam terhadap IPTEK
Ahmad Y Samantho dalam makalahnya di ICAS Jakarta
(2004) mengatakan bahwa kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang
kini dipimpin oleh peradaban Barat satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak
orang di pelbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material
(fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat
banyak orang lalu mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa
dibarengi sikap kritis terhadap segala dampak negatif dan krisis
multidimensional yang diakibatkannya.
Peradaban Barat moderen dan postmodern saat ini
memang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolah
menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut
tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagi
sebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8)
saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam
negara lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan
militernya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaan
kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan.
Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi oleh
pandangan dunia dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagai
anak kandung filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telah
melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak
manusia baik di Barat maupun di Timur.
Krisis multidimensional terjadi akibat
perkembangan Iptek yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan
agama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa dan
kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang disebabkan
tingginya polusi industri di negara-negara maju; Kehancuran ekosistem laut dan
keracunan pada penduduk pantai akibat polusi yang diihasilkan oleh pertambangan
mineral emas, perak dan tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utara
dan di Freeport Papua, Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India, dll. Krisis
Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin,
terjadi akibat ketidakadilan dan ’penjajahan’ (neo-imperialisme) oleh
negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.
Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim,
saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara
terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai
perkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi. Karena nyatanya
saudara-saudara Muslim kita itu banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka
kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka
kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara
Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis
(’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi
informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan
kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim.
Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat
Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya
di masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya
sumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan
dan Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan
dunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara
80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa
makanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju.
Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan
sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan
BBM. Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan
tembaga serta kayu hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami
kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit
akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada
tanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia?
Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya
menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih
memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat.
Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan
moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah swt. Serta melawan
pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis
(mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu).
Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan.
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt hanya akan muncul bila diawali dengan
pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah swt dan terhadap
alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan,
Kekuasaan dan Keagungan-Nya.
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna
bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari,
mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan
kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang
melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ’matre’
dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk
menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah swt dan mengembang amanat
Khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada
kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin).
Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Quran yang mementingkan proses perenungan,
pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan
menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron
[3] : 190-191)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58]: 11 )
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan
ayat-ayat (atau tanda-tanda) ke-Mahakuasa-an dan Keagungan Allah swt. Ayat
tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti
kitab-kitab suci dan ajaran para Rasul Allah (Taurat, Zabur, Injil dan Al
Quran), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam),
keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata,
telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan,
pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha
Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam
Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin
yang sama. Keduanya saling
membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik
dan integratif.
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam
dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan
aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh
Rasulullah Saw.
Paradigma Islam inilah yang seharusnya
diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap
membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya
hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler
inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti
orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak
kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa
tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan
keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak
belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi.
Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang
ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan
paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan
seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti
konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi
maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok
ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya
(Al-Baghdadi, 1996: 12).
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai
landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan
seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun
ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan
ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs.
ath-Thalaq [65]: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau
hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa
matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16), bahwa langit
(bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta
dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat [41]: 11-12),
dan seterusnya. Ada
sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005:
113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi
segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa
konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
Jadi,
yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa
konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang
dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits.
Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya
sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus
sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan
al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan
al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja
Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme
sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi
organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti,
manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari
evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang
menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang
adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana
fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT:
“(Dialah
Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan
keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs. as-Sajdah [32]: 7).
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).
Implikasi
lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek,
dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari
sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit
di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia
yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya
memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya
adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem
administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi
yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan
syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
Syariah
Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran
kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus
dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah
Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga
bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Keharusan
tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek)
dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (Qs.
an-Nisaa` [4]: 65).
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya…[i/]” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).
Sabda
Rasulullah Saw:
“[i]Barangsiapa
yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan
itu tertolak.” [HR. Muslim].
Kontras
dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim
yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan
iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun
utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan
manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu
diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan
standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat
mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan
bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh
ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat
moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia
(berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi
alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan
seterusnya.
Karena
itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan
standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki
bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia.
Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara
praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah
Abasiyyah
Kekhilafahan
Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun 750-1517 M/132-923 H. Diawali
oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754) dan diakhiri Khalifah
al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang waku yang cukup panjang,
sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan pada dunia ketinggian
peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di
dunia Islam.
Di
era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang
mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang menemukan angka nol
dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika, Algoritma (logaritma). Ada
Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara untuk mengukur suhu udara.
Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena, pakar Medis Islam legendaris
dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi referensi ilmu kedokteran
para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni (973-1048) yang melakukan
pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh kesimpulan kalau bunga memiliki
3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7 atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihuni
oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah
pakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, di
negeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yang
disebar mencapai 10:1 sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat
2,5:1.
Kecanggihan teknologi masa ini juga
terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjid
Agung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yang
dibangun oleh khalifah al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang
dibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang
dibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilangan
ipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang sejarah Islam. Tapi jangan
khawatir, someday Islam akan kembali jaya dan tugas kita semua untuk
mewujudkannya.
Dinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncak
kejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam.
Tradisi keilmuan berkembang pesat.
Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang
ilmu pengetahun dan teknologi, kata Ketua Kajian Timur Tengah Universitas
Indonesia, Dr Muhammad Lutfi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid.
Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786.
Saat itu, kata Lutfi, banyak lahir tokoh
dunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunya
adalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengan
nama Avicenna.
Sebelum Islam datang, kata Luthfi, Eropa
berada dalam Abad Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu yang maju, bahkan lebih
percaya tahyul. Dalam bidang kedoteran, misalnya. Saat itu di Barat, jika ada
orang gila, mereka akan menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib.
Di atas luka tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ”Jika orang
tersebut berteriak kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momen
pertempuran orang gila itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang itu
menjadi gila karena kerasukan setan,” jelas Luthfi.
Pada saat itu tentara Islam juga berhasil
membuat senjata bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel besar pelontar batu atau
api. Ini membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Pada
abad ke-14, tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan
kebanggaan bagi masyarakat Arab.
Lain lagi pada masa pemerintahan dinasti
Usmaniyah — di Barat disebut Ottoman — yang kekuatan militernya berhasil
memperluas kekuasaan hingga ke Eropa, yaitu Wina hingga ke selatan Spanyol dan
Perancis. Kekuatan militer laut Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu,
apalagi mereka menguasai Laut Tengah.
Kejatuhan Islam ke tangan Barat dimulai
pada awal abad ke-18. Umat Islam mulai merasa tertinggal dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi setelah masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat
itu Napoleon masuk dengan membawa mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambah
tenaga ahli.
Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kota
Baghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawah
pimpinan Hulagu Khan. Di sisi
lain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah.
Salah langkah diambil saat mereka
mendukung Jerman dalam perang dunia pertama. Ketika Jerman kalah, secara
otomatis Turki menjadi negara yang kalah perang sehingga akhirnya wilayah
mereka dirampas Inggris dan Perancis.
Tanggal 3 Maret 1924, khilafah Islamiyah
resmi dihapus dari konstitusi Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi negara yang
secara konsisten menganut khilafah Islamiyah. Terjadi gerakan sekularisasi yang
dipelopori oleh Kemal At-Taturk, seorang Zionis Turki.
Kini 82 tahun berlalu, umat Muslim
tercerai berai. Akankah Islam kembali mengalami zaman keemasan seperti yang
terjadi di 700 tahun awal pemerintahannya?
Ketua MUI, KH Akhmad Kholil Ridwan
menyatakan optimismenya bahwa Islam akan kembali berjaya di muka bumi. Ridwan
menyebut saat ini merupakan momen kebangkitan Islam kembali. ”Seperti janji
Allah, 700 tahun pertama Islam berjaya, 700 tahun berikutnya Islam jatuh dan
sekarang tengah mengalami periode 700 tahun ketiga menuju kembalinya
kebangkitan Islam,” ujarnya.
Meskipun saat ini umat Islam banyak
ditekan, ujar Ridwan, semua upaya ini justru semakin memperkuat eksistensi
Islam. Ini sesuai janji Allah yang menyatakan bahwa meskipun begitu hebatnya
musuh menindas Islam namun hal ini bukannya akan melemahkan umat Islam.
”Ibaratnya paku, semakin ditekan, Islam akan semakin menancap dengan
kuat,”ujarnya.
Sementara itu, Luthfi menyatakan sistem
khilafah Islamiyah masih relevan diterapkan pada zaman sekarang ini asal
dimodifikasi. Ia mencontohkan konsep pemerintahan yang dianut Iran yang menjadi
modifikasi antara teokrasi (kekuasaan yang berpusat pada Tuhan) dan demokrasi
(yang berpusat pada masyarakat).
Di Iran, kekuasaan tertinggi tidak
dipegang parlemen atau presiden, melainkan oleh Ayatullah atau Imam, yang juga
memiliki Dewan Ahli dan Dewan Pengawas. Sistem pemerintahan Iran ini, menurut
Luthfi, merupakan tandingan sistem pemerintahan Barat. ”Tak heran kalau Amerika
Serikat sangat takut dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradaban
baru Islam.”
Konsep khilafah Islamiyah, kata Luthfi,
mengharuskan hanya ada satu pemerintahan Islami di dunia dan tidak
terpecah-belah berdasarkan negara atau etnis. ”Untuk mewujudkannya lagi saat
ini, sangat sulit,” kata dia.
Sementara Kholil Ridwan menjelaskan ada
tiga upaya konkret yang bisa dilakukan umat untuk mengembalikan kejayaan Islam
di masa lampau. Yang pertama adalah merapatkan barisan. Allah berfirman dalam
QS Ali Imran ayat 103 yang isinya “Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali
(agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”
Upaya lainnya adalah kembali kepada
tradisi keilmuan dalam agama Islam. Dalam Islam, jelasnya, ada dua jenis ilmu,
yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yang masuk golongan ilmu fardhu ‘ain
adalah Al-Quran, hadis, fikih, tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya.
Sedangkan yang masuk ilmu fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika,
psikologi, dan cabang sains lainnya.
Sementara upaya ketiga adalah dengan
mewujudkan sistem yang berdasarkan syariah Islam.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa
peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai
paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya
paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun
struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar
penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
(utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek.
Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh
umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada
umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya:
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf [7]: 96).
Wallahu a’lam
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA