Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » » METODOLOGI STUDI ISLAM

METODOLOGI STUDI ISLAM


A.      Pendahuluan
Pendidikan Islam bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values  tetapi merupakan aktivitas character building. (pembentukan karakter, kepribadian)  Tujuannya agar potensi yang dimiliki anak didik (potential capacity)  menjadi kemampuan nyata (actual ability)  dan tetap berada dalam posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief). Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira),  secara integrated, komprehensif dan. Integrated meliputi penajaman IQ,EQ dan SQ. Tujuannya adalah agar anak memiliki kualitas kognitif (pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang lebih baik  (taqwa, muttaqin).

B.       Hakikat Pendidikan Al-Islam
Pada hakikatnya Pendidikan al-Islam adalah proses bimbingan terhadap anak didik (santri, siswa, mahasiswa) untuk mengembangkan potensi (potential capasity) yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual ability) secara optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana keadaan ketika lahir.
Potensi yang dimiliki anak didik antara lain  Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ). Juga potensi bertuhan Allah dan potensi-potensi lainnya.

C.      Tujuan antara Pendidikan al-Islam
Aspek Kognitif : Agar  mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma yang benar (berfikir paradigmais).
Aspek Afektif : Agar anak didik mampu mengapresiasi al-Islam secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran al-Islam, mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran al-Islam sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya
Aspek psikomotor : Mampu mengamalkan al-Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir Pendidikan Agama adalah terwujudnya insan yang berperilaku Al-Qur'an, atau manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara integratif dan  komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat.

D.      Materi Pendidikan Al-Islam
Materi Aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)  seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat.
Aspek Syari’ah adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta  falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah terasa mempunyai makna.
Materi Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).

E.       Cara Mempelajari Islam
Pengetahuan terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti benar.  Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau alhaq, sedangkan pengetahuan yang salah atau  belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz, guru, dosen harus mengajarkan Islam Ilmu  bukan  Islam Persepsi. Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat, mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang.
Untuk memperoleh Islam ilmu,  manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan) yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan figur atau terikat dengan mayoritas. Lebih jelasnya  sbb :
 Pertama :  Dengan ilmu, bukan dengan kira-kira Al-Qur'an QS 17 : 36 :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
 Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

        Kedua :  Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya. 
  Ketiga:  Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur (QS. 2 :170) :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ  البقرة  170)
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170).
 Keempat :  Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ َ(31)
 Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. 6 : 61).

F.       Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam
Islam ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang tepat  akan mudah dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan al-Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.
· Sistimatis  : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya, terus ke mana dan bermuara di mana.
· Rasional : Gampang difahami, mampu menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak dogmatis.
· Objektif : Berdasarkan dalil, jelas rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.
· Komprehensif : Yakni menganalisis Islam dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan, antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis, Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
· Radikal : Sampai kepada kesimpulan, tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.

G.      Kedudukan Akal dalam memahami Al-Islam
Mengenai penggunaan akal / rasio  dalam memahami al-Islam, para tokoh pemikir Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Paling tidak ada empat corak :
·   Tokoh Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh sikap sosiologis,  cari aman.
·   Tokoh Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks. Para tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan teks Al-qur’an dan hadits apa adanya.
·   Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks Al-Qur’an dan hadits.
·   Tokoh Rasional Liberal : Tidak terikat teks. Analisis tehdapa ajaran islam yang dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumnetasi akal. Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social kesejarahan.
Dari sini kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan. Perbedaannya dapat dirinci sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini.

H.      Perbedaan Antara Faham Dan Aliran
Faham
Aliran

  1. Kata faham lebih berkonotasi kepada suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.

Kata aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.

  1. Tidak terorganisir, tidak memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur faham tersebut

Terorganisir : ada ketua, pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu
  1. Biasanya pengikut suatu faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian.
Biasanya para anggotanya tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis, tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth claim).

 Faham apapun sebenarnya merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting.
Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional.
Apabila ditelusuri jauh ke belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif.
Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”.
Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran filsafat Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena persoalannya akan melebar tidak fokus.
Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu.
Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadits yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat.
Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam.
Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



PERBEDAAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN
DALAM FILSAFAT DAN ILMU KALAM
Filsafat
Ilmu Kalam
  • Lebih menekankan dimensi keberagaman yang paling dalam-esoteris dan transendental.
  • Seringkali menekankan dimensi lahiriyah eksoteris dan final konkret.

  • Lebih menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran.
  • Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressif-keluar.

  • Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
  • Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql).
  • Lebih bercorak prophetic philosophy
  • Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
  • Lebih menekankan dimensi being religious.

  • Lebih menekankan dimensi having a religion.
Walaupun pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim.
Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah -- bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?
Kalau menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif – polemis.
Mungkin yang terbaik adalah yang bersifat sirkular,dalam arti karena masing masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
Pemikir Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat terikat dengan teks tanpa melihat konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadits nabi, mereka tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir yang berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.
Corak kedua adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan pendekatan rasio.
Corak ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny, baik hadits Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
Corak keempat adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Itu penilaian subjektif penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.

I.         Rasionalitas dalam Beragama
Dalam tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak boleh bertentangan.

Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat katagori ilmu yakni :
· Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
· Rational  Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya adalah  ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam katagori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika.
· Suprarational  Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar  ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat.
· Metarational  Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur, syurga neraka, dll. Sumbernya adalah Ruh.
Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap kurang rasional dipaksakan haraus rasional, maka terjadilah rasionalisasi al-Qur'an.
Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan :
  • Law Approach yakni pengamalan Islam sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram.
  • Love Aproach yakni lebih kepada target sempurna.
Beberapa istilah dalam studi Islam :
Terdapat beberapa termonologi yang peting difahami adalam memahami Islam yakni Islam Simbolik dan Islam Substantif, Islam Radikal, Islam Salafi, Islam Kontemporer,  dan Sunni- Syi'ah.
Diolah dari : Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, ( Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002 ) , hal. vii.
Ma]hab Empirisme kemudian berkembang ke arah Positivisme. Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial dianggap mencapai bentuknya secara definitif dengan kehadiran Aguste Comte (1798-1857) dengan grand - theory-nya yang digelar dalam kaya utamanya Courus de Philospphie Positive (1855). Comte menjelaskan bahwa tahap positive dicapai setelah manusia melampaui tahap theologik dan metafisik. Menurut madzhab Positivisme bahwa sesuatu benar dan nyata haruslah konkret, eksak, akurat dan memberi kemanfaatan. Dalam pandangan positivisme, Ilmu-ilmu kealaman memperoleh objektivitas yang khas semata-mata bersifat empiris – eksperimental. Filsafat Comte ini adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif- ilmiah.




DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999, hal.12.
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam", hal.8
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam, hal 18-19.
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakrta : Penerbit Paramadina, 2001), hal. xii-xiii.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996), hal. xii.


 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved