Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » » DAULAH UMAYAH

DAULAH UMAYAH


A.      PENDAHULUAN
Daulah Umayah adalah sebuah rezim pemerintahan Islam yang berada di bawah kekuasaan keluarga Umayah yang berlangsung dari tahun 661 M sampai dengan tahun 750 M. Pendiri dinasti ini adalah Muawiyah (661-680 M), putra Abu Sufyan yang pernah menentang Rasulullah SAW, tetapi kemudian masuk Islam setelah kota Mekah ditaklukkan oleh pasukan Islam dari Madinah. Pada mulanya, Muawiyah adalah gubernur Syria yang berkedudukan di Damaskus. Ia memberontak kepada khalifah Ali ibn Abi Thalib, hingga Ali wafat dibunuh oleh orang Khawarij. Pengikut Ali kemudian mengangkat Hasan , putra sulung Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah baru. Tetapi Hasan yang tidak ingin berkonfliik dengan Muawiyah, lalu mengikat perjanjian damai dengan pihak Muawiyah yang pada akhirnya Muawiyah menjadi penguasa tunggal masyarakat Muslim waktu itu. Keluarga Hasan hidup mengasingkan diri sebagai orang biasa, tetapi kaum Umayah terus memburunya dan pada akhirnya Hasan Wafat karena diracun.
Muawiyah ibn Abu Sufyan memindahkan ibu kota Negara dari Madinah ke Damasakus, Syria, tempat ia berkuasa tatkala menjadi gubernur. Ia juga mengganti sistem pemerintahan dari sistem demokrasi ke sistem pemerintahan monarki. Dia memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Byzantium. Kendati Muawiyah memperoleh kekuasaanya dengan cara arbitrasi yang curang dan melalui perang saudara di Shiffin pada tahun 657 M, tetapi ia memiliki karier dan prestasi politik yang menakjubkan. Keberhasilan Muawiyah mendirikan Daulah Umayah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunhnya khalifah Ali, tetapi juga karena sejak semula sudah memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan, yaitu dukungan kuat dari penduduk Syria dan dari keluarga Umayah sendiri. Disamping itu, Muawiyah juga seorang administrator ulung yang berhasil menempatkan tokoh-tokoh penting dalam posisi-posisi strategis.
Selama masa pemerintahan al-Khulafâur al-Râsyidûn, khalifah dipilih oleh para pemuka dan tokoh di Madinah, kemudian dilanjutkan dengan bai’at (sumpah setia) oleh seluruh pemuka Arab. Tradisi ini diubah oleh pemerintahan Daulah Umayah. Sejak Muawiyah mengambil alih kekuasaan dari Ali, Khalifah-khalifah Umayah mengistafetkan kekuasaanya dengan cara menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diperintahkan menyatakan sumpah setia di hadapan khalifah. Pada masa pemerintahan al-Khulafâur al-Râsyidûn, Baitul-mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat sehingga setiap orang memiliki hak yang sama atas Baitul-mal. Namun sejak Muawiyah mendirikan Daulah Umayah, Baitul-mal menjadi harta kekayaan keluarga khallifah. Seluruh Khlifah Dinasti Umayah, kecuali Umar ibn Abdul Aziz, memperlakukan Baitul-mal sebagai harta pribadi sehingga khalifah berhak menggunakanya sekehendak hati.
Perubahan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah tidak hanya terjadi dalam pengelolaan Baitul-mal, tetapi juga dalam sistem kekhalifahan dan administrasi pemerintahan lainnya yang berbeda dengan sisitem kekhalifahan pada masa al-Khulafâur al-Râsyidûn sebelumnya. Perubahan-perubahan yang dilakukan selama Dinasti Umayah tersebut serta keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Islam diyakini merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan Arab selanjutnya.

B.       PEMBAHASAN
I.                   DINASTI UMAYAH DAN PENCIPTAAN BUDAYA BARU
Muawiyah sebagai khalifah pertama Dinasti Umayah dipandang berhasil menciptakan budaya baru dalam sistem pemerintahan negara dan kehidupan beragama. Budaya baru yang diperkenalkan Muawiyah antara lain: membangun dinas pos termasuk penyediaan kuda dan perlengkapanya; mengangkat Qadli atau hakim sebagai profesi; memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengangkat senjata bila mereka berada dihadapanya; membuat “anjung” di dalam masjid tempatnya sembahyang, untuk menjaga keamanan dirinya dari serangan musuh-musuhnya ketika ia sedang sembahyang. Diteruskan kemudian oleh khalifah Abdul Malik dengan mencetak mata uang sendiri yang menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti uang Byzantium dan Persia; administrasi pemerintahan dibenahi; bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi pemerintahan.
Langkah ini dilanjutkan oleh putra Abdul Malik, Walid (705-715 M). Ia membangun panti-panti asuhan untuk orang-orang cacat; pekerja untuk membangun rumah-rumah dibayar sebagai pegawai; membangun infrastruktur, berupa jalan-jalan raya yang menghubungkan antar wilayah. Selain itu, Walid juga membangun gedung-gedung pemerintah, masjid-masjid, bahkan juga pabrik. Di masanya, masyarakat mencapai puncak kemakmuran.
Pada masa pemerintahan Walid ini, dilakukan ekspansi militer tentara muslim dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, Benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Al-Jazair dan Marokko dapat ditundukkan, Thariq bin Ziyad, pemimpin tentara muslim, dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq) dan ketika itu tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibukota Spanyol, Cardova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira, dan Toledo yang dijadikan sebagai ibukota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.
Pada masa Daulah Umayah ini, khalifah yang paling banyak dipuji adalah Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M). Ibunya adalah cucu dari Umar ibn Khattab. Ia lebih menekankan pembangunan moral dan sosial dibandingkan dengan pembangunan fisik. Ia menolak jika dipilih menjadi khalifah semata-mata karena dirinya anak khalifah. Ia bahkan merangkul musuh-musuh Daulah Umayah, termasuk kelompok Syi’ah, untuk memilih khalifah yang baru. Sampai kemudian semua sepakat untuk memilih Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah. Umar memberikan kebebasan beribadah kepada masyarakat dari semua kelompok agama. Pajak yang membebani masyarakat pun diperingan. Ia juga disukai orang-orang non-Arab atau ‘mawali’. Sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz, warga non-Arab dianggap sebagai “warga kelas dua”. Umar menyejajarkan bangsa apapun tanpa terkecuali.
Dalam kehidupan sehari-hari, Umar ibn Abdul Aziz mewarisi sikap kakek buyutnya, Umar ibn Khattab. Perbedaan antara keduanya sangat menonjol jika dilihat dari watak mereka. Umar ibn Khattab dikenal sebagai seorang yang berwatak keras, sedangkan Umar ibn Abdul Aziz mempunyai watak yang lembut. Kesederhanaannya akan selalu dikisahkan sepanjang sejarah. Diantaranya, ketika suatu malam dia bekerja di ruangan yang berpenerangan lampu, lalu putranya datang meminta izin utnuk bicara dengannya. Umar bertanya, pembicaraan itu untuk kepentingan Negara atau keluarga. Urusan keluarga, kata anaknya, Umar lalu mematikan lampu itu karena lampu tersebut dinyalakan dengan minyak yang dibiayai Negara. Sangat disayangkan, Umar tidak lama memimpin Negara. Tiga tahun setelah pengangkatannya kemudian ia wafat. Setelah khalifah Umar wafat, para khalifah setelahnya lebih banyak yang hidup bergelimang kemewahan; moralitas mereka jatuh; kepercayaan rakyat merosot tajam. Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik berusaha mengatasi hal itu. Namun, keadaan terlanjur tak terkendali. Pada tahun 750 M, setelah sekitar 90 tahun berkuasa, akhirnya Dinasti Umayah pun runtuh.
Dimasa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, tentara Umayah di bawah komando panglima Abdur Rohman bin Abdullah al-Ghafiqi, bergerak dari Spanyol menuju Prancis. Setelah melalui pegunungan Piranee, mereka menguasai Bordeau, Poitiers, dan hendak maju ke kota Tours. Di kota ini terjadi pertempuran yang menewaskan Al-Ghafiqi. Pada tahun 732 Masehi, Charles Martel mengalahkan kelompok kecil pasukan berkuda umat Islam Spanyol, tentara Islam pun akhirnya mundur kembali ke Spanyol.
Adalah sebuah kemustahilan untuk mempertahankan terus-menerus wilayah imperium Islam yang begitu luas. Apalagi rakyat kemudian kehilangan rasa hormatnya kepada khalifah. Pemberontakan terjadi di mana-mana. Pemberontakan yang terkuat adalah yang dilakukan oleh Abdullah Asy-Syafah, atau Abu Abbas. Ia keturunan Abbas ibn Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW. Ia disokong oleh keluarga Hasyim, keluarga yang terus berseteru dengan keluarga Umayah. Kalangan Syi’ah, para pendukung Ali, mendukung pula gerakan ini.

II.                KEHIDUPAN BUDAYA ARAB PADA MASA DINASTI UMAYAH
Selama masa pemerintahan Dinasti Umayah, dapatlah dicatat kemajuan yang dicapainya, terutama yang terkait dengan kehidupan budaya Arab secara dominan memberikan warna kepada budaya Arab-Islam di kemudian hari.
A.       Politik Pemerintahan
Di bidang pemerintahan, budaya Arab pada masa Dinasti Umayah mengalami perubahan dan kemajuan. Perubahan yang signifikan dan memiliki pengaruh besar di kemudian hari adalah diubahnya sistem pemerintahan demokrasi atau syura (musyawarah untuk memilih khalifah dengan sistem monarki, pembentukan dewan-dewan, penetapan pajak dan kharaj, sistem pemerintahan provinsial, dan kemajuan bidang militer. Pada masa dinasti ini juga dibentuk lima dewan di pusat pemerintahan, yaitu dewan militer (diwanul-jund), dewan keuangan (diwanul-kharaj), dewan surat-menyurat (diwanul-rasail), dewan pencapan (diwanul-khatam), dan dewan pos (diwanul-barid).
Kalau pada masa pemerintahan al-Khulafâur al-Râsyidûn, kekayaan Negara menjadi milik bersama umat, teatapi pada masa ini pajak negara dialihkan menjadi harta pribadi para khalifah. Pendapatan negara berasal dari pajak tanah, jizyah (pajak kepala) atas warga non-muslim, zakat, cukai dan pajak pembelian, upeti yang dibayar menurut perjanjian, seperlima harta rampasan perang , al-fa’i, impor tambahan hasil bumi, hadiah pada peristiwa festifal, dan upeti anak dari bangsa Barbar.
B.       Pengembangan Militer
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayah, perkembangan militer bangsa Arab telah mencapai kemajuan yang signifikan. Dalam peperangan dengan Byzantium, bangsa Arab sekaligus juga mempelajari kelebihan metode militer Romawi dan menggunakannya sebagai modal mereka. Para jenderal muslim, setelah menempuh perjalanan jauh, biasa mendirikan kemah seperti yang digunakan tentara Romawi. Kemah yang diperkuat ini pada akhirnya digunakan oleh seluruh Dinasti Umayah.
Perekrutan anggota tentara baru pun dilakukan di mana-mana, mulai dari Kufah, Basrah, hingga ke daerah barat. Di bawah pemerintahan Muawiyah, bangsa Arab telah memiliki tentara sejumlah 60.000 orang, dengan anggaran sebesar 60 juta dirham, yang masing-masing tentara memperoleh 1.000 dirham termasuk untuk jaminan.
Di bawah dinasti ini pula, pasukan infanteri dikembangkan sedemikian rupa, sehingga mereka mahir dalam menggunakan pelbagai persenjataan seperti tombak, busur panah, lembing, pedang bermata dua, dan perisai panjang. Mereka juga memakai helm untuk melindungi kepala, dan baju mereka terbuat dari kulit dengan beberapa lipatan untuk melindungi badan.
Ketika tentara Romawi menyerang pantai Syria pada tahun 669 M, pemerintahan Dinasti Umayah mulai menyadari pentingnya pengembangan angkatan laut. Untuk itulah, selain pabrik galangan kapal yang telah ada di Mesir, bangsa Arab juga mendirikan pabrik baru di Syria. Para ahli, pakar perencana, dan para tukang dipekerjakan untuk membangun kapal di Syria.
Pada akhir pemerintahan Dinasti Umayah, bangsa Arab telah memiliki suatu armada angkatan laut yang besar yang terdiri dari 1700 kapal perang. Ini dicapai berkat kepemilikan pabrik kapal di Mesir, Syria, dan Tunisia. Dengan kekuatannya itu, wajar apabila pasukan Arab berhasil melakukan penaklukan pulau-pulau dan kota-kota yang dipisahkan oleh laut.
C.       Kondisi Sosial
Pada masa Dinasti Umayah ini mulai dikenal stratifikasi sosial. Rakyat dari seluruh imperium Arab terbagi ke dalam empat macam golongan. Golongan pertama adalah golongan tertinggi, terdiri atas kaum muslim yang memegang kekuasaan, dikepalai oleh anggota-anggota istana dan kaum ningrat dari para penakluk Arab. Golongan kedua adalah golongan neomuslim (kaum muslim baru), yang dengan keyakinan sendiri atau terpaksa memeluk Islam dan secara teori memiliki hak-hak penuh dari kewargaan Islam. Golongan ketiga adalah anggota madzhab-madzhab, pemeluk agama-agama yang umum atau yang disebut dengan Dzimmi, yaitu kaum Kristen, Yahudi, dan Saba yang mengikat perjanjian dengan kaum muslim. Mereka memiliki kemerdekaan beragama dengan jalan membayar pajak tanah atau uang kepala. Golongan keempat adalah golongan budak-budak. Meskipun perlakuan terhadap para budak diperbaiki, tetapi dalam praktiknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.
Selama masa kekhalifahan Dinasti Umayah, kondisi sosial dalam keadaan damai dan adil, meskipun sistem pemerintahan berjalan tidak demokratis. Kendatipun bangsa Arab-Islam berkuasa di seluruh imperium, kehidupan muslim non-Arab tidak memilki kesulitan. Mereka hidup damai dan bersahabat dengan baik. Mereka menikmati hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan negara. Para Khalifah melindungi gereja, katerdal, candi, sinagog, dan tempat-tempat suci lainnya, bahkan semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan dana yang dikeluarkan dari kas negara.
Di samping kebebasan-kebebasan beragama, orang bukan Islam juga menikmati kebebasan peradilan, hakim, dan hukum. Mereka dibebaskan menggunakan yuridiksi mereka sebagaimana diatur oleh pimpinan agama mereka sendiri. Di bawah kekhalifahan Dinasti Umayah, Damaskus menjadi salah satu kota yang cantik di dunia dan menjadi pusat budaya dan pusat kerajaan Islam. Khalifah menghiasinya dengan bangunan-bangunan megah, air mancur, dan rumah-rumah yang menyenangkan. Para penguasa, kecuali Umar II, memnempuh kehidupan mewah dan penuh dengan kebesaran, dan mempertahankan standar istana menurut cara para kaisar. Muawiyah sendiri gemar mendengarkan cerita sejarah dan anekdot. Di samping melaksanakan fungsi keagamaan, para khalifah juga melaksanakan kekuasaan mahkamah tinggi. Para penguasa mendengarkan keluhan rakyatnya, baik secara pribadi maupun secara umum. Biasanya para khalifah duduk di atas singgasana di pengadilan terbuk, dikelilingi sebelah kanannya oleh para pangeran dan di sebelah kirinya oleh orang-orang terkemuka dan masyarakat umum.
Kehidupan pribadi para khalifah Dinasti Umayah juga tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan. Hampir semua khalifah mempunyai gundik dalam harem. Yazid II sangat mencintai dua gadis penyanyinya, salamah dan habibah, sehingga ketika Habibah meninggal karena tersumbat sebuah anggur yang dilembar khalifah ke dalam mulutnya ketika sedang bercanda. Khalifah yang tengah mabuk asmara itu sangat menyesal hingga meninggal dunia.
Di bawah kekuasaan Yazid I, penggunaan anggur menjadi sebuah tradisi. Penggunaan anggur yang terlalu banyak membuat Yazid I memperoleh gelar Yazid al-Khumur. Dia biasa minum tiap hari; sementara khalifah Walid I memuaskan dirinya dengan meminum anggur setiap dua hari sekali; Hisyam minum anggur sekali dalam satu minggu; dan Abdul Malik minum anggur satu kalii dalam satu bulan. Yazid II dan Walid II dikenal sebagai peminum berat. Pesta anggur biasanya dilakukan bersamaan dengan pesta musik. Permainan dadu dan kartu juga dipraktikkan dalam kerajaan. Balapan kuda sangat popular di bawah kekuasaan Daulah Umayah, musik dikembangkan dan sejumlah uang diberikan kepada para pemusik dan penyanyi. Kebiasaan menggigit wanita juga mulai masuk ke dalam budaya Arab, terutama sejak pemerintahan Walid II. Kaum wanita juga memperoleh tempat yang terhormat pada masa ini. Mereka dapat menikmati kebebasan di tengah masyarakat. Mereka juga amat berminat terhadap pendidikan bidang sastra.
Sejak pemerintahan Daulah Umayah juga mulai berkembang penggunaan serbet, sendok, dan garpu. Makanan disajikan dengan model dan pola makan di Barat. Hal tersebut mungkin merupakan dampak dari persentuhan antara budaya Arab-Islam dengan budaya Barat, terutama Spanyol.
D.       Kemajuan Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, Daulah Umayah memberikan andil yang cukup signifikan dalam pengembangan budaya Arab pada masa sesudahnya, terutama dalam pendidikan dan pengembangan ilmu-ilmu agama islam, sastra, dan filsafat.
Pada masa daulah ini, mulai dikembangkan cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya tidak diajarkan dalam sistem pendidikan Arab. Diajarkanlah cabang-cabang ilmu baru, seperti tata bahasa, sejarah, geografi, IPA, dan lain-lain. Meskipun demikian, perkembangan sistem pendidikan baru berlangsung pada paroh terakhir Daulah Umayah dan tidak pada awal dinasti ini. Badira, sebuah kota dekat Madinah, pada awalnya hanyalah merupakan tempat belajar dan berkumpulnya para murid untuk belajar bahasa Arab dan pembacaan sastra. Pada waktu itu, bila ada orang yang menguasai dan memiliki pengetahuan tentang bahasa ibu dan mengetahui bagaimana berenang dan menggunakan busur serta anak panah, maka orang itu dipandang sebagai orang terpelajar. Akan tetapi, sejak sistem pendidikan dikembangkan, kualifikasi “terpelajar” lambat laun berubah.
Karena tuntutan untuk mempelajari dan menafsirkan al-Qur’an, kedua jenis pengetahuan, yaitu filogi dan leksikografi mendapat perhatian dari banyak orang. Sejak saat itulah dikalangan masyarakat muslim Arab mulai berkembang dengan pesat ilmu tafsir dan tafsir itu sendiri.
Lebih dari itu, ilmu pengetahuan dan budaya Arab pada masa Daulah Umayah juga mengalami perkembangan yang pesat dalam lapangan ilmu-ilmu “umum”. Bahkan ilmu pengobatan mencapai puncak kesempurnaanya di Arabia pada masa dinasti ini. Khalid ibn Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu. Dia adalah orang pertama dalam Islam yang menerjemahkan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Umar II menyokong pengajaran dan orang-orang terpelajar, dan menurut suatu kabar, ia telah memindahkan sekolah kedokteran dari al-Exandria ke Antiokia. Di bawah pemerintahanya, banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Cucu Ali, yang bernama Imam Ja’far yang ahli dalam berbagai cabang ilmu adalah pendiri dari aliran filsafat dalam Islam. Hasan al-Bashri dan Wasil ibn ‘Atha, pendiri aliran Mu’tazilah, adalah murid Imam Ja’far yang terkenal.
Kendati perkembangan puisi dan musik mendapat tantangan dari kaum konservatif, yang menganggap musik dan nyanyian sebagai kesenangan-kesenangan yang dilarang agama, kemajuan puisi dan musik amat luar biasa, terutama di lingkungan istana.
E.        Keindahan Arsitektur
Peranan khalifah pada masa Dinasti Umayah terhadap pengembangan arsitektur Islam tampak menonjol. Perkembangan pesat terjadi terutama pada arsitektur religi (Hitti, 2001: 103). Para arsitek muslim Arab atau orang-orang yang mereka pakai, mengembangkan suatu bagan bangunan sederhana dan luhur, berdasarkan contoh-contoh yang sudah ada terlebih dahulu, tetapi mendapat inspirasi kuat dari pengalaman keberagamaan mereka.
Perkembangan arsitektur tidak lepas dari peranan khalifah. Para Khalifah Dinasti Umayah menyokong perkembangan saat ini. Menara, misalnya, diperkenalkan oleh Muawiyah. Kubah karang (Kubah as-Sakra) di Yerussalem yang didirikan oleh Abdul Malik pada tahun 691 M, merupakan salah satu contoh paling cantik dari hasil karya arsitektur muslim zaman permulaan. Bangunan ini merupakan masjid pertama yang ditutup dengan sebuah kubah.
Abdul Malik mendirikan masjid lain yang bernama Masjid al-Aqsha yang dibangun kembali oleh Daulah Abasiyah, Al-Manshur, pada sekitar awal abad VII, Walid ibn Abdul Malik mendirikan masjid agung di Syria yang diberi nama menurut nama Daulah Umayah. Perkembangan arsitektur religi, dengan demikian, mencapai puncaknya pada bentuk dan arsitektur masjid-masjid.

C.      PENUTUP
Muawiyah sebagai peletak pertama sistem pemerintahan monarki Islam, dengan Daulah Umayah sebagai rezimnya, dipandang telah mengenalkan sistem baru dalam pengelolaan Negara dan kehidupan beragama. Sistem baru yang diperkenalkan oleh Muawiyah mempunyai pengaruh penting dalam penciptaan tradisi baru dalam masyarakat dan budaya Arab. Budaya Arab pada masa dinasti Umayah berkembang terutama dipengaruhi oleh dua Faktor penting. Pertama, persentuhan antara budaya Arab-Muslim dengan budaya Eropa, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar di Spanyol. Dengan masuknya Islam di Eropa, budaya Arab muslim dapat bersentuhan langsung dengan budaya Eropa, terutama dalam gaya hidup, tradisi, filsafat, kedokteran, astronomi dan arsitektur.
Kedua , meskipun terdapat persentuhan langsung antara budaya Arab-Muslim dengan budaya Eropa, bangsa Arab tetap mampu mempertahankan tradisi dan budaya khas mereka, dan hal ini berlangsung hingga masa-masa akhir kekuasaan Daulah Abbasiyah. Arsitektur religi, puisi, sastra, dan seni musik khas Arab tetap dipertahankan dan mengalami perkembangan yang pesat.
Dengan demikian, betapapun sistem pemerintahan monarki yang dijalankan oleh para khalifah Daulah Umayah bersifat absolute-otoriter yang ternyata berbeda jauh dengan sistem pemerintahan sebelumnya (Al-Khulafâur al-Râsyidûn) yang demokratis-egaliter, pertumbuhan dan perkembangan budaya Arab pada masa dinasti ini cukup menonjol dan dapat mengantarkan kemasyhuran dinasti sesudahnya, Daulah Abbasiyah.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. 1995. Studi Sejarah Islam. Terj. Adang Sffandi. Jakarta: Binacipta.
Ali, Syed Ameer. 1978. Api Islam. Terj. H.B. Jassin. Jakarta: Bulan Bintang.
Armstrong, Karen. 2002. Islam: Sepintas Sejarah Islam. Terj. Ira Puspito Rini. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Hassan, Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang.
Hitti, Philip K. 2001. Dunia Arab: Sejarah Ringkas. Terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing. Yogyakarta: Sumur Bandung.
Maryam, Siti dkk. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di kawasan kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Syalabi, A. 1983. Sejarah Kebudayaan Islam. Jilid II. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Yahya, Mahayudin. 2001. Tamadun Islam. Sah Alam: Fajar Bakti.
Yatim, Badri. 1999. Sejarah Peradaban Islam. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
Minanur Rohman, Mahasiswa Fak. Adab, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.


 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved