Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » » TUKANG GALI KUBUR: BERHARAP SETIAP HARI ADA YANG MATI, DEMI NAFKAHI ANAK ISTRI

TUKANG GALI KUBUR: BERHARAP SETIAP HARI ADA YANG MATI, DEMI NAFKAHI ANAK ISTRI

 

BACANYA AGAK LAMA...MAAF,,SOBAT,CERITANYA TERLAMPAU PANJANG,,,

===MANKIND IS ONE===

Tak ada satupun manusia di dunia ini yang hidup dalam lingkaran kesempurnaan. Maka dalam setiap aspek kehidupan, kesulitan pasti akan datang tanpa pernah kita harapkan sebelumnya. Kehidupan selalu menyudutkan manusia pada dualisme: berjuang atau pasrah pada kesulitan hidup. Karena tidak semua manusia dapat bertahan dicekik kesulitan, tidak semua dapat mengikuti ritme kehidupan secara ikhlas.

Namun
yang patut diperhatikan adalah untuk sebagian orang cobaan itu dimaknai sebagai warna-warni kehidupan yang patut disyukuri. Karena didalam kesulitan itulah tersembunyi makna dan pelajaran hidup yang sebenarnya. Dalam kesulitan seperti apapun terkadang pula manusia mengorbankan tenaga bahkan logika demi membiarkan api cita-cita dari orang yang disayanginya tetap membara.
Dalam hal ini, saya akan mengangkat kisah seorang bapak penggali kubur. Seorang perantau yang berjuang di ibukota dengan bermodal profesi yang bisa dibilang minoritas. Namun ia bisa bertahan bahkan mampu menyelesaikan sekolah anaknya sampai tamat SMK. Begitulah ia memaknai hidup sebagai perjuangan demi orang yang dicintai.

Salim adalah namanya, pria berkulit gelap dan postur tubuh kecil yang tak ingat tanggal lahirnya ini berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah.
Ia dibesarkan dengan latar belakang keluarga petani singkong yang miskin. Untuk itulah ketika usianya beranjak dewasa ia bersikeras untuk mencoba peruntungannya dalam hal mencari nafkah di Ibukota. Dengan bermodal recehan rupiah dari sang ayah, Salim menuju Jakarta dengan menumpang sebuah truk barang.
Setibanya di Jakarta ia bukan tanpa tujuan, Salim berniat untuk ikut pamannya yang bekerja sebagai supir di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun apa lacur, karena keterbatasan keahlian, pekerjaan hanya memilih Salim sebagai kuli angkat barang di Pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Salim upah sebagai kuli angkat barang lebih baik daripada bertani di kampung.
Selama bekerja sebagai kuli angkat ia mengontrak rumah sepetak di daerah Sampur (sekarang sudah digusur dijadikan depo petikemas). Kemudian dia menikah dengan putri daerah (betawi) asal Marunda. Setelah menikah dan menjadi seorang kepala rumah tangga ia dikaruniai Dua orang putri dan seorang putra. Pada tahun 90’an ia berinisiatif untuk tidak lagi menjadi kuli dan beralih menjadi tukang becak. Alasannya adalah Salim merasa sudah tidak terlalu kuat lagi untuk mengangkat barang, apalagi ia harus bersaing dengan para kuli yang masih belia ditambah sudah banyaknya mesin-mesin angkut beroperasi. Salim merasa lumbung uang dipelabuhan semakin tidak menjanjikan untuk dia dan istrinya.
Keterbatasan skill dan modal membuat Salim tidak mungkin menjadi pegawai kantoran atau membuka toko. Dengan bermodal sedikit tabungan ia membuat gerobak angkut yang biasa disebut becak. Salim menganggap menjadi tukang becak akan mencukupi kebutuhan hidupnya. Alasannya adalah banyaknya gang-gang di daerah Tanjung Priok yang tidak terjangkau oleh angkutan umum, sementara untuk naik ojek mahal dan hanya dapat mengangkut satu orang penumpang saja.
Dua belas tahun Salim mengayuh becaknya demi mengepulnya asap dapur dirumah kontrakannya. Walaupun tanpa keahlian yang mumpuni Salim merasa itu bukan alasan untuk dia bermalas-malasan. Sepertinya kata “malas” sudah hilang dari kamus hidup Salim. Buat dia, keputusan untuk merantau adalah perjuangan. Walaupun tak seindah yang dia impikan, namun Salim masih berharap anak-anaknya kelak dapat melanjutkan mimpi Salim. Salim mengaku sangat menyayangi anaknya. Menurut Salim, andai ia tidak memiliki anak, mungkin ia sudah duduk dan bermalas-malasan. Hal romantis yang saya rasa adalah ketika pagi Salim mengantarkan anaknya kesekolah dengan becak. Buat Salim rasa lelah itu seketika hilang ketika melihat anak-anaknya belajar dan memiliki cita-cita.
“...Biarkan saya saja yang bodoh, hanya bisa menjadi kuli. Tapi yang penting anak-anak saya pada sekolah yang pinter. Biar tidak sengsara seperti bapaknya. Lelah tidak masalah, yang menjadi kebahagiaan orang tua adalah ketika melihat anak-anaknya sukses.”
Penghasilannya sebagai tukang becak memang tidak besar, namun menurut Salim bisa menambal kebutuhan hidup sehari-hari. Sejalan dengan itu, perlahan kehidupan Salim membaik. Ia sudah tidak mengontrak lagi, karena istrinya mendapat “jatah” tanah dari engkongnya di daerah Budi Darma. Walaupun tidak luas, namun cukup untuk Salim sekeluarga berteduh. Rumah semi permanen itu bertahan sampai sekarang dan menjadi saksi keluarga salim.
Namun hanya sekejap saja kegembiraan keluarga Salim. Suatu hari ia mendapati dirinya sudah terbaring di Rumah Sakit karena ia tertabrak truk dari belakang ketika sedang menarik becaknya. Ini adalah momen terburuk sepanjang masa hidupnya, ia menjadi korban tabrak lari. Ia mendapati kaki kirinya patah, sementara anak-anaknya masih sangat membutuhkan biaya. Sedikit rupiah yang ia tabungkan untuk biaya sekolah anaknya, ludes hanya untuk pengobatan. Selama 8 bulan Salim hanya bergantung pada sisa uang dan berhutang. Beruntung ia memiliki keluarga yang terdidik prihatin. Istrinya memulai usaha membuat kue cucur, dikala itu untungnya masih cukup untuk membeli beras dan sayur. Sementara anak-anaknya menjual es yang setiap hari dibawa kesekolah dengan termos kecil. Keadaan ini membuat Salim semakin tidak kuat hati. Salim merasa bukan tugas seorang bapak hanya diam di rumah mengeluhkan kakinya yang sakit. Kakinya yang sudah tidak mampu mengayuh becak. Hal itu sudah pernah dicoba Salim setelah kakinya mulai membaik. Namun kondisi kaki yang sudah panjang sebelah dan terasa nyeri apabila terlalu banyak bergerak membuat Salim berfikir dua kali untuk menjadi pawang becak lagi. Ingin berdagang tidak ada modal, menjadi kuli bangunan pun tak ada keahlian. Kondisi yang tidak memungkinkan ini, nyaris membuat Salim hendak membawa pulang anak istrinya kembali ke Jawa Tengah untuk bertani. Namun Suatu ketika ada tetangga yang menyarankan Salim untuk menjadi tukang gali kubur.
Pada awalnya Salim merasa enggan menjadi tukang gali kubur. Namun desakan ekonomi dan biaya sekolah anak memaksa Salim untuk bertindak. Bila diperhatikan, mungkin sudah nasibnya Salim menjadi penggali kubur, alasannya adalah rumah tempat ia tinggal berada disekitar pemakaman yang cukup terkenal di Jakarta Utara, TPU Budi Darma. Tak perlu ongkos, tak perlu banyak tenaga yang membuat kaki Salim nyeri untuk menjangkau lumbung uangnya yang baru. Setidaknya Salim tidak membutuhkan modal untuk memulainya. Hanya semangat, sebuah cangkul dan tangan yang masih kuat.

Menjadi tukang gali kubur memang bukan impian semua orang. Tidak ada seorangpun yang lahir dan bercita-cita menjadi tukang gali kubur ketika dewasa. Termasuk Salim, tak terbesit sedikitpun ia akan mendapatkan rupiah dari pekerjaan ini. Namun inilah berkahnya, menurut Salim pekerjaan gali kubur saat pertama ia bekerja dan sampai sekarang ada tujuh orang penggali. Walaupun penghasilannya tidak menentu, akan tetapi Salim merasa tidak tersaingi. Apalagi dengan kondisi kakinya pasca kecelakaan, membuat Salim tidak gesit lagi dalam berebut rejeki. Salim paham, bahwa kondisi tubuhnya yang sekarang tak memungkinnya lagi untuknya memilih pekerjaan. Kondisi kaki yang diobati sekedarnya saja ini memaksa Salim menerima pingangan tetangganya untuk bekerja di TPU Budi Darma.
“...Walaupun masih kekurangan, saya tetap bersyukur kepada Allah. Karena saya masih bisa berjuang dengan tenaga saya untuk anak dan istri saya.”
Penghasilan Salim sebagai tukang gali kubur sangat tidak menentu, selain karena tergantung pesanan. Salim juga tidak pernah mematok harga berapa dia harus dibayar dalam setiap penggalian. Menurut Salim, tidak pantas memaksakan dalam memberikan harga kepada orang yang sedang ditimpa musibah kematian. Bila sedang sepi, terkadang tiga hari tanpa order. Namun bila ramai, sehari bisa dua atau tiga kali Salim menggali. Dalam kesehariannya pun tak jarang menjumpai hambatan. Lokasi liang kubur yang salah, tanah keras dan banyak batunya sampai ada yang lupa membayar upah penggalian. Namun menurutnya adalah sebuah anugrah ia masih biasa diizinkan bekerja oleh Tuhan, karena andai saja ia cacat karena kecelakaan kala itu pasti Salim hanya bisa melihat istrinya berpeluh keringat sendirian membiayai hidup keluarga.

“...Hampir setiap pagi saya berdoa semoga hari ini ada yang meninggal. Sehingga ada pekerjaan dan rezeki untuk saya bawa pulang. Anak Istri saya masih membutuhkan biaya. Terutama si bungsu yang masih sekolah..”
Profesi yang digelutinya sejak tahun 2003 itu masih ia jalani sampai kini. Bukan karena kemalasan untuk mencari pekerjaan lain. Akan tetapi rasa syukur yang ia rasakan masih mampu bekerja ketika nyaris cacat membuat dia sangat mencintai pekerjaannya yang sekarang. Meski serba kekurangan, Salim dapat memberikan nilai keprihatinan dan kerja keras kepada anak istrinya. Salim memberikan tanggung jawab moral kepada mereka. Sehingga Salim tidak sendirian. Istrinya sampai sekarang masih berdagang kue ketika pagi dan siangnya berjualan bunga di sekitar TPU Budi Darma dibantu sang suami. Kerutan di wajah salim adalah ekspresi perjuangan hidup yang ia jalani.

Dari sedikit cerita Salim kepada saya, yang paling membahagiakan buat Salim adalah dua anaknya kini sudah lulus SMK dan bekerja sebagai pegawai. Walau hanya pegawai kontrak di pabrik, buat Salim itu adalah sebuah pencapaian dan kebanggaan yang luar biasa. Karena bisa mengutamakan pendidikan anak didalam himpitan ekonomi dan cobaan hidup yang biasanya untuk orang dari lapisan ekonomi seperti Salim, yang terfikir hanyalah isi perut setiap hari. Prestasi lainya adalah tahun ini anak yang terakhir akan segera lulus SMK. Semoga dapat mengikuti jejak kakaknya, doa Salim.

Namun keberhasilan tersebut tidak membuat Salim sombong dan bermalas-malasan. Ia tetap bekerja seperti biasa walaupun faktor usia terkadang sudah menegurnya untuk segera beristirahat. Sebagai penggali kubur, Salim pantas berbangga hati menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Tak lain karena mampu menyekolahkan anaknya lebih dari dirinya. Bahkan Salim nyaris tanpa keahlian ketika merantau ke Jakarta. Namun itulah pelajaran dari kehidupan yang dibanggakan Salim. Niat dan semangat adalah kunci untuk bertahan hidup.

Nilai yang saya dapat dari penelusuran historis dalam kisah hidup seorang tukang gali kubur berpusat pada satu kesimpulan. Salim adalah satu dari sekian banyak potret kehidupan penuh daya juang yang ada disekitar kita. Seorang pria tangguh yang tak pernah membiarkan api semangat hidupnya padam. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang ia pikul menjadikan ia dapat mentransformasi nilai-nilai kesederhanaan kepada anak dan istrinya. Sehingga anak-anaknya dapat memahami apa yang diperjuangkan oleh seorang bapak yang sangat mencintai keluarganya dan masa depan anak-anaknya.

 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved