MAKALAH
KECERDASAN EMOSI BAGI
GURU SD
Dosen Pengampu:
Drs.Ibadullah Malawi, M.Pd
Nama :
ANISSAUI MUFAROKAH
NPM :
08.141.521/P
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN S-1 PGSD
IKIP PGRI MADIUN
2010
I
PENDAHULUAN
Guru SD dan Kecerdasan
Emosi
Sudah
kita mafhum bahwa banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan,
seperti mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, kurikulum, dan faktor-faktor
instrumental serta eksternal lainnya. Tetapi mengingat peranan strategis guru
dalam setiap upaya peningkatan kualitas, relevansi, inovasi, dan efisiensi
pendidikan maka salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan
upaya tersebut adalah guru, khususnya peningkatan profesionalisme guru . Di
sisi lain, profesi guru sepanjang waktu selalu saja mendapat sorotan tajam.
Dewasa ini tidak sedikit gambaran atau wacana yang diangkat untuk menunjukkan
citra guru sedang dituding menurun bersamaan dengan pencitraan penghargaan
masyarakat - dan juga pemerintah - yang mulai terkesan proporsional dan professional
terhadap profesi guru dengan fungsinya yang strategis. Meskipun demikian
sebagai suatu bangsa yang besar dan masih senantiasa menghargai profesi guru
sebagai pembimbing dan pengembang sumber daya manusia menghadapi masa depan,
suara dukungan dan upaya bagi pengembangan profesi guru akhir-akhir ini sangat
menggembirakan. Salah satunya adalah transformasi IKIP sebagai lembaga
pembinaan profesi guru menjadi universitas, serta ditingkatkannya kewenangan
PGSD untuk menyelenggarakan program S1 bagi guru-guru SD yang sudah memiliki
masa kerja tertentu. Transformasi ini bertujuan antara lain agar dalam format
manajemen Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang baru, mampu
dihasilkan calon-calon guru yang lebih professional. Calon guru professional ini
harus mampu mengantisipasi, menjalani, dan memberikan solusi bagi tantangan
masa kini dan masa depan yang makin global, transparan, kompleks, dan
kompetitif.
Alih-alih
menurun, sejak kini hingga masa depan tantangan profesi keguruan semakin
meningkat. Dalam Mengangkat Citra dan Martabat Guru (Dedi Supriadi, 1999:73-74)
mengangkat suatu tantangan yang harus siap dihadapi guru dan pada saat yang
sama harus dicarikan solusinya oleh berbagai pihak terkait (birokrasi dan
organisasi kependidikan). Salah satunya berkaitan dengan masalah ekologi
profesi bagi guru, terutama guru SD. Pekerjaan guru (mendidik) yang mulia dan
seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber ketegangan lantaran
iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi,
beban sosial-ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan
jaminan hak-hak kesejahteraan guru. Dalam hal beban birokrasi, guru (SD) harus
berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administrasi yang bukan tugas-tugas
profesional. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang
masih memandang bahwa guru (SD) adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa.
Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang melampaui kemampuan guru
(SD) agar anak mereka menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan. Selain
itu, kondisi objektif di lapangan sangat mungkin guru (SD) menghadapi pengaruh
kemajuan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi -termasuk masalah
kependidikan, yang menuntut dirinya harus lebih profesional dan bahkan siap
'bersaing' dengan peserta didik dalam hal itu. Beban-beban yang sudah berat
itu, makin menjadi kompleks manakala guru (SD) -terutama yang hidup dikota -
juga harus berjuang meningkatkan kemampuan finansial dalam memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga yang memang masih jauh dapat dipenuhi dengan gaji mereka.
Kondisi semua ini, dapat diprediksi kuat akan sangat berpengaruh timbale balik
terhadap profil psikologis guru.
Beranjak
dari paparan di atas, tugas professi guru masa depan sangat berat. Ia bukan
saja harus memiliki sejumlah kompetensi akademis semisal penguasaan materi
pelajaran, kepiawaian dalam merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran
dengan berbagai metode mutakhir, serta terampil dalam menggunakan alat peraga
dan media pembelajaran; melainkan juga ia harus memiliki kematangan dan
ketegaran kepribadian. Aspek kepribadian sebagai unsur penting dalam kinerja
guru profesional akhir-akhir ini mulai banyak diangkat kembali oleh para pakar
setelah selama waktu yang cukup panjang tersisihkan oleh gencarnya pembahasan
teknis metodologis mengajar dengan landasan gagasannya diangkat dari
aliran-aliran Behavioristik: teori belajar, conditioning, hukum pengaruh, dan
Kognivistik. (Dedi Supriadi, 1999:10; Mohamad Surya, 2003:43: H.A.R Tilaar,
1999:295). Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran
kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) atau Emotional
Quotient (EQ). Kecerdasan ini berkaitan antara lain dengan kemampuan seseorang
(guru) dalam mengelola emosi terhadap diri dan orang lain, menghadapi kesulitan
dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta kasih yang tulus, dan tanggung jawab.
Sehubungan dengan tugas berat guru (SD) di masa depan, maka jelas tidak
bijaksana kalau LPTK penghasil calon guru tidak mempersiapkan mereka dengan
pembinaan yang menjadikannya sebagai calon guru yang memiliki kematangan
kepribadian dengan kecerdasan emosi yang optimal. Pembinaan ini sangat erat
kaitannya dengan tugas-tugas bimbingan dan konseling. Sehubungan dengan itu maka
peran Bimbingan dan Konseling -yang selama ini 'guru yang dibina' terkesan
disiapkan dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan di pendidikan dasar dan
menengah - harus secara organik dan resmi difungsikan di LPTK
Makalah
ini ditulis dengan tujuan menegaskan kembali perlunya para pengelola dan
pembina LPTK khususnya PGSD -terutama para dosen mata kuliah dan petugas
Bimbingan dan Konseling- untuk secara bersungguh-sungguh berorientasi kepada
upaya aktualisasi karakteristik calon guru yang professional dalam berbagai
penyelenggaraan perkuliahan. Selain itu, berdasarkan temuan-temuan inovatif
serta tuntutan realistis maka harus ada program untuk mengakrabkan para
mahasiswa calon guru terhadap konsep-konsep kecerdasan emosi, serta melakukan
studi untuk mengetahui peta atau profil kecerdasan emosional (EQ) civitas
akademika di lingkungan kerja LPTK (dosen, karyawan, atau aktivis kampus).
Hasil studi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai titik tolak pembinaan
mahasiswa calon guru terutama dalam hal memfasilitasi pengem-bangan kecerdasan
emosi mereka. Hal itu didasarkan pada suatu asumsi dasar sebagaimana
dikemukakan Gottman & DeClaire (1998:2) bahwa menjadi pengelola pendidikan
(guru) yang baik membutuhkan lebih dari pada sekedar intelek, melainkan menyentuh
dimensi kepribadian dan kematangan emosi. Permasalahannya adalah, bagaimanakah
profil guru (SD) profesional itu? Serta bagimana pula profil kecerdasan emosi?
yang sudah barang tentu kedua hal itu harus dimiliki guru (SD) dalam
menjalankan profesinya serta mengantisipasi tuntutan kekinian dan masa depan
yang akan dihadapi.
Sistimatika
makalah sangat sederhana. Setelah pendahuluan di bagian pertama, pada bagian
kedua akan disajikan kajian singkat teori berkenaan dengan karakteristik guru
(SD) profesional dan konsep-konsep dasar kecerdasan emosi; setelah itu
data/informasi pendukung dan hasil studi terdahulu beserta diskusi dan
pembahasan akan disajikan pada bagian ketiga; dan akhirnya bagian akhir memuat
kesimpulan dan saran
II
Guru SD Masa Depan:
Profesional Dan Kecerdasan Emosi
A.
Profesionalisme Guru
1.
Pengertian dan Ciri-ciri Profesi
Dalam
keseluruhan kegiatan pendidikan, guru memiliki posisi sentral dan strategis.
Karena posisinya tersebut, baik dari kepentingan pendidikan nasional maupun
tugas fungsional guru, semuanya menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara
profesional. Pembahasan tentang guru profesional terkait dengan beberapa
istilah, yaitu profesi, profesional itu sendiri, profesionalisme,
profesionalisasi, dan profesionalitas..
Profesi
adalah pernyataan pengabdian pada suatu pekerjaan atau jabatan (Piet A
Sahertian, 1994:26), dimana pekerjaan atau jabatan tersebut menuntut keahlian,
tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu profesi secara teori
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional menunjuk pada orang atau
penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya.
Profesionalisasi menggambarkan proses menjadikan seseorang sebagi profesional
melalui pendidikan. Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang
sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi yang
menyangkut sikap, komitmen, dan kode etik; profesionalisme bisa tinggi, sedang,
atau rendah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan keprofesiaan biasa disebut
profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).
Penting
untuk dicermati bahwa profesi memiliki beberapa ciri pokok. Menurut Dedi
Supriadi (1999:96) cirri-ciri tersebut ialah, pertama, pekerjaan tersebut
mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada
masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat
pendidikan dan latihan yang 'lama' dan intensif serta dapat
dipertanggungja-wabkan (accountable). Ketiga, profesi didukung oleh suatu
disiplin ilmu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang
menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas
terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang
diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau
kelompok memperoleh imbalan finasial atau material.
Guru
Profesional
Proses
pendidikan di dalam masyarakat yang semakin maju, demokratis dan terbuka
menuntut suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik secara profesional.
Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru profesional, yaitu guru yang memiliki
karakteristik profesionalisme. Guru profesional adalah guru yang memiliki
keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi
yang kuat. Untuk itu ia harus telah memiliki kualifikasi kompetensi yang
memadai: kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad
Surya, 2003:28). Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru
profesional abad 21 sebagai berikut.
1)
Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing
personality) sebagaimana dirumuskan Maister 'professionaism is predominantly an
attitude, not a set of competencies only. Ini berarti bahwa seorang guru
profesional adalah pribadi-pribadi unggul terpilih;
2)
Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Melalui dua hal ini seorang
guru profesional akan menginspirasi anak didiknya dengan ilmu dan teknologi.
Guru profesional semestinya ia adalah 'ilmuwan' yang dibentuk menjadi pendidik.
3)
Menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat dan potensi peserta didik.
Oleh karena itu seorang guru profesional harus lah menguasai keterampilan
metodologis membelajarkan siswa. Karakteristik ini yang membedakan profesi guru
dari profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak secara sungguh-sungguh
dikuasai guru, maka siapa saja dapat menjadi 'guru' seperti yang terjadi
sekarang ini. Akibat lebih lanjut dari ini adalah profesi guru akan kehilangan
'bargaining position'.
4)
Pengembangan profesi yang berkesinambungan. Propesi guru adalah profesi
mendidik. Seperti halnya ilmu mendidik yang senantiasa berkembang, maka profil
guru profesional adalah guru yang terus menerus mengembangkan kompetensi
dirinya. Pengembangan kompetensi ini dapat dilakukan secara institusional
(LPTK), dalam praktik pendidikan, atau secara individual.
Sejalan
dengan gagasan HAR Tilaar di atas, Dedi Supriadi (1999:98) mengutip Jurnal
Education Leadership edisi Maret 1993 mengenai lima hal yang harus diraih guru
agar menjadi profesional. Kelima hal tersebut adalah.
1)
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa
komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2)
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta
cara mengajarkannya kepada para siswa.
3)
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4)
Guru mampu berpikir sistimatis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu bagi guru guna mengadakan
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar
dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik buruk
dampaknya pada proses belajar siswa.
5)
Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
Kelima
hal di atas amat sederhana dan pragmatis. Justru karena keseder-hanaan itu akan
membuat sesuatu mudah dicapai.
Untuk
meneguhkan kesuksesan kinerja pendidik sebagai guru profesional dan merupakan
jabatan strategis dalam membangun masyarakat, Mohamad Surya (2003:290-292)
menekankan perlunya seorang guru memiliki kepribadian efektif. Kepribadian
merupakan keseluruhan perilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan
membentuk keunikan atau kekhasan seseorang dalam interaksi dengan lingkungan di
berbagai situasi dan kondisi. Kepribadain efektif seorang guru adalah
kepribadian berkualitas yang mampu berinteraksi dengan lingkungan pendidikan yang
sebaik-baiknya agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara
efektif.
Kepribadian efektif memiliki sejumlah
kompetensi yang bersumber pada komponen penguasaan subyek (materi pelajaran),
kualitas profesional, penguasaan proses, kemampuan penyesuaian diri, serta
kualitas kepribadiannya. Kepribadian efektif akan terwujud melalui berfungsinya
keseluruhan potensi manusiawi secara penuh dan utuh melalui interaksi antara
diri dengan lingkungannya. Menurut William D. Hitt (1993) potensi manusiawi itu
antara lain adalah daya nalar yang bertumpu pada empat jenjang anak tangga
berupa:
(1)
Coping, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan dalam menghadapi dunia
sehari-hari dengan baik;
(2)
Knowing, yaitu kemampuan memahami kenyataan dan kebenaran dunia sehari-hari;
(3)
Believing, keyakinan yang melandasi berbagai tindakan, dan
(4)
Being, yaitu perwujudan diri yang otentik dan bermakna.
Jika
kita cermati karakteristik kepribadian efektif sebagaimana diuraikan di atas,
nampak bahwa unsur-unsurnya erat berkaitan dengan faktor-faktor kompetensi dan
potensi psikologis seseorang. Salah satu potensi psikologis manusia yang saat
ini mendapat kajian intensif karena diyakini sebagai salah satu penentu
dominant bagi efektif tidaknya kepribadian seseorang dalam berinteraksi dan
mengatasi persoalan hidup sehari-hari adalah kecerdasan emosi (EQ, Emotional
Quotient).
B.
Kecerdasan Emosi
1.
Pusat Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Rasional dalam Otak.
Otak
manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang pernah dikenal di
alam semesta. Organ ini terdiri dari tiga bagian dasar, masing-masing dengan
struktur saraf tugas-tugas tertentu, yang oleh Dr. Paul McLean (1990) disebut
"otak triune". Ketiga bagian tersebut adalah: batang atau otak
reptil, sistem limbik atau otak mamalia, dan neokorteks (Bobbi DePorter &
Mike Hernacki;1999).
Dalam
buku Quantum Learning dijelaskan bahwa bagian manusia yang disebut otak mamalia
(sistem limbik) bertanggung jawab atas fungsi-fungsi emosional dan kognitif
serta pengaturan bioritme seseorang, seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan
darah, gairah seksual, dan metabolisme dalam tubuh. Dalam mekanisme yang
terjadi pada sistem limbik inilah kecerdasan emotional (EI = Emotional
Intelligence, nama lain dari EQ) seseorang ditentukan.
Joseph
LeDoux (1992) seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York
University mengungkapkan bahwa dalam saat-saat yang kritis kecerdasan emosi
akan lebih cepat menentukan keputusan dari pada kecerdasan intelektual. Hal itu
sejalan dengan kajian Dr. Jalaluddin Rakhmat (1999) yang menyimpulkan bahwa
kecerdasan emosi sangat mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan. Bahkan
tidak ada satu pun keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasional
kerena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional.
2.
Konsep Dasar Kecerdasan Emosi
Istilah
"Emotional Intelligence, kecerdasan emosional" - selanjutnya disebut
kecerdasan emosi - pertamakali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter
Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New
Hampshire. Kecerdasan ini berhubungan dengan kualitas-kualitas psikologis
tertentu yang oleh Salovey dikelompokkan ke dalam lima karakter kemampuan:
(1) Mengenali emosi diri; wilayah ini merupakan dasar kecerdasan emosi. Penguasaan seseorang akan hal ini akan memiliki kepekaan atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
(1) Mengenali emosi diri; wilayah ini merupakan dasar kecerdasan emosi. Penguasaan seseorang akan hal ini akan memiliki kepekaan atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
(2)
Mengelola emosi; kecerdasan emosi seseorang pada bagian ini ditunjukkan dengan
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau
ketersinggungan sehingga dia dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari
kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
(3)
Memotivasi diri sendiri; kecerdasan ini berhubungan dengan kamampuan seseorang
dalam membangkitkan hasrat, menguasai diri, menahan diri terhadap kepuasan dan
kecemasan. Keberhasilan dalam wilayah ini akan menjadikan seseorang cenderung
jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.
(4)
Mengenali emosi orang lain. Berkaitan erat dengan empati, salah satu kecerdasan
emosi yang merupakan "keterampilan bergaul" dasar. Orang yang empatik
lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
(5)
Membina hubungan. Seni membina hubungan, menuntut kecerdasan dan keterampilan
seseorang dalam mengelola emosi orang lain. Sangat diperlukan untuk menunjang
popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.
3.
Kecerdasan Emosi Eksekutif.
Kecerdasan
Emosional Eksekutif (EQ-Executive) secara singkat dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam rangka menghadapi dan
memberikan tindakan antisipasi maupun solusi terhadap prob-lematika yang
dhadapi dalam menjalankan profesi dalam suatu intitusi. Berdasarkan gagasan
Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001), EQ-Executive yang akan analisis dalam
penelitian ini didasarkan kepada empat pilar utama:
(1)
Kesadaran Emosional Literasi; bertujuan membangun tempat kedudukan bagi
kepiawaian dan rasa percaya diri pribadi melalui kejujuran emosi, energi emosi,
umpan balik emosi, intuisi, rasa tanggung jawab dan koneksi.
(2)
Kebugaran emosi; bertujuan mempertegas kesejatian, sifat dapat dipercaya, dan
keuletan, memperluas kepercayaan, dan kemampuan mendengarkan, mengelola konflik
dan mengatasi kekecewaan dengan cara palinmg konstruktif.
(3)
Kedalaman emosi (emotional deepth); mengeksplorasi cara-cara menye-laraskan
hidup dan kerja dengan potensi serta bakat unik seseorang, mendukungnya dengan
ketulusan, kesetiaan pada janji, rasa tanggung jawab yang pada gilirannya
memperbesar pengaruh tanpa mengobral kemenangan.
(4)
Al-kimia emosi (emotional alchemi); memperdalam naluri dan kemampuan kreatif
untuk mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan dan bersaing demi
masa depan dengan membangun ketarampilan untuk lebih peka akan adanya
kemungkinan-kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih
terbuka.
Indikator-indikator
yang menunjukkan seberapa jauh karakter-karakter dari masing-masing pilar di
atas terdapat pada diri seseorang dalam penelitian ini akan diungkap dengan
instrumen EQ_MAPTM. Instrumen ini merupakan hasil penelitian yang mendalam,
andal secara statistik dan teruji secara baku terhadap tenaga kerja di USA dan
Kanada. Instrumen ini berupaya mengungkap 21 skala profil kecerdasan eksekutif
yaitu:
(1)
Peristiwa dalam hidup (12)
Belaskasihan
2)
Tekanan pekerjaan (13)
Cara pandang
(3)
Tekanan masalah pribadi (14)
Intuisi
(4)
Kesadaran diri emosi (15)
Radius kepercayaan
(5)
Ekspresi emosi (16)
Daya pribadi
(6)
Kesadaran emosi terhadap orang lain (17)
Integritas
(7)
Intensionalitas (18)
Kesehatan umum
(8)
Kreativitas (19)
Kualitas hidup
(9)
Ketangguhan (20)
Relatioship Quotient
(10)
Hubungan interpersonal (21)
Kinerja Optimal
(11)
Ketidakpuasan konstruktif
Dalam
EQ-Map dua puluh satu skala profil EQ-eksekutif di atas selanjutnya dibagi ke
dalam lima kategori. Kelima kategori tersebut adalah: Situasi saat ini,
Keterampilan Emosi, Kecakapan Emosi, Nilai-nilai EQ dan Keyakian, dan
Hasil-hasil EQ.
a.
Situasi Saat Ini
Kategori
ini menggambarkan profil seberapa besar kualitas emosi seorang pekerja dalam
menghadapi berbagai peristiwa yang dialami baik di keluarga, masyarakat maupun
tempat yang bersangkutan bekerja. Hal tersebut meliputi:
1)
Peristiwa dalam Hidup
Berkaitan dengan
ketangguhan seseorang dalam menghadapi berbagai peristiwa keseharian yang
secara umum bisa berfungsi sebagai sumber keter-tekanan (stress). Peristiwa
tersebut misalnya: ancaman diberhentikan, keluar, atau pensiun; berhadapan
dengan pekerjaan baru atau pimpinan baru; penciutan atau perubahan struktur
kepegawaian di tempat kerja; kerugian finansial atau berkurangnya pendapatan;
kematian seseorang teman dekat atau keluarga; ber-pindah, relokasi atau membeli
rumah baru; kehadiran anggota baru dalam rumah tangga atau bertambahnya
tanggungjawab dalam keluarga; menjadi kor-ban kejahatan atau berhadapan dengan
masalah hokum; atau sakit atau cedera serius yang menimpa diri sendiri atau
teman dekat/keluarga.
2)
Tekanan Pekerjaan
Yang
dimaksud adalah gambaran seberapa besar tekanan kondisi dan situasi pekerjaan
terhadap kualitas emosi/diri seorang pekerja. Hal itu meliputi: hubungan dengan
atasan langsung; keamanan pekerjaan; bergesernya prioritas pekerjaan; terlalu
banyak pekerjaan atau membosankan; kontrol/pemantauan yang tidak luwes dari
lembaga terhadap pekerjaan; kebijakan promosi dan penghargaan karir yang tidak
adil dari pimpinan; tenggat waktu dalam menyelesaikan pekerjaan; hilangnya
komitmen terhadap pekerjaan; merasa tidak berguna atau tidak mampu bekerja;
fleksibilitas jam kerja; perjalanan yang jauh ke tempat kerja.
3)
Tekanan Masalah Pribadi
Skala
ini mengungkapkan seberapa besar masalah-masalah pribadi menjadi sumber
ketertekanan dalam menjalani pekerjaan. Masalah-masalah ter-sebut antara lain:
kesulitan keuangan; bertambahnya tanggungjawab keluarga; konflik dengan atau
berpisah dari rekan/partner; menurunnya kesehatan pri-badi; bermasalah dengan
keluarga; tidak cukup waktu luang untuk keluarga; lingkungan yang berbahaya
atau tidak aman; konflik seksual; konflik antara keluarga dan pekerjaan.
b. Keterampilan Emosi
Kategori ini
menggambarkan profil seberapa besar kualitas seseorang dalam mengenali emosi
dirinya, meliputi:
1)
Kesadaran-diri Emosi
Berkaitan dengan kemampuan pikiran
dan perasaan seseorang tentang diri sendiri antara lain dalam hal: menyebutkan
perasaan; mendengarkan pera-saan sendiri; menyadari sepanjang waktu perasaan
diri; menyatakan kemarahan dengan tepat; mengetahui alasan kesedihan; menyaring
pola pikir orang lain dalam menilai diri sendiri; menikmati kehidupan emosi
sendiri; takut terhadap emosi orang lain; keinginan menjadi orang lain; cermat
memperhatikan peru-bahan fisik jika mengungkapkan emosi; menerima perasaan diri
apa adanya.
2)
Ekspresi Emosi
Membiarkan orang lain
tahu bila mereka bekerja dengan baik; mengungkapkan emosi negatif; membiarkan
orang lain tahu tentang keinginan/kebutuhan; mengungkapkan penghargaan terhadap
orang lain; membiarkan orang lain tahu bila ada perasaan tidak enak yang
mengganggu pekerjaan; meminta tolong kepada orang lain saat memerlukan bantuan;
dalam interaksi dengan orang lain dapat merasakan perasaan mereka; tidak
berpura-pura melakukan apa saja agar tidak tampak tolol di depan orang lain.
3)
Kesadaran Emosi terhadap Oranglain
Dapat mengenali emosi
orang lain dengan memperhatikan mata mereka; mudah berbicara dengan orang yang
tidak satu sudut pandang; memperhatikan orang-orang yang memiliki kualitas
positif; terdorong untuk menghibur orang lain; berpikir tentang perasaan orang
lain sebelum mengungkapkan pandangan; selalu menjadi pendengar yang baik; dapat
merasakan suasana hati suatu kelompok; dapat membuat orang yang baru kenal
berbicara tentang mereka sendiri; dapat "membaca yang tersirat" ketika
seseorang berbicara; kemampuan mengetahui bagaimana perasaan orang lain; dapat
mengetahui perasaan seseorang kendati ia tidak bicara; dapat mengubah ekspresi
emosi tergantung dengan siapa berhadapan; dapat mengetahui bila orang lain
sedang merasa kesal.
c. Kecakapan Emosi
Kategori ini
menggambarkan perilaku atau tujuan bertindak seseorang yang berkaitan dengan
pengelolaan dorongan emosi. Hal itu antara lain:
1)
Intensionalitas
Dapat dengan mudah
mengabaikan gangguan-gangguan apabila perlu berkonsentrasi; mampu menyelesaikan
hampir semua gagasan; tahu cara mengatakan "tidak" ketika harus
demikian; tahu cara menghargai diri sendiri sesudah meraih suatu sasaran; dapat
menyingkirkan dahulu imbalan-imbalan jangka pendek demi sasaran-sasaran jangka
panjang; dapat memusatkan perhatian saya pada suatu tugas sampai selesai bila
saya harus demikian; menerima tanggung jawab atas pengelolaan emosi; ketika
berhadapan dengan suatu masalah, mengurusinya selekas mungkin; berpikir tentang
yang saya inginkan sebelum bertindak; dapat menunda kepuasan pribadi demi
sasaran yang lebih besar; dapat membicaraka permasalahan dengan diri sendiri;
tidak marah apabila dikritik; mengetahui penyebab kemarahan.
2)
Kreativitas
Memiliki gagasan
proyek-proyek inovatif kepada lembaga; berpe-ran serta dalam berbagai informasi
dan gagasan; meramal masa depan untuk memudahkan tujuan; memunculkan gagasan
terbaik ketika sedang tidak memikirkannya; mempunyai gagasan-gagasan cemerlang
baik yang berupa kilasan maupun yang tampak secara utuh; memiliki penginderaan
yang baik mengenai kapan suatu gagasan akan berhasil atau gagal; tergerak oleh
konsep-konsep yang baru dan tidak lazim; telah menerapkan proyek-proyek
inovatif di lembaga; tergerak oleh gagasan-gagasan dan solusi-solusi baru; ahli
dalam menggodok pemecahan masalah sampai menghasilkan sejumlah pilihan.
3)
Ketangguhan
Dapat pulih dengan
cepat sesudah merasa kecewa; dapat mem-peroleh dibutuhkan jika tekad sudah
bulat; halangan atau masalah dapat telah menghasilkan perubahan-perubahan tak
terduga ke arah yang lebih baik; mudah menunggu dengan sabar bila harus
demikian; selalu ada lebih dari satu jawaban yang benar; tahu cara memuaskan
seluruh bagian dalam diri; tidak suka menangguhkan suatu pekerjaan; tidak takut
mencoba lagi bila pernah gagal dalam pekerjaan yang sama; mampu memutuskan
bahwa masalah-masalah tertentu tidak berharga untuk dicemaskan; mampu
menyantaikan diri bila mulai tegang; dapat melihat sisi humor suatu situasi;
dapat mengesampingkan dahulu suatu masalah untuk mendapatkan perspektif yang
lebih baik; bila menghadapi suatu masalah perhatian terpusat pada aspek-aspek
yang dapat diperbuat untuk memecahkannya.
4)
Hubungan Antar Pribadi
Dapat sedih bila
kehilangan sesuatu yang penting; merasa nyaman bila bersama seseorang yang
terlalu dekat secara emosional; mempunyai teman-teman yang dapat diandalkan
dalam masa-masa sulit; banyak menunjukkan rasa sayang kepada teman-teman; bila
mempunyai masalah, tahu harus pergi ke mana dan harus berbuat apa untuk
mnemecahkannya; keyakinan dan nilai-nilai yang dianut menuntun tindakan saya
sehari-hari; keluarga selalu siap bila dibutuhkan; yakin bahwa teman-teman
sungguh peduli sebagai pribadi; mudah mendapatkan teman; tidak kesulitan bila
harus menangis atau merasa sedih.
5)
Ketidakpuasan Konstruktif
Sanggup berbeda
pendapat dengan efektif untuk mengubah sesuatu; mengungkapkan perasaan
meskiupun hal itu akan menimbulkan perbedaan pendapat; apabila suatu masalah
datang merasa percaya diri sendiri untuk menyelesaikannya; tetap tenang bahkan
dalam situasi yang membuat orang lain marah; tidak takut membuat masalah
meskipun dapat menghindarinya; mudah mencapai kata sepakat dengan rekan-rekan
kerja; mencari umpanbalik menge-nai kinerja diri; ahli dalam mengorganisasi dan
memotivasi sebuah kelompok; senang menghadapi tantangan dan memecahkan masalah
dalam pekerjaan; mendengarkan kritik dengan pikiran terbuka dan menerimanya
bila dapat dibenarkan; membiarkan masalah mencapai titik kritis sebelum
membicar-akannya; bila melontarkan komentar yang kritis perhatian terpusat pada
perilaku bukan pada orangnya; tidak menghindari konfrontasi bila berhadapan
dengan masalah.
d. Nilai-nilai EQ dan
Keyakinan
Kategori ini
menggambarkan perilaku atau tujuan bertindak seseorang yang berkaitan dengan
pengelolaan dorongan emosi yang berhubungan dengan nilai-nilai keyakinan
(belief). Termasuk ke dalam kategori ini adalah:
1)
Belas Kasihan
Mampu melihat rasa
sakit pada orang lain meskipun mereka tidak membicarakannya; dapat membaca
emosi orang lain dari bahasa tubuh mereka; bertindak menurut etika dalam
berurusan dengan orang lain; tidak akan ragu meninggalkan kesibukan guna
menolong orang yang kesulitan.; memperhitung-kan perasaan orang lain dalam
interaksi dengan mereka; dapat menempatkan diri dalam kedudukan orang lain;
tidak ada orang yang tidak pernah/sulit dimaafkan; mudah memaafkan karena diri
tidak sempurna; membantu orang lain menjaga harga dirinya dalam situasi sulit;
tidak begitu mencemaskan kekurangan-kekurangan diri; tidak iri kepada orang
yang lebih mampu.
2)
Sudut Pandang
Melihat sisi positif
pada segala sesuatu; mencintai kehidupan; mengetahui dan dapat menemukan solusi
atas masalah yang sulit; percaya bahwa segala sesuatu biasanya membaik dengan
sendirinya; tidak merasa frustasi dalam hidup meskipun banyak orang yang ingkar
janji; menyukai diri apa adanya; melihat tantangan sebagai peluang untuk
belajar; meskipun di bawah tekanan, percaya akan mendapatkan sebuah pemecahan.
3)
Intuisi
Terkadang mendapat
jawaban yang benar bagi suatu persoalan tanpa alasan yang jelas; firasat biasanya
benar/terbukti; dapat menggambarkan sasaran-sasaran di masa datang; ketika
merancang atau mengerjakan sesuatu sudah dapat melihat produk atau gambaran
akhir meskipun saat ini belum selesai; percaya dengan impian sendiri meskipun
orang lain tidak dapat me-lihat atau memahami semua itu.; ketika dihadapkan
dengan pilihan yang sulit, dapat dengan mudah mengikuti kata hati; jarang
mengubah tekad yang sudah bulat; diakui orang bahwa dapat meramal atau memiliki
firasat yang tajam; tidak sulit menerima pandangan yang berbeda; mengandalkan
dorongan hati ketika membuat keputusan.
4)
Radius Kepercayaan
Percaya bahwa orang tidak akan
memanfaatkan dirinya begitu saja; menaruh kepercayaan tanpa terlalu terikat
dengan alasan; siapa pun mudah untuk dipercaya; menghormati siapa pun; mungkin
saja imbalan orang lain layak lebih baik; mempercayai rekan dekat dalam
pekerjaan; merasa bisa berbuat banyak; dalam hidup ini banyak yang adil atau
layak; mencoba mengatasi masalah dengan rencana alternatif; ketika bertemu
dengan orang-orang baru, banyak informasi pribadi yang diungkapkan kepada mereka.
5)
Daya Pribadi
Merasa dapat membuat
apa pun terjadi; memandang bahwa nasib tidak begitu berperan penting dalam
hidup; demi perbaikan mampu menentang hierarki yang mapan di tempat bekerja;
merasa bahwa keadaan masih dapat dikendalikan; tidak begitu membutuhkan
pengakuan dari orang lain atas karya sendiri; mudah menyukai sesuatu; tidak
sulit menerima pujian; merasa mempunyai kemampuan untuk mendapatkan yang
diinginkan; merasa dapat mengendalikan hidup; tidak merasa takut dan lepas
kendali apabila segala sesuatu berubah dengan cepat; senang bertanggung jawab
atas sesuatu; tahu yang diinginkan kemudian setelah memperoleh yang lain.
6)
Integritas
Senantiasa bersedia
mengakui kesalahan yang diperbuat; tidak merasa seperti seorang penipu,
pengecoh atau pembohong; siap pindah kerja jika tidak bersemangat lagi dengan
pekerjaan; memandang pekerjaan sebagai perpanjangan dari sistem nilai pribadi;
berupaya keras untuk tidak pernah berbohong; tidak bisa menerima suatu situasi
yang tidak mempercayai dirinya; tidak membesar-besarkan kemampuan karena ingin
memperoleh kesempatan yang lebih baik; senantiasa berterus terang meskipun yang
dihadapi sangat sulit; tidak bisa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang bertentangan
dengan keyakinan.
d. Hasil-hasil EQ
Kategori ini berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa kedirian seseorang yang diduga kuat sebagai
konsekuensi dari kualitas EQ yang bersangkutan. Meliputi hal-hal sebagai
berikut.
1) Kesehatan Secara
Umum
a) Gejala-Gejala Fisik
yang Sering Dirasakan:
Seberapa sering
mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas kesehatan fisik secara umum;
yaitu nyeri punggung bukan karena cedera; mengalami masalah berat badan
(kelebihan atau kekurangan); sakit kepala karena tegang; sakit kepala karena
migren; pilek atau gangguan pernafasan bukan karena perubahan cuaca/asma;
mengalami masalah perut (kembung atau tidak normal buang air besar); nyeri dada
bukan karena cedera; sakit dan nyeri pada bagian tubuh yang sulit dijelaskan;
nyeri atau sakit kronis lain selain yang telah dijelaskan.
b) Gejala-Gejala
Perilaku yang Sering Muncul:
Seberapa sering
mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas perilaku sehat secara umum;
yaitu mengalami masalah yang berhubungan dengan makan (hilang selera, tidak
teratur, terus menerus); merokok dalam kapasitas di luar kebiasaan selama ini;
minum minuman beralkohol; minum obat penenang; minum aspirin atau obat
penghilang rasa sakit (nyeri) lain; kebiasaan minum obat-obat lain; menarik
diri dari hubungan dekat dengan pihak/orang lain; mengkritik, menyalahkan atau
melecehkan orang lain; merasa menjadi korban atau dimanfaatkan oleh orang lain;
kecanduan menonton TV (> 2 jam sehari); melakukan kegiatan rekreatif/bermain
lebih dari 2 jam sehari; tidak menyukai campur tangan orang lain; kerap mengalami
kecelakaan fisik/cedera
c) Gejala-Gejala Emosi:
Seberapa sering
mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas kesehatan jiwa secara umum;
yaitu sulit berkonsentrasi; merasa kelebihan beban pekerjaan; perhatian mudah
teralihkan; tidak mudah melupakan sesuatu yang berkesan negatif/terus cemas;
merasa depresi, kesal atau putus asa; merasa kesepian; pikiran terasa kosong;
merasa letih atau kelebihan beban; sulit memantapkan hati atau membuat
keputusan; sulit memulai suatu kegiatan/sulit menenangkan diri untuk memulai
suatu kegiatan
2) Kualitas Hidup
Merasa puas sekali
dengan hidup yang dijalani saat ini; merasa kuat sehat dan bahagia; merasakan
kedamaian dan kesejahteraan di dalam hati; tidak terlalu merasa perlu membuat
banyak perubahan dalam hidup agar betul-betul bahagia; hidup dirasakan dapat
memenuhi kebutuhan yang paling dalam; mendapatkan lebih banyak dari pada yang
diharapkan dari hidup ini; menyukai diri sebagaimana adanya; bekerja terasa menyenangkan;
merasa telah menemukan pekerjaan yang bermakna; merasa berada dalam jalur yang
mengantarkan kepada kepuasan; merasa telah mengerahkan sebagian besar kemampuan
diri.
3)Relationship Quotient
Terdapat sejumlah orang
yang berhubungan (relation) pada tingkat lebih dalam; jujur kepada orang-orang
yang akrab sebagaimana mereka pun jujur kepada dirinya; menyayangi seseorang
secara mendalam; mudah mene-mukan orang-orang yang dapat diajak bergaul; dapat
membuat komitmen jangka panjang dengan siapa saja untuk suatu hubungan;
menyadari bahwa dirinya bermakna/ penting bagi banyak orang; merasa mudah
mengatakan kepada orang-orang bahwa dirinya peduli kepada mereka
4)
Kinerja Optimal
Merasa puas dengan
kinerja saat ini; rekan-rekan kerja memandang bahwa diri kita memudahkan
komunikasi yang baik di antara anggota kelompok; tidak merasa terkucil dalam
pekerjaan; mudah mengerahkan perhatian pada tugas yang harus dikerjakan; dalam
tim kerja, dilibatkan dalam pembuatan keputusan; tidak mengalami kesulitan
dalam memenuhi komitmen atau menyelesaiakan tugas; terus berusaha meningkatkan
kinerja diri agar dapat menghasilkan yang terbaik.
III
Diskusi, Temuan Terdahulu dan Pembahasan
Pada
bagian ini penulis memandang penting untuk terlebih dahulu menjelaskan istilah
profesional pada kata Guru Profesional. Istilah profesional pada tulisan ini
tidak merujuk kepada penggunaan istilah tersebut pada Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) -yang seringkali menimbulkan kerancuan dalam wacana
dilapangan - yang menyatakan "Pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan
akademik dan pendidikan profesional." Yang dimaksud dengan pendidikan
akademik adalah pendidikan yang sebagian besar porsinya ditujukan untuk
penguasaan dan pengembangan ilmu dengan bobot keterampilan yang lebih sedikit.
Pendidikan akademik adalah program gelar (Sarjana/S-1, Magister/S-2,
Doktor/S-3) yang diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan
universitas. Di pihak lain, pendidikan profesional adalah pendidikan yang bobot
pembekalan keterampilannya lebih banyak dari pada penguasaan teori atau konsep
karena memang peserta didik disiapkan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang
ada dalam masyarakat.
Dalam
istilah lain disebut juga pendidikan non-gelar. Pendidikan profesional
diselenggarakan oleh akademi dan politeknik dalam bentuk program Diploma, juga
oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Pengertian ini mengundang
tafsiran yang rancu sekan-akan pendidikan akademik tidak menyiapkan lulusannya
siap kerja dan profesional. Oleh karenanya, guru profesional atau pendidikan
profesional dalam makalah ini dimaksudkan sebagai lulusan pendidikan yang
selain memiliki keterampilan khusus juga meliputi dimensi penguasasaan
keilmuan, social, etik/moral, serta nilai-nilai kemanusiaan dari suatu
pekerjaan. Tidak jadi soal apakah ia lulusan program diploma atau program
strata (S1, S2 atau S3).
Jika
kita cermati sejumlah karakteristik guru profesional sebagaimana dikemukakan
pada halaman-halaman terdahulu, di samping berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat akademis dan keterampilan akan ditemukan beberapa pernyataan yang
lebih kental nuansa moral-psikologisnya misalnya: tanggung jawab, memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang, bermoral, spiritual, komitmen terhadap
kepentingan siswa, mampu berpikir reflektif dan korektif, serta memiliki
kepribadian yang efektif. Karakter guru profesional yang demikian itu jelas
sangat diperlukan ada pada diri guru (SD) sebagai modal utama dalam menghadapi
tantangan kekinian dan masa depan yang makin kompleks: kepesatan perkembangan
iptek, persaingan hidup dan karir yang semakin garang dan tajam, serta tuntutan
kualitas hidup dan pendidikan di tengah-tengah masyarakat yang makin tinggi.
Oleh
karenanya maka penyelenggaraan program pendidikan untuk calon guru -khususnya
guru SD - oleh LPTK harus diarahkan pada upaya mempersiapkan guru yang cakap
secara profesional serta memiliki kematangan pribadi dengan kecerdasan emosi
yang memadai dan tangguh. Berdasarkan hal itu, dapat diasumsikan bahwa untuk
menghasilkan pencapaian tersiapkannya calon guru (SD) yang professional yang
mampu mengantisipasi tuntutan kompleks masa kini dan masa depan, maka harus
dirancang sedemikian rupa suatu layanan managerial yang dapat berfungsi
memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosional para mahasiswa calon guru
tersebut; terutama yang menyangkut kecerdasan dalam menghadapi dan mengatasi
berbagai problema pencapaian kesuksesan karir atau prestasi belajar, yang
dikenal dengan kecerdasan eksekutif (EQ-Executive).
Gagasan
perlunya LPTK secara terprogram mematangkan kepribadian dan kecerdasan emosi
para mahasiswa calon guru (SD) bukan sesuatu yang mengada-ada melainkan juga
didasarkan pada hasil analisis berbagai literature. Berbagai informasi
menunjukkan bahwa salah satu alasan umum yang dapat memicu timbulnya perilaku
menyimpang dari seseorang - termasuk guru - dalam memberikan reaksi terhadap
lingkungan, semisal pesismis dan konsep diri yang negatif, pada umumnya bukan
karena rendahnya kualitas skill dan kemampuan akademis semata, melainkan karena
mereka tidak memiliki kematangan kepribadian atau kecerdasan emosinya kurang;
misalnya rendahnya kemampuan (skill) untuk mencapai apa yang diinginkan (need
for achievement) atau rentannya kesiapan psikologis mereka dalam berhadapan
dengan imbalan (reward) yang tertangguhkan; atau mereka itu memiliki internal
locus of control (kemandirian) yang lebih rendah dibandingkan dengan
kecenderungan external locus of control (ketergantungan kepada yang lain) dalam
dirinya (Asmawi Zainul, 1999:13).
Goleman
(1998) memperkuat bahwa perilaku-perilaku menyimpang yang disebabkan oleh
rendahnya kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) mereka berkaitan dengan
ketidakmatangan kondisi psikologis yang bersangkutan dalam hal: memotivasi diri
dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Dengan kata lain,
perilaku menyimpang baik dari para remaja (termasuk mahasiswa) maupun kaum
profesional (guru) mengindikasikan betapa rendahnya Kecerdasan Emotional
mereka.
Dari
sejumlah penelitian yang telah dilakukannya Goleman berkesim-pulan bahwa
kesuksesan karir seseorang 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi (EQ)-nya.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian tersebut, bahkan terbukti bahwa
Kecerdasan Pikiran (IQ) atau Kecerdasan Akademis semata-mata praktis tidak
menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh
kesulitan-kesulitan hidup. Oleh karenanya, ia mengingatkan bahwa dalam
institusi pendidikan (formal maupun informal) perlu dibangun suatu mekanisme
yang cukup efektif dalam menciptakan kondisi emosional yang kondusif
(Goleman,1998:47).
Robert
K Cooper & Ayman Sawaf (2001) pada bagaian pendahuluan dari bukunya (Executive
EQ) menegaskan bahwa jika pada abad 20 kesuksesan profesi seseorang diasumsikan
sangat ditentukan oleh IQ, maka berdasarkan bukti-bukti yang banyak di
penghujung abad 21, dapat ditegaskan bahwa kesuksesan seseorang dalam
menghadapi tugas-tugas kehidupan adalah ditentukan oleh kecerdasan emosional
(EQ). Lebih spesifik lagi keduanya mengenalkan 'Executive EQ' sebagai variabel
penting bagi kesuksesan profesi seseorang. Jika kita memandang tugas mendidik
dari seorang guru merupakan suatu wujud tugas eksekutif dalam pengertian
professional yang menuntut kompetensi dan kredibilitas tertentu maka pikiran
Robert K Cooper & Ayman Sawaf sangat layak untuk dipertimbangkan oleh para
pengelola LPTK yang mempersiapkan calon guru (SD).
Landasan
empirik lainnya bagi hal ini adalah hasil penelitian serial selama tidak kurang
dari dua puluh tahun dari John Gottman (1998), yang dilakukan terhadap tidak
kurang dari 119 keluarga, yang menemukan bukti-bukti kuat bahwa mereka yang
memiliki EQ yang relatif baik, mampu memperoleh nilai akademis yang lebih
tinggi, mampu bergaul lebih baik, tidak banyak mengalami masalah tingkah laku,
dan tidak mudah terpancing untuk melakukan tindak kekerasan bila dibanding-kan
dengan anak-anak yang orangtuanya tidak mempraktekkan hal semacam itu. Teori
dan bukti empiris Kecerdasan Emosional (EQ) memberikan harapan dan optimisme
baru terhadap pengembangan kualitas profesi kependidikan, khususnya di
lingkungan LPTK.
Persoalan
selanjutnya adalah, dengan cara bagaimana pembinaan calon guru (SD) yang
profesional dan memiliki kecerdasan emosi di lakukan di LPTK. Dengan
mengadaptasi sebagian gagasan HAR Tilaar (1999:368-378), Dedi Supriadi (1999)
berikut adalah hal-hal yang perlu dipertimbangan untuk menjawab persoalan tersebut.
Pertama,
perlu dipelihara dan ditingkatkan ekologi kampus yang kondusif bagi
penyelenggaraan perkuliahan yang demokratis, menjunjung tinggi hak asasi
manusia (mahasiswa), kemudahan mengakses informasi, mendorong perkembangan ilmu
dan teknologi, serta menanamkan kegandrungan terhadap orientasi kualitas dalam
berbagai segi kehidupan (kampus).
Kedua,
memelihara dan meningkatkan kondisi kampus yang memberda-yakan mahasiswa. Ada
empat modal dasar yang berperan dalam proses pemberdayaan mahasiswa di dalam
kampus yaitu dosen, mahasiswa, tenaga administratif, dan sarana pendukung.
Keempat komponen ini saling kait-mengkait dalam memberdayakan mahasiswa dengan
dukungan birokrasi kampus yang 'cair' (tidak kaku); semangat inovatif dan
eksploratif dosen yang tetap akrab, ramah, santun namun tetap tegas;
mengembangkan dan mendukung penalaran kritis mahasiswa; menjunjung tinggi
disiplin; beorientasi pada kualitas; dan penyediaan sarana yang memadai.
Ketiga,
adanya usaha intensif, terorganisir dan terus menerus untuk terjadinya
kolaborasi antara para guru (calon guru) sehingga terjadi berbagi pengalaman
dalam hal cara-cara menguasai dan mengimplementasikan prinsip-prinsip pedagogi
secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku pada setiap mata
pelajaran.
Keempat,
Jika kita mensepakati bahwa unsure emosi yang paling asasi dalam mendidik
adalah kasih sayang, maka sejak mereka (calon guru) memasuki dunia perkuliahan
di LPTK, biasakan sejak dini mereka memasuki pembelajaran dengan Pedagogi Kasih
Sayang. Pesan ini merujuk kepada falsafah belajar dalam Islam yang sejak awal
menyuruh belajar (membaca) dengan atas nama Tuhan. Wahyu pertama yang diterima
Nabi Muhammad saw berbunyi "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu. . ."
Sedangkan nama tuhan yang pertama dikenalkan kepada manusia dan terdapat dalam
hampir seluruh surat al-Quran adalah "Ar-rohman dan Ar-rohim, Yang Maha
Kasih dan Maha Sayang". Benar apa yang dikatakan Federico Mayor, mantan
Mentri Pendidikan Spanyol, ". . . There is only one pedagogy . .the
pedagogy of love" (hanya ada satu pedagogi. yaitu pedagogi kasih sayang).
Dasar pendidikan adalah kasih sayang, cinta kasih yang tulus. Kalau guru sudah
kehilangan kasih sayang kepada muridnya, maka saat itulah pendidikan mulai
kehilangan jati dirinya. Ironisnya, hampir selama tiga dasawarsa terakhi, para
calon guru di LPTK sejak awal lebih sering bersentuhan - bahkan bergaul -
dengan ilmu pendidikan 'modern' yang mulai kehilangan sentuhan kasih sayang dan
kepekaannya pada anak manusia. Pendekatan, model, metode, teknik dan bahkan
instrumen pembelajaran yang diajarkan kepada mahasiswa calon guru (SD) sangat
kental merujuk kepada aliran Behavioristik yang memandang manusia sebagai
sebuah mesin (homo mechanicus) yang sepenuhnya dikendalikan oleh lingkungan.
Kelima,
kehidupan kampus (interaksi mahasiswa di dalamnya, termasuk perkuliahan) harus
dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi miniatur kehidupan realistik tempat
mereka mengelola, mengaktualisasikan, dan mema-tangkan perkembangan emosinya
secara sehat. Adalah sangat penting adanya institusi dalam LPTK yang secara
terencana dan periodik melakukan studi dan memantau profil serta perkembangan
emosi mahasiswa calon guru (SD). Dari hasil studi ini kemudian dilakukan
kegiatan, pembinaan atau pelatihan-pelatihan khusus untuk mematangkan perkembangan
kecerdasan emsosi mereka.
IV
Kesimpulan dan Saran
A.
Kesimpulan
Guru (SD) masa kini dan
masa depan tengah dan akan selalu berhadapan dengan tantangan perkembangan
zaman yang kian berat dan kompleks. Untuk itu para guru harus memiliki dua
kompetensi yaitu karakter guru profesional dan modal kecerdasan emosi yang
memadai serta tangguh. Kedua kompetensi tersebut harus sejak dini dibekalkan
oleh institusi penghasil calon guru (LPTK) melalui:
(1)
penciptaan ekologi kampus yang demokratis, humanis-religius, ilmiah, dan
berorientasi pada kualitas;
(2)
penciptaan kampus yang memberdayakan mahasiswa;
(3)
memfasilitasi terjadinya kolaborasi antara para guru (calon guru) sehingga
terjadi berbagi pengalaman;
(4)
melibatkan mahasiswa sejak dini dan secara intens ke dalam pedagogi kasih
sayang dalam pengelolaan pembelajaran; dan
(5)
mencipatakn lingkungan kampus serta melakukan studi dan layanan bagi upaya
pengenalan dan pengembangan profil kecerdasan emosi mahasiswa calon guru (SD).
B.
Saran
Dalam mengahiri makalah
ini penulis mengajukan beberapa saran terkait dengan mempersiapkan calon guru
(SD) yang profesional serta memiliki kecerdasan emosi yang memadai. Saran-saran
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Penyiapan guru profesional dengan
kecerdasan emosi yang memadai harus dimulai sejak masa rekruitmen (penerimaan)
calon mahasiswa guru SD. Materi, instrument, dan cara seleksi calon mahasiswa
harus merujuk kepada karakteristik dan standar dari profil guru profesional dan
kecerdasan emosi.
2.
Para mahasiswa calon guru (SD) selama
menjalani pendidikan selain menjalani pembinaan wawasan, karakter, dan profil
calon guru profesional ia jua harus secara intensif dievaluasi secara periodik
apakah selama menjalani pendidikan yang bersangkutan mampu menunjukkan sejumlah
karakter guru profesional. Evaluasi untuk hal itu sudah barang tentu tidak
cukup dengan 'paper-pencil test' semata-mata. Sistim penilaian dengan instrumen
asesmen yang dipadukan dengan program magang terstruktur di sekolah dasar yang
variatif bagi calon guru SD akan lebih tepat dari pada pola Program Pengalaman
Lapangan (PPL) yang selama ini berjalan. Terkait dengan itu, sejak dini
mahasiswa harus difasilitasi agar terlibat aktif dalam suatu wadah/organisasi
profesi keguruan.
3.
Perkuliahan yang berkaitan dengan ilmu
mendidik atau metode pembelajaran semestinya diperkaya dengan kajian-kajian
literature yang lebih dominan nuansa humanistis, spiritual, moral, dan
kecerdasan emosi.
4.
Setiap LPTK penghasil calon guru (SD)
hendaknya memiliki institusi yang bertugas khusus secara periodik melakukan
studi/penelitian untuk mengungkap profil dan perkembangan kecerdasan emosi
mahasiswa calon guru (SD). Hasil studi ini menjadi bahan masukan dan pembinaan
lebih lanjut bagi mahasiswa yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi Zainul. (1998). Locus of Control,
Self-Esteem, dan Tes Baku. Jurnal Pendidikan: Mimbar Pendidikan. No. 3. Tahun
XVII. 1998. Halaman 12-18. Bandung: University Press IKIP Bandung.
Bobbi DePorter & Mike Hernacki.
(1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. (Terj.).
Bandung: Penerbit Kaifa.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat Citra
dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Robert K Cooper & Ayman Sawaf.
(2001). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka.
Goleman, D. (1998). Emotional
Intelligence: Kecerdasan Emotional, Mengapa EI lebih penting dari IQ. (Terj.).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
H.A.R Tilaar. (1999). Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional:Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Penerbit Tera
Indonesia.
Jalaluddin Rakhmat. (1999). Sabar: Kunci
Kecerdasan Emotional. Buletin Dakwah Al-Tanwir No. 140 Edisi 25 Mei 1999.
Bandung: Muthahari Press.
-----------------. (1993). Metode
Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mohammad Surya. (2003). Percikap
Perjuangan Guru. Semarang: CV Aneka Ilmu.
Moh. Zen. (1999). Faktor-faktor
Determinatif Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja. Jurnal Pendidikan: Mimbar
Pendidikan. No. 2. Tahun XVIII. 1999. Halaman 52-60. Bandung: University Press
IKIP Bandung.
Piet A. Sahartian. (1994). Profil
Pendidik Profesional. Jogyakarta: Andi Offset.
Shapiro, L.E. (1998). Mengajarkan
Emotional Intelligence pada Anak. (Terj.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.