Hari telah beranjak malam. Jarum jam sudah
mendekati angka 9. Nampak Suri sudah mulai berbaring di tempat tidurnya yang
dihiasi boneka Barbie. Dalam balutan selimut warna pink bergambar Barbie, Suri
mulai bersiap tidur sambil menunggu Tante Yayat bercerita.
Di suatu masa yang telah lampau, di ujung timur
Pulau Jawa ada sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Blambangan.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang arif bijaksana.
Sang raja mempunyai seorang anak laki-laki dari
istri permaisurinya yang cantik jelita. Karena hanya dia saja yang merupakan
anak lelaki sang raja, maka secara otomatis dia diangkat sebagai putra mahkota.
Nama putra mahkota sang raja tersebut adalah Raden Banterang.
Raden Banterang merupakan sosok pemuda yang gagah
dan tampan. Selain memiliki wajah yang tampan dia juga dikarunia keahlian bela
diri yang cukup mumpuni, Sang pangeran mempunyai hobi berburu. Dalam berburu
tak jarang dia melakukannya seorang diri tanpa pengawalan dari pasukan istana.
Pada suatu masa, Kerajaan Blambangan terlibat
perselisihan dengan Kerajaan Klungkungi di Bali. Karena jalan damai tidak mampu
menyelesaikan masalah, maka Raja Blambangan mengirimkan pasukannya untuk
menyerang kerajaan di seberangnya tersebut. Raden Banterang ditunjuk sebagai
panglima perang oleh ayahnya. Dalam waktu singkat Kerajaan Klungkung berhasil
dikalahkan oleh pasukan Blambangan yang dipimpin Oleh Banterang. Putra raja
Klungkung yang bernama Rupaksa dan adik perempuannya yang bernama Surati
melarikan diri untuk menyelamatkan diri. Sementara sang Raja Klungkung gugur
dalam pertempuran itu.
Saat tiba di suatu hutan, Rupaksa meminta adiknya
untuk menunggunya di situ sebentar. Dia mau berburu untuk makan mereka. Saat
berburu itulah Rupaksa jatuh terperosok ke dalam jurang. Sedangkan Surati yang
menunggu terlalu lama akhirnya berusaha mencari kakaknya sambil terus berjalan
ke arah barat. Di sisi lain hutan, nampak seorang pemuda gagah sedang berburu.
Dalam perburuannya itu dia mengejar seekor kijang. Akan tetapi kijang tersebut
akhirnya menghilang di dekat sebuah sungai. Saat sedang mencari kijang
tersebut, mata sang pangeran terbelalak melihat ada wanita cantik yang sedang
mandi di sungai.
Antara percaya dan tidak sang pemuda yang tak lain
adalah Raden Banterang tersebut menghampiri wanita tersebut.
”Apakah kau ini manusia ataukah mahluk halus
penunggu hutan ini?” tanya Raden Banterang.
“Saya manusia tuan. Nama saya Surati,” jawab sang wanita tersebut.
”Saya Banterang. Maukah kamu ikut aku pulang ke rumahku?”
“Terima kasih tuan. Kebetulan saya hidup sebatang kara tuan. Keluarga saya meninggal dalam perang.” jawab Surati.
“Saya manusia tuan. Nama saya Surati,” jawab sang wanita tersebut.
”Saya Banterang. Maukah kamu ikut aku pulang ke rumahku?”
“Terima kasih tuan. Kebetulan saya hidup sebatang kara tuan. Keluarga saya meninggal dalam perang.” jawab Surati.
Akhirnya Surati dan Banterang pun pulang ke keraton
tempat tinggal Banterang. Setelah beberapa lama api cinta timbul di antara
mereka. Dengan restu dari sang raja, Banterang akhirnya menikahi Surati.
Waktu terus berganti. Suatu waktu Raden Banterang
pamit berburu kepada istrinya. Saat Raden Banterang sedang berburu tersebut,
Surati didatangi Rupaksa kakak kandungnya di dalam kaputren kerajaan. Saat
itulah Rupaksa menceritakan siapa sebenarnya Banterang.
”Surati, setelah aku cerita siapa sebenarnya
suamimu, maukah kamu membantu aku untuk membalas dendam terhadap suamimu?” tanya
Rupaksa.
”Tidak mungkin kanda. Bagaimanapun kangmas Banterang sudah menjadi suamiku. Tak mungkin aku membunuhnya saat ini.” jawab Surati.
”Kenapa?”
”Aku mencintainya kanda.”
”Baiklah kalau kamu tidak mau membantu aku membunuhnya. Simpan ikat kepalaku ini di bawah tempat tidurmu ya. Anggap sebagai kenang-kenangan kakakmu ini.” kata Rupaksa sambil menyerahkan ikat kepalanya kepada Surati.
”Tidak mungkin kanda. Bagaimanapun kangmas Banterang sudah menjadi suamiku. Tak mungkin aku membunuhnya saat ini.” jawab Surati.
”Kenapa?”
”Aku mencintainya kanda.”
”Baiklah kalau kamu tidak mau membantu aku membunuhnya. Simpan ikat kepalaku ini di bawah tempat tidurmu ya. Anggap sebagai kenang-kenangan kakakmu ini.” kata Rupaksa sambil menyerahkan ikat kepalanya kepada Surati.
Sementara di hutan tempat biasa Banterang berburu,
sang putra mahkota tersebut terus asyik berburu. Saat itulah Banterang ditemui
lelaki misterius yang tak lain adalah Rupaksa, kakak kandung Surati istrinya.
”Tuanku maaf hamba mengganggu kesenangan tuan
berburu” sapa Rupaksa.
”Ada apa kisanak?“
”Tuanku, istri tuan merencanakan untuk membunuh tuan. Istri tuan ternyata putri Raja Klungkung yang telah Tuan kalahkan beberapa waktu yang lalu.” kata Rupaksa.
”Apa buktinya jika dia berencana membunuhku?“
”Tuan cari di bawah tempat tidur tuanku. Jika tuanku menemukan ikat kepala lelaki, maka itu adalah ikat kepala lelaki yang dimintai tolong tuan putri Surati untuk membunuh Tuanku Banterang.” kata Rupaksa mencoba meyakinkan.
”Ada apa kisanak?“
”Tuanku, istri tuan merencanakan untuk membunuh tuan. Istri tuan ternyata putri Raja Klungkung yang telah Tuan kalahkan beberapa waktu yang lalu.” kata Rupaksa.
”Apa buktinya jika dia berencana membunuhku?“
”Tuan cari di bawah tempat tidur tuanku. Jika tuanku menemukan ikat kepala lelaki, maka itu adalah ikat kepala lelaki yang dimintai tolong tuan putri Surati untuk membunuh Tuanku Banterang.” kata Rupaksa mencoba meyakinkan.
Banterang termenung mendengar kata-kata tersebut.
Saat melihat hal itu Rupaksa segera pergi menghilang, karena yakin Banterang
telah termakan oleh fitnahannya terhadap istri Banterang yang tak lain adik
kandungnya sendiri.
Saat Banterang mau mengucapkan terima kasih atas laporan Rupaksa tersebut, dia tersentak mendapati Rupaksa telah pergi tanpa dia ketahui. Segera Banterang pulang ke istananya.
Saat Banterang mau mengucapkan terima kasih atas laporan Rupaksa tersebut, dia tersentak mendapati Rupaksa telah pergi tanpa dia ketahui. Segera Banterang pulang ke istananya.
Sesampainya di istana, dia menggeledah bagian bawah
ranjangnya. Saat itulah dia menemukan ikat kepala seperti yang Rupaksa katakan.
Api amarah langsung membakar jiwanya. Bergegas dia mencari istrinya yang sedang
bercengkerama dengan para dayangnya.
”Istriku ikut aku sekarang!” Kata Banterang yang
menarik tangan istrinya dengan kasarnya. Jiwanya yang telah dibakar amarah tak
lagi bisa bersikap lembut terhadap wanita yang tak lain adalah istrinya
sendiri. Sementara Surati mengikuti suaminya tersebut dengan beragam tanya di benaknya.
Sesampainya di tepian suatu sungai yang lebar dan berair jernih, Banterang menghentikan langkahnya. Segera Banterang mengeluarkan ikat kepala yang ditemukannya di bawah ranjang tidurnya.
”Surati, apa maksud dari semua ini?” Tanya Banterang sambil melemparkan ikat kepala milik Rupaksa kehadapan Surati istrinya.
”Kanda, ini adalah ikat kepala milik kakak hamba Kanda.”
”Bukannya itu milik laki-laki yang akan membunuhku sesuai perintahmu?“
”Bukan Kanda. Beberapa hari yang lalu kakak hamba datang kemari. Dia cerita kalau Kandalah yang telah membunuh ayahanda hamba raja Klungkung. Dia meminta bantuan hamba untuk membunuh Kanda. Tapi hamba tidak mau Kanda. Setelah itu dia memberikan ini untuk kenang-kenangan.” Surati coba menjelaskan.
Sesampainya di tepian suatu sungai yang lebar dan berair jernih, Banterang menghentikan langkahnya. Segera Banterang mengeluarkan ikat kepala yang ditemukannya di bawah ranjang tidurnya.
”Surati, apa maksud dari semua ini?” Tanya Banterang sambil melemparkan ikat kepala milik Rupaksa kehadapan Surati istrinya.
”Kanda, ini adalah ikat kepala milik kakak hamba Kanda.”
”Bukannya itu milik laki-laki yang akan membunuhku sesuai perintahmu?“
”Bukan Kanda. Beberapa hari yang lalu kakak hamba datang kemari. Dia cerita kalau Kandalah yang telah membunuh ayahanda hamba raja Klungkung. Dia meminta bantuan hamba untuk membunuh Kanda. Tapi hamba tidak mau Kanda. Setelah itu dia memberikan ini untuk kenang-kenangan.” Surati coba menjelaskan.
”Aku tidak percaya sama kamu.“
”Baik kalau Kanda tidak percaya pada hamba, bunuhlah hamba Kanda. Tapi ingat Kanda, jika nanti air ini berbau harum maka hamba adalah tidak bersalah. Tapi jika air sungai ini berbau amis, hambalah yang bersalah.” kata Surati.
”Baik kalau Kanda tidak percaya pada hamba, bunuhlah hamba Kanda. Tapi ingat Kanda, jika nanti air ini berbau harum maka hamba adalah tidak bersalah. Tapi jika air sungai ini berbau amis, hambalah yang bersalah.” kata Surati.
Banterang segera menghunus keris yang terselip di
punggungnya. Belum sempat keris itu menghunjam dada Surati, segera Surati
melompat ke sungai tersebut. Tak lama kemudian tubuh Surati tenggelam ke dalam
sungai. Berbarengan dengan itu tiba-tiba dari air sungai itu tercium bau harum
mewangi.
Banterang yang mencium bau itu sontak menangis
tersedu-sedu. Da menyesal kemarahannya yang membabi buta telah menyebabkan
kematian istrinya yang tercinta. Beberapa kali lidahnya mendesis menyebutkan
kata ”Banyune wangi… Banyune wangi… Banyune wangi…”
Berdasar kejadian itulah, akhirnya nama daerah tersebut berganti menjadi BANYUWANGI yang berarti air yang harum.
Berdasar kejadian itulah, akhirnya nama daerah tersebut berganti menjadi BANYUWANGI yang berarti air yang harum.