Analisis Kerusakan Hutan Di Kawasan Hutan Taman
Nasional Gunung Leuser
Kawasan
hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI
Besitang sedang mengalami kerusakan yang cukup parah akibat aktivitas
penebangan liar, perambahan hutan, jual beli lahan dan keberadaan pengungsi
korban konflik aceh.
Manajemen
TNGL belum mempunyai data kerusakan hutan terbaru terutama data time series
setelah data yang dirilis Yayasan Leuser International tahun 2002 yang lalu,
padahal kerusakan hutan terus berlangsung. Data tersebut sangat dibutuhkan
manajemen TNGL dalam menentukan arah kebijakan dan strategi penyelesaian
masalah yang berkaitan penerapan strategi pengamanan hutan dan dukungan para
pihak terutama masyarakat sekitar hutan.
Penelitian
ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di
desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL yang secara administrasi
terletak di kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Batang Serangan. Penelitian ini
menggunakan metoda diskriptif dengan jumlah sampel dari masyarakat sekitar
hutan sebanyak 198 KK. Pengumpulan data dilakukan dengan metoda ground check,
penyebaran kuisioner dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat. Data yang
ada dinalisis dengan menggunakan analisis citra landsat dan analisis swot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, luas kerusakan hutan
Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI
Besitang mencapai 7.435 ha, dengan laju kerusakan hutan sekitar 448,450
ha/tahun.
Manajemen
TNGL terus melakukan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang masih
berlangsung di dalam kawasan ini terutama kegiatan penegakan hukum dengan
menerapkan strategi pengamanan hutan yang efektif dan efisien yang
mengedepankan langkah-langkah pre-emtif, preventif dan represif. Penerapan
strategi ini telah berhasil menurunkan laju kerusakan hutan di wilayah kerja
resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan, namun strategi ini
kurang berhasil penerapannya untuk wilayah kerja resort Sekoci dan Sei Lepan
terkait keberadaan pengungsi korban konflik aceh yang hingga saat ini belum
dikeluarkan dari kawasan TNGL.
Status
TNGL sebagai warisan dunia merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh
manajemen TNGL dalam merangkul para pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan
secara lebih baik di masa yang akan datang, terutama dukungan masyarakat
sekitar hutan melalui lembaga lokalnya.
Keterangan
:
Kerusakan
hutan di KEL dalam lima tahun terakhir mencapai 36 ribu hektare (ha), itu
artinya per tahun mengalami kerusakan 7.200 ha atau setara dengan 8.700 kali
luas lapangan bola kaki,” kata Ketua BPKEL, Fauzan Azima di Banda Aceh,
Rabu .
Bila dipersentasekan, kata dia,
maka kerusakan hutan di KEL selama lima tahun terakhir sebesar 1,8 persen dari
luas keseluruhan atau rata-rata 0,36 mengalami deforestasi (hilangnya tutupan
hutan secara permanen maupun sementara.
Ia
menambahkan, pada awal 2005 luas tutupan hutan di KEL 1.982.000 ha dan akhir
2009 mengalami deforestasi, sehingga luasnya menjadi 1.946.000 ha. BPKEL
memperoleh data kerusakan hutan dengan menggunakan salah satu metode
penginderaan jauh, yaitu interprestasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA)
tahun 2005-2009.
Berdasarkan
citra satelit tersebut, kata dia, bisa diketahui daerah-daerah yang mengalami
kerusakan yang sangat parah, yakni Rawa Tripa (Kabupaten Nagan Raya dan Aceh
Barat Daya), Rawa Kluet (Aceh Selatan).
Kemudian,
daerah Karang Baru dan Manyak Payed (Kabuapten Aceh Tamiang), Lawe Mamas dan
Lawe Alas (Aceh Tenggara), dan daerah lintasan antara Peunaron-Lokop Serbajadi
(Kabupaten Aceh Timur).
Sebab Dan Akibat
Alih
fungsi hutan dan aksi illegal logging di kawasan hutan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang
merupakan masalah ekologis yang belum dapat teratasi secara komprehensif.
Dampak kerugian dari aktivitas ilegal ini kerab menjadi pembahasan seiring
berlalunya peristiwa bencana.
Menghubungkan peristiwa bencana banjir dengan meluasnya tingkat kerusakan hutan tentunya sangat relevan. Peristiwa bencana banjir yang terjadi di Besitang dan sekitarnya pada 22 Desember 2006 lalu misalnya, selalu dihubungkan masyarakat dengan aksi illegal logging dan alih fungsi yang berujung terhadap kerusakan lingkungan hutan.
Aksi pembalakan liar serta alih fungsi hutan menimbulkan dampak kerusakan luas terhadap ekosistem termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Kondisi kerusakan ini dapat menjadi “bom waktu” yang siap meledak terutama pada musim hujan mengingat hamapran hutan yang telah gundul tak mampu menyerap debit air hujan yang tinggi.