Gitar produksi Stranough Guitar Technology di Bandung |
Gitar traveling meledak di Eropa, mendunia, dan bahkan digunakan para gitaris dunia. Kuncinya ada pada kejujuran dan kualitas produk.
Sejak ribuan tahun lalu, gitar menjadi alat musik paling digandrungi di dunia. Tak puas sekadar sebagai konsumen, Indonesia mampu mengukuhkan posisi sebagai produsen gitar yang cukup diperhitungkan di pasar dunia. Gitar-gitar produksi lokal itu semakin mendunia dalam petikan para gitaris dunia.
Lihatlah produksi gitar dari Bandung yang dilabeli merek Lapstik dan laris terjual dari pusat penjualan di Belanda. Gitar Lapstik yang juga dijuluki sebagai gitar traveling ini memang lain daripada yang lain. Berukuran hanya separuh atau maksimal tiga perempat dibandingkan dengan ukuran normal sehingga sangat ringan.
Gitar Lapstik begitu digandrungi dan dijual di hampir semua benua karena praktis. Ia begitu mudah disimpan di balik jaket. Gitar mungil ini semakin menarik karena dilengkapi dengan energi baterai sehingga bisa langsung disambung ke headphone.
Di perjalanan, pemiliknya bisa memetik gitar Lapstik dengan suara yang dialirkan ke headphone dan dijamin tak akan mengganggu teman seperjalanan. Berlatih musik sambil mengisi waktu luang dalam sebuah perjalanan pun menjadi mudah dan menyenangkan.
Tak seorang pun bakal mengira bahwa gitar secantik itu ternyata buatan tangan anak negeri. Produsennya adalah Muhammad Satrianugraha (32), yang akrab disapa Hanung. Pesanan gitar bermerek Lapstik mendatangi Hanung pada 2002 ketika ia masih mahasiswa dan baru merintis usaha sebagai pembuat gitar.
Pesanan dari Belanda itu datang secara online dengan menyertakan gambar gitar mungil. Begitu menyelesaikan pesanan sesuai gambar, Hanung mengirim gitar buatannya tanpa uang muka sama sekali. ”Karena unik, saya bikin. Ikhlas saja seandainya tak dibayar,” kata Hanung.
Jeda 40 hari tanpa kabar, tiba-tiba produsen dari Belanda itu kembali memesan 250 gitar traveling. Tak langsung sanggup, Hanung meminta temu muka dengan perwakilan Lapstik sebelum kembali memproduksi gitar.
Di luar dugaan, Lapstik lantas mengirim Phil Neal, ahli servis gitar dari gitaris rock berkebangsaan Inggris, Jeff Beck, dan gitaris Jimmy Page dari kelompok musik rock Led Zeppelin, yang kemudian tinggal selama 40 hari di bengkel kerja Hanung di Kota Bandung.
Dari permintaan awal yang hanya satu biji kemudian 250 biji itulah, gitar Lapstik terus diproduksi oleh Hanung hingga kini. Permintaan gitar Lapstik terus mengalir dengan produksi yang berkesinambungan.
”Gitar traveling meledak di Eropa. Saya menjaga kejujuran dan kepercayaan dengan hanya menjual gitar Lapstik kepada mereka. Saya enggak akan jual serupa ke mana pun dengan nama lain. Kuncinya ada pada kejujuran dan kualitas,” kata Hanung.
Desain Personal
Hanung tak puas hanya mengerjakan pesanan orang. Ia kemudian membangun perusahaan gitar Stranough. Tak hanya memproduksi gitar dan aksesorinya, Stranough juga membuka sekolah pembuatan gitar, kursus gitar, rekam medis gitar, hingga konsultasi gratis perbaikan gitar.
Salah satu produk gitar Stranough diberi merek The Tripper yang telah dipatenkan. Meskipun sama-sama gitar traveling, The Tripper sama sekali berbeda jika dibandingkan Lapstik. Mereka berbeda mulai dari desain, suku cadang, hingga konstruksi.
The Tripper dibuat dengan skala normal. Alat buat nyetem tidak lagi diletakkan di bagian kepala gitar, tetapi di bagian body. Akibatnya, gitar buat jalan-jalan ini tampil unik seperti buntung di bagian kepala. Dengan desain ini, The Tripper lebih ringkas dan mudah dibawa.
Selain The Tripper, Stranough juga fokus pada produksi gitar custom-made yang dibuat sesuai permintaan pelanggan. Dengan desain personal, semua gitar custom-made ini tampil unik. ”Saya enggak pernah main di model standar,” tambah Hanung.
Pelanggan biasanya meminta gitar yang lebih ergonomik, semisal sesuai dengan ukuran jemari. Ada pula konsumen yang ingin lebih tipis atau warna unik. Permintaan unik seperti perubahan karakter agar frekuensi tingginya lebih dominan pun dengan mudah bisa dituruti.
Dari sekadar kenyamanan, banyak pula permintaan desain personal gitar yang ditujukan untuk pamer. Desain gitar yang unik dijamin bakal menarik perhatian orang. Sebagian gitaris terkenal Indonesia, seperti Baron, pernah memesan gitar dari Stranough.
Hanung juga belajar banyak hal dari permintaan pelanggan yang kadang aneh. Konsumen, misalnya, meminta gitar bas dengan 6, 8, atau 12 senar. Permintaan unik lainnya seperti desain fred yang miring serta gitar bagi orang kidal.
Pengakuan dunia internasional atas kualitas gitar produksi Stranough, antara lain, diwujudkan ketika Stranough bersama Buddy Blaze diundang mengikuti pameran musik terbesar di dunia, di California, Amerika Serikat, pada 2011. Lebih dari lima jenis gitar Buddy Blaze dibuat oleh Stranough.
Lebih dari enam tahun, Stranough juga bekerja sama membuat gitar dengan Pepijn de Blecourt. Dari kerja sama itu pula, gitar produksi Stranough bisa dimainkan oleh gitaris jazz Amerika, Mike Stern. Gitar karya Stranough pun kemudian merambah ke sejumlah negeri dengan produksi hingga ratusan gitar per bulan.
Gitar Pinjaman
Kini, Hanung tak sekadar menjadi produsen gitar. Ia juga dikenal sebagai salah satu luthier, ahli membuat dan memperbaiki alat musik berdawai. Kepiawaiannya membuat gitar awalnya dibangun dari rasa penasaran karena tak sanggup membeli gitar impian.
Meskipun aktif sebagai anggota band, Hanung mengandalkan gitar pinjaman hingga duduk di bangku SMA. Begitu kuliah, tak ada lagi gitar teman yang bisa dipinjam. Dengan uang dari orangtua senilai Rp 2,5 juta, ia tak bisa menjangkau gitar idaman senilai Rp 19 juta. ”Saya mikir kenapa enggak kebeli, apa yang istimewa? Dari situ browsing cari lalu tertarik membuat gitar,” ujarnya.
Keistimewaan gitar mahal ternyata terletak pada proses pembuatan hingga kebanggaan merek. Dari seorang otodidak, Hanung banyak menimba ilmu dari luthier andal di seluruh dunia. Perusahaan gitar miliknya kemudian dibangun dengan menggunakan mesin CNC (Computer Numerical Control) dengan puluhan karyawan.
Sebagian pengerjaan memang masih mengandalkan buatan tangan, tapi mesin digunakan untuk meningkatkan presisi gitar. Selain kualitas produksi, Indonesia unggul dalam pembuatan gitar, terutama karena limpahan bahan baku kayu seperti mahoni dan sonokeling serta tenaga kerja yang murah.
Gitar buatan Stranough dijual dengan harga beragam mulai dari Rp1,5 juta rupiah hingga 3.500 dollar Amerika Serikat. Pemesanan gitar custom-made biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua bulan. ”Kami tak hanya bicara tentang seni, tapi juga bicara tentang hati,” tambah Hanung.