Jangan Di Klik Link Dibawah

Home » , » Kebebasan Muslim Prancis Dibatasi

Kebebasan Muslim Prancis Dibatasi


Tidak Mampu Membedakan Simbol Keagamaan

Kebebasan, persamaan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite), semboyan yang tercetus sesudah meletusnya Revolusi Prancis 1789. Semboyan yang memberikan pesan universal kepada seluruh manusia untuk hidup berdampingan tanpa membedakan ras atau pun agama. Kondisi yang menjadikan Prancis negara tujuan para imigran dari Afrika, Jazirah Arab dan Asia.

Keberadaan imigran di Prancis sedemikian unik, selain masih berpegang pada kultur budaya juga keyakinan agama tidak luntur dalam diri mereka. Agama Islam dianut oleh banyak imigran dan jumlah pemeluknya bertambah setiap tahun. Menurut kajian Kementerian Dalam Negeri Prancis, Islam setiap tahun mencapai pertambahan 3.600 orang. Sayangnya, bertambahnya pemeluk tak diimbangi oleh kebijakan pemerintah Prancis yang inklusif (terbuka).

Pemerintah Prancis terkadang dicap mengidap Islam fobia karena rasa takut yang berlebihan terhadap terorisme yang sering mengatasnamakan Islam. Di Prancis, simbol-simbol keagamaan tak boleh digunakan di ruang publik.

Pada abad ke-8 Islam menyebar di Prancis, dimulai dari wilayah selatan seperti Toulouse, Narbonne, dan Bourgogne. Dari sana Islam menyebar ke beberapa kota di selatan Prancis, yaitu Roussilon, Bearn pada abad ke-12 dan ke-15 Masehi, disebarkan oleh Muslim Spanyol yang lari dari negerinya karena penindasan Kerajaan Spanyol terhadap para pemeluk Islam pada tahun 1492 Masehi.
Setelah perang dunia I dan II berakhir, imigran Muslim semakin bertambah banyak. Mengadu nasib di Prancis karena sikap pemerintah yang cenderung terbuka terhadap pada pendatang. Bahkan imigran yang berasal dari beberapa negara jajahan Prancis pun datang untuk membantu Prancis berperang, terutama menghadapi invasi Nazi Jerman.
Membludaknya imigran pada akhirnya menjadi masalah bagi pemerintah Prancis. Timbul permasalahan sosial seperti kemiskinan, akses kesejahteraan yang tidak merata dan sentimen ras dan agama yang mengancam setiap saat.

Prancis yang dikenal sebagai negara yang mengagung-agungkan kebebasan pun memilih membatasi kebebasan. Keanekaragaman budaya, ras dan agama yang dibawa para imigran tidak disikapi melalui pendekatan persuasif. Ketidakmampuan membedakan antara simbol keagamaan dan radikalisme membuat Prancis rentan dilanda konflik. Pelarangan jilbab oleh pemerintah misalnya, adalah kasus yang mengemuka mengenai simbol agama yang dilekatkan pada gerakan fundamentalisme.


Kondisi  politik, sosial, dan ekonomi memiliki peran yang tidak sedikit dalam menciptakan bibit radikalisme bermotif keagamaan. Radikalisme yang tumbuh subur kelak berubah menjadi tindakan terorisme karena negara-negara Erofa termasuk Prancis tidak menggunakan pendekatan persuasi dan memandang imigran sebagai warga kelas dua. Dengan akses kesejahteraan yang minim, konflik yang mengkristal bisa pecah kapan saja.

 
DUNIA ILMU :Jendela Informasi Dunia
Copyright © 2014. DUNIA ILMU - All Rights Reserved