Wilbur Ramirez hanya
bisa terperangah dan geleng-geleng kepala melihat Imam Syaffi memungut
sampah bercampur lumpur di suatu selokan di Jakarta. Sebagai petugas
kebersihan asal London, Wilbur mengaku takjub bahwa koleganya itu
bekerja dengan peralatan yang sangat tidak layak, bergaji kecil, namun
kerja ekstra keras.
Stasiun berita BBC menayangkan “studi
banding” Wilbur ke suatu kawasan pemukiman di wilayah Guntur, Jakarta
Pusat, beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan langsung bagaimana Imam
melaksanakan tugasnya sebagai petugas kebersihan, yang di sini lebih
populer dengan sebutan “Tukang Sampah.”
Kisah Imam si tukang
sampah bersama Wilbur ditayangkan oleh stasiun BBC Two di London pada
Minggu malam, 29 Januari 2012 waktu setempat. Berjudul “Toughest Place to be a Binman” (Tempat paling sulit menjadi Tukang Sampah).
“Sampaaaah!”
sahut Imam di depan rumah seorang warga. Itu tanda Imam sudah siap
mengambil tumpukan sampah dari penghuni rumah. Sebagai peserta studi
banding, Wilbur pun membantu Imam mengambil dan memindahkan sampah ke
sebuah gerobak dan berjalan kaki dari rumah ke rumah.
Dalam
tayangan itu, Wilbur menuturkan bahwa fasilitas dan gaji yang diterima
Imam berbeda jauh dengan yang dia terima sebagai petugas kebersihan di
London. Harus memungut sampah hampir seratus rumah, Imam bekerja enam
hari dalam sepekan dengan gaji sekitar Rp200.000/minggu. Imam digaji
oleh pengurus RW setempat.
Di London, petugas sampah dilengkapi
dengan truk untuk beroperasi dari rumah ke rumah. “Namun di sini
[Jakarta], Imam bekerja hanya menggunakan sebuah gerobak yang panjangnya
seukuran bak mandi, dengan sedikit lebih tinggi, namun harus dia tarik
sendiri,” tutur Wilbur.
Wilbur pun tidak habis pikir bahwa sampah
di Jakarta bercampur baur menjadi satu tumpukan. Tidak ada pemisahan
antara sampah organik dengan yang non organik, sehingga sangat
menyulitkan petugas seperti Imam saat memungut sampah.
Namun, yang
membuat Wilbur terkesima adalah ketika Imam turun langsung ke dalam
suatu selokan terbuka untuk mengambil sampah yang sudah bercampur
lumpur. “Dia ke selokan tanpa pakai alas kaki!” kata Wilbur.
Begitu
sampah dari selokan sudah diangkut ke dalam gerobak, Imam harus
menginjak-injaknya, juga dengan kaki telanjang. “Padahal ada beling dan
apapun di sana. Kaki orang ini pasti seperti kulit badak,” kata Wilbur
terkesima.
Selama bekerja, pria bertubuh besar itu memakai baju
berlapis dua dengan celana lapangan yang menutup sekujur tubuhnya,
bertopi dan bersepatu. Berbeda sekali dengan Imam, pria berperawakan
kecil yang hanya mengenakan kaos oblong dengan celana belel sepanjang
lutut dan tanpa mengenakan alas kaki.
Wilbur salut atas pengabdian
Imam sebagai tukang sampah. “Imam bekerja ekstra keras. Ini hari yang
sangat melelahkan. Saya pun tidak akan bisa seperti dia,” kata Wilbur,
yang sudah sepuluh hari magang sebagai tukang sampah di Jakarta.
Dia
meninggalkan tempat kerjanya yang nyaman di London untuk mengetahui
bagaimana kerasnya bekerja sebagai tukang sampah yang berpeluh keringat
setiap hari.
Dihuni hingga 28 juta jiwa, Jakarta setiap hari
menghasilkan enam ton sampah. Itulah pentingnya pengangkut sampah
seperti Imam. Namun, penghasilan yang diterima sangat tidak seimbang
dengan apa yang harus dia kerjakan.
“Walau ini sangat berat, saya
harus melakukannya karena tidak punya keahlian lain. Saya mau bekerja
apa saja demi keluarga,” kata Imam.