Selama delapan bulan,
Tim Studi Bencana Katastropika Purba mencoba mencari dan meneliti fakta
dan data bencana di abad modern ataupun zaman purba yang katastropik
atau dampaknya menghilangkan peradaban. Seperti terjadi di Nanggroe Aceh
Darussalam, 26 Desember 2004 silam, adalah megatsunami yang
menghancurkan sebagian peradaban di Tanah Rencong. Demikian rilis yang
diterima Liputan6.com, Ahad (24/4), dari Wisnu Agung Prasetya, asisten
Staf Khusus Tim Studi Bencana Katastropik Purba.
Tsunami Aceh |
Berdasarkan
penelitian Tim Studi Bencana Katastropika Purba, ternyata di Aceh
teridentifikasi kemudian ada Desa Ie Beuna. Artinya, ombak besar
bergulung-gulung. Ini berarti pula pernah ada tsunami di Aceh. Bahkan,
tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
atau LIPI menemukan bangunan kuno di laut Aceh. Dan melalui ekskavasi
geologi berhasil membuktikan 1.400 tahun lampau pernah terjadi mega
tsunami.
Warga Simeulue mengenal smong atau tsunami pada 1907,
sehingga korban sedikit saat tsunami 2004. Masyarakat Yogyakarta
dikejutkan gempa pada 2006 yang merusak dan menimbulkan korban. Padahal
1835 pernah terjadi gempa yang lebih besar. Di sini menunjukkan betapa
lemahnya ingatan masyarakat Indonesia terhadap bencana. Padahal, gempa
atau gunung berapi bisa dipastikan akan mengalami pengulangan: The Past
is the Key of Future.
Untuk diketahui pada 1814, Sir Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Kolonial Inggris
di Jawa, 1811-1816), menemukan satu bukti bencana katastropik purba
akibat letusan gunung api di semak belukar, yaitu Candi Borobudur. Data
sejarah menunjukkan pernah ada letusan Merapi sekitar era 1000-an. Bisa
dibayangkan, peradaban yang terkubur itu. Belum lagi jika menengok
perubahan iklim yang diakibatkan letusan Toba di Pulau Sumatra, 75 ribu
tahun lalu.
Candi Borobudur Dengan Latar Belakang Gunung Merapi |
Bagaimana
dengan Jakarta Hasil pemantauan global positioning system (GPS) dan
pengukuran deformasi serta disandingkan dengan data historis, juga
mengagetkan hasilnya. Ada potensi 8,5 skala Richter di Selat Sunda. Ini
juga pengulangan 1906, 1856, 1833, dan 1699, serta gempa-gempa kecil
yang terasa sampai Jakarta.
Bertitik tolak dari itu, tim mencoba
mendapatkan bukti otentik sedimentasi atau data lainnya dengan segera
melakukan penelitian intensif terhadap temuan Candi Jiwa di Bekasi, Jawa Barat.
“Kita
senang terhadap temuan peradaban itu, tetapi juga harus ditemukan
mengapa dan kapan candi itu terkubur. Karena jarak dengan Jakarta tidak
terlalu jauh. Apakah tertutup karena vulkano atau mega tsunami. Kita
menyambut baik langkah Foke (Gubernur Fauzi Bowo)
yang segera membuat peta mikrozonasi dan building code. Karena ini juga
rekomendasi tim sembilan peta gempa yang melihat ada kenaikan 0,3 g di
batuan dasar. Sama seperti Aceh, Sumbar, Bengkulu,
Banten, Jabar, Jatim, Jateng dan Yogya. Kita berupaya secara scientific
mengurangi risiko bencana dengan menemukan gempa purbanya. Apa yang
terjadi di Jepang
menjadi pelajaran bersama. Masyarakat harus bahu-membahu membantu Pemda,
BNPB, BMKG dan lain-lain, tidak perlu panik,” urai Wisnu Agung.
Terkait
rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, temuan ini sangat penting
agar jembatan tersebut disiapkan untuk tahan gempa di atas besaran yang
potensi itu. Dengan begitu, pembangunan harus terus jalan.
Pada
kejadian letusan katastropik Toba, diperkirakan terjadi pemusnahan
massal dari populasi makhluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia.
Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan hidup. Meskipun demikian, tidak
ada data yang cukup untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada
peradaban manusia sebelum dan sesudah letusan Toba.
Ilmu
pengetahuan hanya tahu bahwa paling tidak sejak sekitar 90.000-100.000
tahun lampau, bumi sudah dihuni oleh makhluk berakal dan mengenal Tuhan.
Dan sampai saat ini para ilmuwan sedunia percaya bahwa sampai sekitar
10.000 tahun lalu manusia masih hidup di zaman batu, alias hidup di
alam, di hutan-hutan dan gua-gua seperti hewan.
Adapun letusan
gunung api katastropik lainnya adalah letusan Gunung Krakatau purba.
Catatan mengenai letusan Krakatau purba yang diambil dari sebuah teks
Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal
dari tahun 416 Masehi.
Krakatau |
Isinya
antara lain menyatakan: “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari
Gunung Batuwara (Krakatau). Ada pula guncangan bumi yang menakutkan,
kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan
hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia.
Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur
menuju Gunung Kamula…Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah
menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatra.”