Di suatu sore di awal kehidupan saya menjadi dosen, tiga puluh tahun yang lalu, datang seorang staf administrasi sebuah perguruan tinggi tempat saya mengajar, sambil ketakutan, dia meminta saya agar memberikan ujian ulangan tersendiri pada seorang mahasiswa yang nilainya jelek. Dia memohon maaf atas keberaniannya datang ke rumah karena dipaksa si mahasiswa dengan todongan senjata tajam, yang saat itu menunggu di luar rumah. Di suatu sore yang lain, datang seorang mahasiswa dari perguruan tinggi lain tempat saya mengajar, seperti cerita sebelumnya, dia menanyakan kenapa nilai ujiannya jelek, dan bertanya siapa yang melaporkan bahwa dia berbuat curang dalam ujian akhir semester, sambil menjelaskan bahwa dia adalah ketua klub beladiri di kampusnya. Kejadian tersebut di atas menunjukkan kerentanan pemahaman seseorang terhadap maksud belajar menuntut ilmu pengetahuan di institusi pendidikan. Pendidikan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Dasar 1945, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Contoh di atas menunjukkan dua komponen kerentanan yaitu kerentanan intelektual dan kerentanan akhlak seorang anak didik, yang apabila diluluskan atas paksaan, maka dosen sebagai pendidik telah menciderai tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. Saat ini kasus serupa semakin sering terjadi tanpa disadari bersama. Pemaksaan untuk keluar dari koridor tujuan pendidikan atas nama hak asasi, atas nama humanisme, atas nama ”uang”, semakin sering kita temui. Seseorang mahasiswa yang telah membayar biaya kuliah yang mahal, sering mempunyai hak yang lebih tinggi untuk lulus dengan nilai tinggi walaupun isi intektualnya belum mencukupi kompetensi yang dijanjikan. Beberapa pekan kemarin, sebuah sekolah menengah harus menghadapi cacian karena tidak meluluskan seorang siswa yang lulus ujian nasional, lulus ujian sekolah, tetapi tidak lulus ujian akhlak. Dan akhirnya atas tekanan beberapa pihak, sekolah tersebut harus meluluskan siswa yang bersangkutan demi alasan humanisme. Pendidikan seperti inikah yang kita inginkan? Sedemikan sulitnyakah mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana kita harus melaksanakan amanah pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah pendidikan kita cukup mengedepankan kecerdasan intelektual saja, atau harus mengedepankan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional sosial, atau cukup mengedepankan kecerdasan emosional dan sosial saja. Seiring dengan kemajuan bangsa-bangsa di dunia, dan kompetisi untuk hidup yang semakin ketat, kita mulai menemukan kekurangan pada hasil pendidikan kita, korupsi para orang pintar semakin menjadi-jadi, penjahat teknologi informasi dengan pengetahuannya telah mampu menghancurkan sistem keamanan bank dan jual beli online. Hal ini kemudian ditanggapi oleh pemerintah dan masyarakat kita dengan mulai menginginkan penguatan pendidikan karakter. Tujuan mulia ini seharusnya didukung demi kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia, karena keberadaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk menunjang kehidupan yang lebih baik. Kecerdasan intelektual harus didasari oleh kecerdasan emosional dan sosial, akhlak budi pekerti yang benar agar keberlanjutan kehidupan manusia di muka bumi ini dapat berlangsung aman, damai dan sejahtera.