Suaka Margasatwa Lamandau (SML) adalah salah satu kawasan lindung yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Jika kita melihat sekilas sejarah SML, kawasan ini dulu adalah hutan produksi dua perusahaan kayu. Berubah menjadi suaka margasatwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts/II/1998 tertanggal 12 Februari dengan luas ± 76.110 hektar.
Namun meski telah berubah status menjadi sebuah kawasan lindung, tidak ada perubahan yang terlalu berarti pada kawasan ini. Dalam usianya yang sudah memasuki sembilan tahun, pemerintah belum terlihat optimal mengelola kawasan itu. Penebangan liar (illegal logging) masih kerap terjadi. Keberadaannya sebagai sebuah kawasan yang dilindungi kelihatannya juga belum dipahami oleh masyarakat. Padahal jika aksi perlindungan dan pelestarian tidak dilakukan, SML akan musnah.
Apalagi kini sudah tidak banyak hutan yang tersisa di bumi Indonesia. Akibat penebangan baik legal maupun ilegal, kebakaran serta pembakaran hutan, hampir seluruh hutan yang ada kini dalam keadaan “gawat darurat”. 75% hutan di Indonesia telah hilang. Dalam 50 tahun terakhir berkurang sekitar 64 juta hektar, atau dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar. Di Kalimantan, luas hutan sudah berkurang hingga 50% (ekivalen dengan 11.000 km2). Laju pengurangan luas hutan meningkat dari satu juta hektar per tahun pada 1980-an menjadi 1,7 juta hektar per tahun pada periode 1990-an. Bahkan sejak 1996, pengurangan luas hutan menjadi dua juta hektar per tahun. Angka tersebut telah melebihi taksiran tingkat deforestasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6 hingga 1,3 juta hektar per tahun.
Meski kerusakan hutan di Indonesia sudah secara nyata terpampang di depan mata, niat pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah. Ketidakmauan masyarakat untuk menjaga hutan kadang malah dijadikan alasan. Padahal masyarakat di sekitar hutan akan terus menggarap hutan bila pemerintah tidak berniat keras untuk memberikan alternatif pekerjaan. Sehingga sekeras dan sebanyak apapun kampanye penyelamatan hutan akan percuma, karena masyarakat dihadapkan pada realitas hidup yaitu keperluan untuk makan, menyekolahkan anak, berobat dan lain-lain. Artinya mereka akan terus menggarap hutan sebagai sumber penghasilan mereka secara turun temurun. Namun perlu diingat, alternatif pekerjaan baru itu juga harus sesuai dengan kultur mereka sehingga tidak terjadi benturan sosial di kemudian hari.
Selama ini kebijakan pemerintah dalam pelestarian dan pengelolaan hutan hanya menggunakan pola pendekatan developmentalis dan ekofasisme yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, menegasikan serta mengabaikan keberadaan masyarakat adat atau lokal. Konsep pengelolaan kawasan lindung yang juga sangat sentralistik malah menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat. Padahal banyak diantara mereka yang telah turun temurun hidup dan melestarikan habitat ekologis lewat tradisi kearifan lokalnya.
Pengelolaan kawasan lindung masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat. Pengertian konservasi sebagai kawasan yang steril dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Tidak adanya kesadaran aparat negara (TNI/Polri) dan pemerintah terhadap pelestarian sumber daya hayati, peminggiran hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak kepemilikan adat istiadat, merupakan fenomena yang nyaris terjadi secara masif dalam kurun waktu terakhir. Hal ini yang mengakibatkan sering terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan lindung, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Gunung Halimun serta beberapa kawasan lindung lainnya di Indonesia.
Sebagai contoh kasus terjadi di Taman Nasional Komodo. Masyarakat nelayan dilarang menangkap ikan di kawasan yang dulunya merupakan wilayah tangkap tradisional mereka, yang kemudian diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional. Bahkan sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah taman nasional, banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat. Setidaknya 10 orang meninggal akibat tindakan represif aparat yang menuduh mereka memasuki wilayah terlarang Taman Nasional Komodo.
Adanya larangan terhadap masyarakat untuk masuk ke wilayah kawasan lindung telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan. Penutupan akses rakyat atas sumber penghidupan mereka dengan dalih konservasi malah menjadi sebuah tindakan pelanggaran HAM. Padahal pelestarian kawasan lindung juga harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pemerintah selaku pembuat kebijakan harus mengambil langkah konkret jika tidak ingin SML musnah. Kebakaran dan pembakaran lahan, konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit serta kegiatan penebangan hutan, merupakan kegiatan yang mengancam keberadaannya. Namun, bukan dengan memasang batas wilayah dan melarang masyarakat untuk masuk ke dalam hutan. Atau bahkan mengambil tindakan represif dengan menembak siapa saja